Di sini, dari hati Nabi Nūḥ a.s., terbitlah doa itu atas kaumnya yang zhālim, sesat, menyesatkan, selalu melakukan tipu-daya, dan mendustakan ayat-ayat Allah:
“Janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhālim itu selain kesesatan.” (Nūḥ: 24).
Itulah doa yang terbit dari hati seseorang yang telah berjuang dalam waktu yang panjang dan telah susah-payah. Setelah ditempuh segala cara dan digunakannya semua sarana, sampailah ia pada kesimpulan bahwa tidak ada kebaikan sama sekali pada hati yang zhālim, melampaui batas, dan sombong. Ia tahu bahwa hati semacam ini tidak layak mendapatkan hidāyah dan keselamatan.
Sebelum memaparkan kelanjutan doa Nabi Nūḥ a.s., ayat berikutnya menjelaskan ada yang akan menimpa orang-orang zhālim yang penuh dosa itu di dunia dan di akhirat. Maka, urusan akhirat itu sudah tampak sebagaimana urusan dunia, bila dinisbatkan kepada pengetahuan Allah, dan dinisbatkan kepada kejadiannya yang pasti dan tidak mungkin berubah:
مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ أُغْرِقُوْا فَأُدْخِلُوْا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوْا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِ اللهِ أَنْصَارًا.
“Disebabkan kesalahan-kesalahannya, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka. Maka, mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah.” (Nūḥ: 25).
Karena kesalahan-kesalahan, dosa-dosa, dan pelanggaran-pelanggarannya, maka mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke dalam neraka. Penggunaan huruf “fā’” “lalu” di sini memang disengaja, karena dimasukkannya mereka ke dalam neraka berkaitan dengan ditenggelamkannya mereka, dan pemisahan dalam waktu yang sangat singkat itu seakan-akan tidak ada, karena dalam timbangan Allah tidak berarti apa-apa. Maka, tartib ma‘-at-ta‘qīb penyebutan secara berurutan” itu terjadi antara ditenggelamkannya mereka di bumi dan dimasukkannya mereka ke dalam neraka pada hari kiamat. Mungkin ia adalah ‘adzāb kubur dalam masa yang pendek antara dunia dan akhirat: “Maka, mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah.”
Mereka tidak lagi punya anak, harta, kekuasaan, dan pelindung-pelindung dari berhala-berhala yang mereka dakwakan!
Dalam kedua ayat yang pendek itu, selesailah urusan orang-orang yang suka melanggar lagi sombong itu, dan terangkumlah penyebutan tentang kehidupan mereka. Hal itu sebelum dipaparkannya doa Nabi Nūḥ a.s. supaya mereka dibinasakan dan dimusnahkan. Di sini tidak diperinci tentang kisah tenggelamnya mereka dan kisah banjir yang menenggelamkan mereka. Karena, bayang-bayang yang dimaksudkan adalah adanya peristiwa ini dalam sekilas bayang-bayang. Sehingga, jarak antara ditenggelamkannya mereka dengan banjir besar dan dimasukkannya mereka ke neraka dilintasi dalam huruf fā’ itu saja, sesuai dengan metode al-Qur’ān di dalam menyampaikan ungkapan yang mengesankan dan pelukisannya yang indah. Maka, kita berhenti di bawah bayang-bayang konteks ayat tanpa melampauinya hingga merinci kisah tenggelamnya mereka dan dibakarnya mereka di dalam neraka!
Kemudian disebutkanlah doa Nabi Nūḥ secara lenkap hingga bagian akhir, dan disebutkan pula bagaimana ia memohon dan menghadapkan diri kepada Allah di ujung jalan perjuangannya:
وَ قَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِيْنَ دَيَّارًا. إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوْا عِبَادَكَ وَ لَا يَلِدُوْا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا. رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَ لِوَالِدَيَّ وَ لِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ وَ لَا تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلَّا تَبَارًا.
“Nūḥ berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hambaMu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir. Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan wanita. Janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhālim itu selain kebinasaan”.” (Nūḥ: 26-28).
Hati Nabi Nūḥ mendapatkan ilham bahwa bumi perlu dicuci untuk membersihkan wajahnya dari keburukan yang hebat dan tulen yang dicapai kaumnya pada saat itu. Ya‘ni, ketika tidak ada obat mujarab lain yang dapat dipergunakan untuk mengobatinya selain dengan membersihkan permukaan bumi dari orang-orang yang zhālim, karena kebandelan mereka terhadap seruan ke jalan Allah sudah mencapai puncaknya dan sudah tidak dapat bersambung ke dalam hati mereka lagi.
Inilah hakikat yang diungkapkan oleh Nabi Nūḥ ketika memohon kepada Allah agar mereka dihabiskan secara total hingga tidak ada yang masih tinggal lagi di muka bumi. Lalu ia berkata: “Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hambaMu”. Lafal “hamba-hambaMu” ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafal ini adalah orang-orang yang beriman. Lafal ini disebutkan dalam al-Qur’ān di tempat seperti ini, dengan ma‘na tersebut. Penyesatan itu adalah dengan memfitnah mereka dari ‘aqīdah mereka dengan kekuatan yang kejam, atau dengan memfitnah hati mereka sewaktu melihat kekuasaan orang-orang yang zhālim dan dibiarkannya mereka oleh Allah dalam keadaan sehat sejahtera!
Kemudian mereka didapati sebagai lingkungan yang di kalangan mereka lahir orang-orang yang kafir, dan kesan kekafiran ini telah tampak sejak kanak-kanak yang masih kecil, karena mereka dicetak oleh orang-orang yang zhālim. Sehingga, tidak ada kesempatan bagi mereka untuk melihat cahaya dari celah-celah lingkungan sesat yang mereka ciptakan. Inilah hakikat yang diisyaratkan oleh perkataan Nabi Nūḥ a.s. dan diceritakan oleh al-Qur’ān: “Mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir”. Maka, mereka ucapkan kebatilan-kebatilan dan kesesatan-kesesatan di kalangan masyarakat, dan mereka ciptakan kebiasaan-kebiasaan, perundang-undangan, aturan-aturan, dan tradisi-tradisi yang bersamanya akan lahir anak-anak yang durhaka dan kafir sebagaimana dikatakan oleh Nabi Nūḥ.
Karena itu, Nabi Nūḥ a.s. berdoa dengan doanya yang sangat keras dan membinasakan. Karena itu pula Allah mengabulkan doanya. Lalu, dicuci-Nya permukaan bumi dari kejahatan itu dan disapunya kesalahan-kesalahan dan kebohongan-kebohongan yang tidak dapat disapu kecuali oleh kekuatan Yang Maha Perkasa lagi Maha Kuasa.
Di samping doanya yang keras dan membinasakan yang ditutup dengan ucapannya: “Janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhālim itu selain kebinasaan”, maka diiringi pula dengan doa yang khusyū‘ dan penuh kasih-sayang: “Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan wanita.”
Doa Nabi Nūḥ kepada Allah agar Dia berkenan mengampuninya adalah adab nabawi yang mulia di hadapan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Adab seorang hamba di hadirat Tuhan. Hamba yang tidak pernah lupa bahwa dia adalah seorang manusia yang banyak bersalah dan berkekurangan, meski bagaimanapun ia patuh dan ber‘ibādah. Ia menyadari bahwa ia tidak akan dapat masuk surga hanya semata-mata karena ‘amalnya, melainkan karena dikaruniai rahmat Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh saudaranya sesama nabi yang mulia, yaitu Nabi Muḥammad s.a.w. Ini pulalah permohonan ampun yang diserukan kepada kaumnya yang penuh maksiat dan dosa itu untuk melakukannya, tetapi mereka malah menentangnya.
Ia seorang nabi yang memohon ampun kepada Allah sesudah melakukan perjuangan sedemikian rupa dan dengan kepayahan yang seperti ini. Ia memohon ampun ketika menghaturkan perhitungan hasil kerjanya kepada Tuhannya.
Doanya untuk bapak ibunya adalah kebaktian sang Nabi kepada bapak ibunya yang beriman, sebagaimana kita pahami dari doa ini. Seandainya ibu bapaknya tidak beriman, niscaya Nabi Nūḥ akan membiarkannya sebagaimana ia membiarkan anaknya yang kafir tenggelam bersama orang-orang yang tenggelam (sebagaimana disebutkan dalam surah Hūd).
Doa khusus bagi orang yang masuk rumahnya dengan beriman itu adalah sebagai kebaikannya terhadap orang-orang yang beriman, kebaikan seorang mu’min terhadap mu’min lainnya, dan menunjukkan betapa ia menyukai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia menyukainya untuk dirinya sendiri. Dan, dikhususkannya orang yang masuk rumahnya dengan beriman merupakan tanda keselamatan dan benteng orang-orang mu’min yang akan menemaninya di dalam bahtera.
Sedangkan, doanya yang umum bagi orang-orang mu’min laki-laki dan wanita sesudah itu adalah menunjukkan kebaikan seorang mu’min terhadap orang-orang beriman lainnya secara keseluruhan pada semua masa dan tempat, dan perasaannya terhadap unsur-unsur kekeluargaan sepanjang perputaran masa dan berbedanya tempat tinggal. Ini adalah suatu rahasia yang mengagumkan di dalam ‘aqidah Islam yang menghubungkan antarsesama orang se‘aqīdah dengan jalinan cinta yang kuat dan kerinduan yang dalam, meskipun berjauhan masa dan tempatnya. Ya‘ni, rahasia yang ditanamkan Allah di dalam ‘aqīdah ini, dan dikaruniakan-Nya kepada hati yang terikat dengan ikatan ‘aqīdah-Nya.
Sebagai kebalikan dari kecintaan kepada orang-orang yang beriman ini adalah kebencian kepada orang-orang yang zhālim:
“Janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhālim itu selain kebinasaan” (Nūḥ: 28).
Ditutuplah sudah surah ini, dan telah dipaparkannya gambaran yang terang tentang perjuangan Nabi Nūḥ a.s., dan gambar yang buram tentang kebandelan orang-orang yang keras kepala lagi zhālim. Semua itu meninggalkan kecintaan di dalam hati kepada semangat yang mulia dan kagum terhadap perjuangan yang mulia itu, serta menjadi bekal untuk menempuh jalan yang mendaki ini, bagaimanapun kesulitan dan bebannya, dan bagaimanapun pengorbanan dan penderitaannya.
Nah, itulah satu-satunya jalan yang dapat menyampaikan manusia ke puncak kesempurnaan yang ditaqdīrkan untuknya di muka bumi ini, ketika sampai kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Luhur, Yang Maha Mulia lagi Maha Agung.