Imām an-Nawawī dalam at-Tibyān berkata: “Ketahuilah bahwa membaca al-Qur’ān secara berjamā‘ah adalah sunnah dan itu ditetapkan dengan dalil-dalil yang jelas serta dilakukan ‘ulamā’ salaf maupun khalaf.”
*Missing (731).
Beliau juga mengatakan: “Riwayat yang dibawakan Ibnu Abī Dāwūd dari Dhaḥḥāk bin ‘Abd-ir-Raḥmān bin Arzab yang menginkari membaca al-Qur’ān bersama-sama di dalam masjid, lantaran menurut beliau tidak ada sahabat Rasūlullāh s.a.w. yang melakukannya, dan bahkan Imām Mālik yang mencela dan mengingkari kegiatan membaca al-Qur’ān bersama-sama, maka pengingkaran tersebut telah menyelisih apa yang dilakukan oleh salaf dan khalaf dan juga tidak didukung dalil.” (742).
Imām Aḥmad Zarrūq dalam Qawā‘id-ut-Tashawwuf mengatakan, bahwa berjamā‘ah dalam berdzikir yang tercampuri dengan hal-hal yang melenceng dari syarī‘at, seperti para wanita yang ikut datang ke masjid dan hal-hal lain yang dilarang, hukumnya ada dua pendapat. Pendapat pertama, ḥalaqah dzikir tersebut dilarang secara mutlak (makrūh). (753) Pendapat ini dikemukan oleh Imām Mālik yang memang berpedoman kepada kaidah saddan lidz-dzirā‘i (menutup semua pintu yang menjadi tempat masuknya hal-hal yang haram). Pendapat kedua, boleh dilakukan. Adapun yang dilarang adalah hal-hal haram yang terjadi saja. Namun yang kami tidak habis fikir adalah, ucapan dari mereka bahwa hadits-hadits di atas maksudnya adalah ḥalaqah belajar ilmu agama.
Sedangkan ucapan ‘Abdullāh bin Mas‘ūd yang mengomentari segolongan orang yang berdzikir berjamā‘ah: “Kalian telah mendatangkan bid‘ah dengan zhalim”, maka yang dimaksudkan beliau adalah dzikir tertentu yang memang harus diingkari, atau mungkin karena beliau tidak mengetahui sabda Rasūlullāh s.a.w. yang banyak menganjurkan berdzikir dengan berjamā‘ah. (764).
Selain itu, sanad ucapan ‘Abdullāh bin Mas‘ūd tersebut membutuhkan penelitian dan juga bertentangan dengan fakta yang menyebutkan beliau suka dzikir di masjid sebagaimana riwayat Aḥmad bin Ḥanbal dalam az-Zuhd. Demikian dikatakan as-Suyūthī dalam al-Ḥāwī lil-Fatāwā. (775) Tetapi sebagian ‘ulamā’ menisbatkan ucapan di atas pada kitab Sunan ad-Dārimī dengan sanad shaḥīḥ. (786).
Sebagian ‘ulamā’ mengatakan, bahwa dzikir bersama-sama dengan satu suara adalah tidak termasuk sunnah, tetapi selama tidak terjadi munkar maka tetap diperbolehkan. (797)
Walhasil, masalah ini adalah masalah khilāfiyyah dan yang paling mengklaim benar serta mencela pendapat lain adalah ciri dari pemilik watak yang sombong.
Catatan:
- 73). Lihat juga, Aḥmad bin Ḥajar al-Haitamī, op.cit, hal. 56.
- 74). Muhy-id-Dīn an-Nawawī, at-Tibyānu fī Ādābi Ḥamalat-il-Qur’ān (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, tth), hal. 79.
- 75). Imām asy-Syāthibī dalam al-I‘tishām menyebut praktik tersebut termasuk bid‘ah idhāfiyyah. Dan masalah ini masuk kategori bid‘ah yang makrūh.
- 76). Aḥmad Zarrūq, op.cit, juz II, hal. 472.
- 77). Jalāl-ud-Dīn as-Suyūthī, op.cit, juz I, hal. 472.
- 78). Muḥammad Zuhrī an-Najjār, Ta‘līqu Qawā‘id-ut-Tashawwuf. (Beirut: Darul Jamil, tth), hal. 94. Komentar saya: “Setelah kami cari dalam Maktabah Syamilah, penisbatan itu tidak ditemukan.”
- 79). Dr. Muḥammad Muthī‘ a-Ḥāfizh, Taḥqīqu kitābi Syifā’-us-Sail, (Beirut: Darul Fikr, 1996), hal. 213.