Suratu Nuh 71 ~ Tafsir Sayyid Quthb (4/5)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Suratu Nuh 71 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Kaidah yang ditetapkan oleh al-Qur’ān dalam beberap tempat yang terpisah-pisah ini adalah kaidah yang tepat, yang menjadi tumpuan sebab-sebab segala sesuatu yang dijanjikan Allah dan sunnah kehidupan, sebagaimana kenyataan praktis yang dapat disaksikan realisasinya sepanjang masa. Pembicaraan dalam kaidah ini adalah tentang umat, bukan tentang individu.

Tidak ada suatu umat yang ditegakkan padanya syarī‘at Allah dan menghadapkan diri sebenar-benarnya kepada Allah dengan melakukan ‘amal shāliḥ dan istighfār yang bersumber dari rasa takut kepada Allah. Tidak ada suatu umat yang bertaqwa kepada Allah, rajin ber‘ibādah kepada-Nya, menegakkan syarī‘at-Nya, dan menerapkan keadilan dan keamanan bagi semua manusia, melainkan akan melimpah kebaikan-kebaikan pada mereka. Allah akan memantapkan kedudukan mereka di muka bumi, dan menjadikan mereka khalīfah untuk membawa kemakmuran dan kebaikan padanya.

Memang, kadang-kadang kita menyaksikan bangsa-bangsa yang tidak bertaqwā kepada Allah dan tidak menegakkan syarī‘at-Nya, mendapatkan kelapangan dan kemakmuran rezeki serta kedudukan yang mantap di muka bumi. Ya, memang kita sering melihat itu, tetapi hal tersebut tidak lain hanyala ujian, sebagaimana firman Allah:

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan.” (al-Anbiyā’: 35).

Kemudian kemakmurannya terserang penyakit dan dimakan bencana krisis sosial, krisis moral, kezhāliman, penyelewengan, dan pelecehan terhadap harkat manusia. Di depan kita sekarang terdapat dua negara besar yang melimpah-ruah dan mantap rezekinya (perekonomiannya) di muka bumi, yang satu negara kapitalis dan satunya lagi negara komunis.

Di negara yang pertama, masyarakatkan mengalami krisis moral hingga ke tingkatan yang lebih rendah daripada binatang. Pandangan hidupnya juga mengalami kemerosotan ke tingkatan yang paling rendah, dan segala sesuatunya hanya diukur dengan dolar. Sedangkan di negara yang kedua, nilai-nilai kemanusiaan melorot ke tingkat yang lebih rendah daripada budak, kehidupan selalu diawasi oleh mata-mata, dan manusia selalu hidup dalam ketakutan terhadap pembantaian-pembantaian yang berkepanjangan. Setiap malam hati mereka tidak pernah merasa tenang karena tidak ada jaminan bahwa besok pagi kepalanya masih berada di antara pundak kanan kirinya, tidak dilenyapkan di dalam kegelapan malam karena dituduh yang macam-macam.

Nah, kondisi kehidupan seperti di kedua negara itu tidak dapat dikatakan sebagai kehidupan manusiawi yang dapat diindikasikan sebagai kehidupan yang makmur!

Kita telusuri terus jalan perjuangan Nabi Nūḥ yang panjang dan mulia. Dengan demikian, kita dapati ia mengingatkan kaumnya terhadap ayat-ayat Allah pada diri mereka, pada alam semesta, dan pada segala sesuatu di sekitar mereka. Ia merasa heran terhadap sikap mereka yang tidak dapat berpikir sehat, mengikuti hawa-nafsu, dan bersikap buruk terhadap Allah, Nabi Nūḥ mengingkari sikap dan perilaku mereka itu:

Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian.” (Nūḥ: 13-14).

Tingkatan-tingkatan kejadian yang difirmankan kepada kaum Nabi Nūḥ pada waktu itu sudah tentu merupakan sesuatu yang sudah mereka mengerti, atau salah satu materi petunjuknya sudah dimengerti oleh kaum itu. Tujuannya agar di balik peringatan itu diharapkan mereka memperoleh kesan di dalam jiwanya yang dapat membawanya kepada kesadaran.

Kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa tingkatan-tingkatan kejadian itu adalah tingkatan perkembangan janin dari nuthfah ke ‘alaqah, lalu ke mudhghah, hingga ke bentuk kejadiannya yang sempurna. Hal ini dapat dimengerti oleh kaum itu apabila mereka diperingatkan terhadapnya. Karena, janin yang gugur sebelum sempurna kejadiannya dalam rahim itu dapat saja memberikan pengertian kepada mereka tentang perkembangan kejadiannya ini. Inilah salah satu materi petunjuk ayat tersebut.

