Tarekat Pemuja Guru? – Tarekat dalam Timbangan Syariat

TAREKAT dalam Timbangan SYARIAT
Jawaban atas Kritik Salafi Wahabi

Penulis: Nur Hidayat Muhammad
 
Penerbit: Muara Progresif

TAREKAT PEMUJA GURU?

Pengamal tareka dituduh sebagai pemuja guru juga dilontarkan oleh sebagian sekte Salafī Wahhābī yang sangat anti pati terhadap ajaran menghormati dan ta‘zhim kepada guru. Tidak mengherankan jika kemudian ada kelompok yang mencela tradisi santri yang mencium tangan kiainya atau gurunya.

Syubhat mereka terletak, bahwa guru adalah manusia. Dan manusia bisa saja salah. Tetapi di sisi lain, mereka menampilkan hal sebaliknya dan bahkan lebih dari sekedar fanatik. Imām Ibnu Taimiyyah, bagi mereka, adalah lambang kebenaran hakiki dan bak nabi baru setelah Nabi Muḥammad. Ibnu Taimiyyah, masih menurut mereka, adalah hakim absolut atas ‘ulamā’-‘ulamā’ lain yang haram dan sesat menyelisihinya. Dan yang seperti ini menurut mereka bukan fanatik atau memuja.

Kiranya perlu dimengerti oleh siapapun, mughalah (berlebihan) yang membahayakan adalah ketika dalam keyakinan, dan itu tidak akan terjadi pada rasa kasih-sayang (maḥabbah). Demikian dikatakan Syaikh Dr. ‘Alī Jum‘ah, mufti kerajaan Mesir. Sehingga apabila ada murid mencintai gurunya dan keyakinan terhadapnya benar dan tidak melewati batas, maka itu sah dan tidak termasuk mengkultuskan guru.

Dalam dunia tarekat shūfī, seseorang yang layak menjabat sebagai guru mursyid adalah ketika ilmunya, baik di bidang syarī‘at, ushūl-ud-dīn, dan ḥaqīqat sudah sangat luas. Dan mursyid yang demikian kemudian disebut dengan istilah kamil mukammil.

Jika mursyid sudah memenuhi kriteria yang ada, maka ia adalah guru pembimbing ruhaniah bagi para muridnya. Dan tatkala kita melihat mereka secara lahiriah prilakunya nyeleneh, maka kita harus ber-ḥusn-uzh-zhann bahwa mereka ahli ḥaqīqat.

Jika ‘ulamā’ shūfī mengatakan dalam adab murid kepada mursyidnya: “Tidak boleh menentang gurunya dan bertanya: “kenapa”?”, maka larangan tersebut terilhami (baca: isti’nās (831)) dari apa yang dilakukan Nabi Khidhir menggunakan ḥaqīqat, dan Nabi Mūsā menggunakan syarī‘at.

Syarī‘at dan ḥaqīqat telah dipercontohkan oleh Nabi Khidhir dan Nabi Mūsā. Dan itulah adab yang kemudian diijtihadi dan digunakan dalam ilmu tarekat tashawwuf yang berlandaskan syarī‘at dan ḥaqīqat.

Apakah kemudian anda akan mensesatkan Nabi Khidhir yang menggunakan ilmu ḥaqīqatnya? Apakah anda akan membuat syubhat-syubhat murahan bahwa ilmu ladunni adalah dimiliki khusus oleh beliau?

Perlu dicatat, menghormati guru mursyid bukan karena beliau adalah seorang yang ma‘shūm dari salah, seperti layaknya para nabi, akan tetapi menghormati mursyid karena beliau adalah orang yang diperintahkan Allah untuk dihormati dan dita‘zhimkan.

Dan shūfī membebaskan diri dari mengkultuskan guru mursyid dengan yang tidak selayaknya.

Catatan:

  1. 83). Masalah isti’nas akan kami bahas pada masalah tentang ḥujjah ilhām. Dan perlu dimengerti bahwa isti’nas bukan ḥujjah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *