TASHAWWUF TERKONTAMINASI KLENIK
Di antara yang dituduhkan Prof. Dr. Hamka dalam bukunya adalah, bahwa tashawwuf yang tersebar di Indonesia adalah sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia itu sendiri. Yakni Islam yang memuja kubur dan Islam memuja wali. Menurut beliau, tashawwuf Indonesia sangat kental dengan suasana setempat dan disesuaikan dengan kehendak politik di Jawa. Hal itu terbukti dengan panggilan sunan untuk penyiar-penyiar Islam di Jawa yang notabenenya dikenal sebagai guru-guru tashawwuf. (701) Tak hanya itu, Prof. Dr. Hamka juga menggeneralisir, kondisi seperti itu juga ada di seluruh dunia Islam sebelum munculnya sang mujaddid, Ibnu Taimiyyah, dan Muḥammad bin ‘Abd-il-Wahhāb. Sungguh tuduhan yang tanpa bukti sangat subyektif! Inilah salah satu bukti betapa fanatiknya mereka, hingga kebenaran adalah milik Ibnu Taimiyyah dan Muḥammad bin ‘Abd-il-Wahhāb.
Harusnya dibedakan antara pengamal tashawwuf yang hakiki dan pengamal tashawwuf abal-abal alias hanya mengaku-aku. Jika yang dikehendaki Prof. Dr. Hamka adalah mereka yang mengamalkan tashawwuf hakiki serta sesuai dengan yang digariskan ‘ulamā’ ahl-us-sunnah wal-jamā‘ah, maka dengan sangat meyakinkan tuduhan tersebut salah alamat. Tetapi jika yang dikehendaki adalah yang kedua, maka kami membebaskan diri dari itu semua. Hanya saja, kami sangat menolak keras jika beliau menggeneralisir bahwa itulah pengamal tashawwuf di Indonesia. Apalagi kami tahu, beliau seorang yang terindikasi telah tertular virus Salafī Wahhābī yang gemar mencela dan mengeluarkan stigma syirik kepada kelompok lain. Tetapi semoga ini terjadi sebelum beliau menyadari kekeliruannya. Karena, sesuai kabar tersiar di kalangan beberapa kiai yang pernah hidup semasa dengannya, beliau sudah taubat dan mengikuti paham ahl-us-sunnah wal-jamā‘ah versi Nahdhiyyīn. Mungkin bisa menjadi salah satu bukti adalah kata pengantar beliau atas terjemah kitab Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn terbitan Menara Kudus yang isinya cukup apresiatif. Padahal selama ini kita tahu, Salafī Wahhābī adalah kelompok paling keras yang me-najis-kan kitab al-Ghazālī tersebut.
Ketahuilah, tashawwuf yang dianut oleh banyak ‘ulamā’ dan kiai di Indonesia berdasar kaidah-kaidah agama Islam yang shaḥīḥ. Dan itu dapat dibuktikan dengan kajian shūfī di Indonesia yang selalu merujuk kepada kitab-kitab salaf, seperti ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, Qūt-ul-Qulūb, Ghunyat-uth-Thālibīn, Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn, dan lain-lain.
Jika konsep tashawwuf mereka adalah seperti yang dituduhkan Prof. Dr. Hamka di atas, maka logikanya mereka tidak akan mau membuka dan mempelajari kitab-kitab tersebut. Selain daripada itu, jam‘iyyah tarekat mu‘tabarah yang bernaung di bawah NU, dalam setiap kali mengkaji amalan para shūfī dalam forum baḥtsul-masā’il, selalu merujuk kitab-kitab ‘ulamā’ yang shalih dan kredibel. Sungguh sangat disayangkan, orang sekaliber beliau melakukan penelitian yang menurut kami tidak obyektif dan terkesan hanya asal bunyi.