Mungkin materi petunjuk ayat itu adalah seperti yang dikatakan oleh para ahli embriologi, bahwa janin itu pada mulanya menyerupai binatang satu sel. Setelah beberapa lama masa kehamilan, janin itu menyerupai binatang dengan banyak sel. Kemudian berbentuk seperti binatang air, lalu berhentuk seperti binatang yang basah, dan berkembang lagi dengan bentuk manusia. Perkembangan seperti ini sudah tentu jauh dari pengetahuan kaum Nabi Nūḥ, karena hal ini baru terungkap pada zaman modern sekarang ini.

Mungkin juga perkembangan embrio seperti yang dipaparkan di atas adalah yang ditunjuki oleh firman Allah ta‘ālā di tempat lain setelah menyebutkan tingkatan kejadian janin:

Kemudian Kami jadikan dia makhlūq yang (berbentuk) lain. Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (al-Mu’minūn: 14).

Nash ini dan nash itu memiliki materi petunjuk lain yang tidak terungkap dan tidak terikat oleh ‘ilmu pengetahuan sesudahnya.

Bagaimanapun, Nabi Nūḥ telah mengarahkan kaumnya untuk memperhatikan diri mereka sendiri di mana Allah telah menciptakan mereka melalui tingkatan dan perkembangan sedemikian rupa, tetapi kemudian mereka tidak memiliki rasa hormat di dalam hati mereka terhadap Allah Yang Maha Agung yang telah menciptakan mereka. Sikap demikian ini merupakan sikap makhlūq yang sangat mengherankan dan sangat buruk.

Nabi Nūḥ juga menghadapkan mereka kepada kitab semesta yang terbuka:

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita?” (Nūḥ: 15-16).

Tujuh langit ini tidak mungkin dibatasi pada perkiraan ‘ilmu pengetahuan di dalam mendefinisikan alam semesta, karena semua itu hanya sekadar perkiraan. Nabi Nūḥ hanya menghadapkan kaumnya kepada langit dan memberitahukan kepada mereka bahwa langit itu tujuh tingkat, di sana ada bulan yang bercahaya dan ada matahari yang bersinar. Sedangkan, mereka dapat melihat bulan dan matahari, dan melihat apa yang disebut langit, yang berupa ruang angkasa yang berwarna biru. Akan tetapi, apakah hakikat langit yang sebenarnya? Hal itu tidak dituntut oleh mereka, dan tidak seorang pun sampai hari ini yang dapat memastikannya.

Pengarahan Nabi Nūḥ ini sudah cukup untuk membangkitkan pikiran dan perhatian terhadap kekuasaan pencipta yang ada di balik makhlūq-makhlūq yang besar, dan inilah yang dimaksud oleh arahan itu.

Kemudian Nabi Nūḥ kembali mengarahkan kaumnya untuk memperhatikan kejadian mereka dari tanah dan kembali mereka ke tanah lagi setelah meninggal dunia, untuk memantapkan kepada mereka tentang hakikat akan dikeluarkannya mereka kembali dari bumi pada waktu dibangkitkan kembali:

Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (darinya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya.” (Nūḥ: 17-18).

Pengungkapan kejadian manusia dengan istilah inbat “menumbuhkan” ini merupakan ungkapan yang menakjubkan dan mengesankan. Hal itu diulang-ulang dalam al-Qur’ān pada beberapa tempat, seperti dalam firman Allah:

Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seidzin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.” (al-A‘rāf: 58).

Firman ini mengisyaratkan bahwa penciptaan manusia itu seperti penciptaan tumbuh-tumbuhan. Penciptaan manusia diiringkan juga penyebutannya dengan penciptaan tumbuh-tumbuhan pada beberapa tempat dalam al-Qur’ān. Dalam surah al-Ḥajj misalnya, Allah menghimpun penjelasan tentang kejadian manusia dan tumbuh-tumbuhan:

Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, dari segumpal darah, dan dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu. Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan. Kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, dan (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan. Di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Kamu lihat bumi ini kering. Kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah serta menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (al-Ḥajj: 5).

Dalam surah al-Mu’minūn ayat 19 disebutkan tahap-tahap perkembangan janin yang mirip dengan apa yang disebutkan dalam surah al-Ḥajj itu.

Ini adalah sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji dan diperhatikan. Ia mengesankan adanya kesatuan di antara pokok-pokok kehidupan di muka bumi. Juga mengesankan bahwa kejadian manusia dari unsur-unsur utama tanah – seperti tumbuhan – lalu makan dan tumbuh berkembang dengannya, menyebabkan manusia dapat dikatakan sebagai tumbuhan dari tumbuhan bumi. Allah memberikan warna kehidupan ini kepadanya sebagaimana Dia memberikan warna kehidupan itu kepada tumbuh-tumbuhan. Kedua-duanya menyusul dari induk (bumi) ini.

Iman menumbuhkan di dalam jiwa orang mu’min pandangan yang hakiki dan hidup terhadap hubungannya dengan bumi dan makhlūq hidup. Pandangan yang mengandung pengetahuan yang cermat dan perasaan yang hidup, karena ditegakkan pada hakikat yang hidup dalam hati nurani. Ini merupakan keistimewaan pengetahuan al-Qur’ānī yang unik.

Manusia yang tumbuh dari tanah ini kelak akan kembali ke dalam tanah lagi pada kali lain. Allah akan mengembalikan mereka kepadanya sebagaimana dahulu Dia menumbuhkan mereka darinya. Maka, bercampurlah bangkai mereka dengan tanah itu, bercampur-aduk menjadi satu, sebagaimana keberadaan mereka di dalam bumi sebelum ditumbuhkan darinya dahulu. Kemudian Allah mengeluarkan mereka kembali dari dalam bumi sebagaimana dahulu menumbuhkan mereka pada kali pertama. Tindakan mengeluarkan atau menumbuhkan mereka kembali itu adalah persoalan pemikiran yang panjang, ketika manusia mau memperhatikannya dari sudut pemaparan al-Qur’ān.

Nabi Nūḥ a.s. menghadapkan kaumnya kepada hakikat ini agar hati mereka merasakan adanya tangan Allah yang menumbuhkan mereka dari tanah dan mengembalikan mereka lagi pada kali lain dan menghisabnya. Tangan Allah melakukan semua ini dengan mudah dan sederahana, sangat jelas, dan tidak dapat dibantah lagi.

Akhirnya, Nabi Nūḥ menghadapkan hati kaumnya kepada ni‘mat Allah atas mereka. Dia telah memudahkan kehidupan bagi mereka di muka bumi, dan memudahkan bumi bagi perjalanan, penghidupan, transportasi, dan jalan-jalan kehidupan mereka:

Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi itu.” (Nūḥ: 19-20).

Hakikat yang dekat kepada pemandangan hidup dan pengetahuan mereka selalu berhadapan dengan mereka secara sempurna. Mereka tidak dapat lari darinya sebagaimana mereka lari dari suara dan peringatan Nabi Nūḥ. Maka, bumi ini dihamparkan dan dimudahkan bagi mereka, sehingga gunung-gunungnya pun dijadikan bagi mereka tempat melintas dan jalan-jalan, dan sudah tentu hamparan bumi lebih utama lagi. Di jalan-jalannya mereka berlalu-lalang, berkendaraan, berpindah pergi dari atau tempat ke tempat lain, mencari karunia Allah, mencari penghidupan, dan mencari kemanfaatan-kemanfaatan dan rezeki dengan mudah.

Mereka mengetahui hakikat yang terpampang di hadapan mereka tanpa memerlukan kajian yang ilmiah dan mendalam. Dengan ini mereka dapat mempelajari hukum-hukum yang mengatur keberadaan mereka di muka bumi dan memudahkan bagi mereka kehidupan padanya. Setiap kali bertambah pengetahuan seseorang, maka ia akan mendapatkan sisi-sisi yang baru dari hakikat ini dan menjumpai ufuk yang jauh lagi. (81).

Demikianlah jalan yang ditempuh oleh Nabi Nūḥ, atau yang diusahakan ditempuh, untuk menyampaikan dakwah dan seruan ke telinga, hati, dan pikiran mereka dengan berbagai macam metode, cara, dan sarana yang dilakukannya dengan penuh ketekunan, kesabaran yang bagus, dan perjuangan yang mulia selama sembilan ratus lima puluh tahun. Kemudian ia kembali kepada Allah yang telah mengutusnya kepada mereka, untuk melaporkan hasil perhitungannya dan mengadukan keluh-kesahnya, dengan penjelasan yang rinci dan dengan bahasa yang mengesankan. Dari penjelasannya yang cermat dan lembut ini, tampaklah gambaran yang indah tentang kesabaran, perjuangan, dan penderitaannya, yang merupakan salah satu mata rantai risalah langit kepada manusia yang sesat dan suka melanggar. Nah, apa lagi yang perlu dilakukan sesudah penjelasan yang demikian jelas dan terang?

قَالَ نُوْحٌ رَّبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِيْ وَ اتَّبَعُوْا مَنْ لَّمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَ وَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا. وَ مَكَرُوْا مَكْرًا كُبَّارًا. وَ قَالُوْا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَ لَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَ لَا سُوَاعًا وَ لَا يَغُوْثَ وَ يَعُوْقَ وَ نَسْرًا. وَ قَدْ أَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَ لَا تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلَّا ضَلاَلًا.

Nūḥ berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka, dan melakukan tipu-daya yang amat besar”. Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, suwā‘, yaghūts, ya‘ūq dan nasr”. Sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhālim itu selain kesesatan.” (Nūḥ: 21-24).

Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, setelah kulakukan semua perjuangan ini dan sesudah aku berpenat lelah seperti ini. Juga setelah kuberikan pengarahan, pencerahan, dan peringatan dengan memberikan harapan-harapan dan janji untuk akan mendapatkan harta kekayaan, anak-anak, dan kemakmuran. Setelah kulakukan semua ini, mereka tetap durhaka dan berjalan di belakang kepemimpinan yang sesat dan menyesatkan, yang memperdayakan para pengikutnya dengan kekayaan dan anak-anak yang dimilikinya, dan lambang-lambang kedudukan dan kekuasaan, dari orang-orang yang: “harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka”. Mereka telah diperdayakan oleh harta dan anak-anak mereka dengan kesesatan dan penyesatan. Karena itu, tidak ada lagi di belakang mereka selain kecelakan dan kerugian.

Pemimpin-pemimpin itu tidak cukup dengan menyesatkan saja. Akan tetapi: “mereka melakukan tipu-daya yang amat besar.” Tipu-daya yang maksimal besarnya. Mereka melakukan tipu-daya untuk membatalkan dakwah dan menutup jalannya untuk dapat sampai ke dalam hati manusia. Mereka melakukan tipu-daya untuk menghiasi kekufuran, kesesatan, dan kejahiliahan yang menjerumuskan kaumnya.

Adapun di antara tipu-daya mereka adalah menganjurkan masyarakat untuk berpegang teguh pada berhala-berhala yang mereka sebut sebagai tuhan-tuhan (ālihah), “Mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu.” Dinisbatkannya “tuhan-tuhan” ini kepada mereka adalah untuk membangkitkan kebesaran palsu dan gengsi yang penuh dosa di dalam hati mereka. Dari berhala-berhala sembahan ini, mereka khususkan yang paling besar kedudukannya. Lalu, mereka sebutkan secara khusus untuk membangkitkan gengsi dan kesombongan dalam hati golongan masyarakat awam yang mereka sesatkan itu: “Dan, jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwā‘, yaghūts, ya‘ūq, dan nasr.” Nama-nama tersebut merupakan berhala-berhala terbesar yang disembah pada zaman jahiliah hingga zaman risālah Nabi Muḥammad s.a.w.

Demikianlah pemimpin-pemimpin yang sesat lagi menyesatkan itu menegakkan berhala-berhala, dengan nama-nama dan bentuk-bentuk yang beraneka macam, sesuai dengan rasa kebangsaan berlebihan yang sangat dominan di kalangan jahiliah mana pun. Pengikut-pengikutnya berhimpun di sekelilingnya, dan hati mereka bergejolak untuk membela berhala-berhala itu. Para pemimpin itu mengarahkan mereka ke mana saja yang dikehendakinya, dan dikondisikannya mereka supaya tetap berada di dalam kesesatan dengan melakukan ketaatan dan kepatuhan kepada mereka: “Sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia)”. Hal ini seperti yang dilakukan semua pemimpin sesat yang menghimpun manusia di sekitar berhala-berhala yang berupa batu-batu, manusia, serta ideologi dan pemikiran untuk menghalangi dakwah ke jalan Allah, dan untuk mengarahkan manusia supaya jauh dari para dai, dengan melakukan tipu-daya yang amat besar dan terus-menerus.

Catatan:

  1. 8). Silakan baca surah al-Mulk pada firman Allah ayat 15: “Huw-alladzī ja‘ala lakum-ul-ardha dzalūlan fansyū fī manākibihā wa kulū min rizqihi wa ilaih-in-nusyūr.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *