إِنَّا أَرْسَلْنَا نُوْحًا إِلَى قَوْمِهِ أَنْ أَنذِرْ قَوْمَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ. قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّيْ لَكُمْ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ. أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَ اتَّقُوْهُ وَ أَطِيْعُوْنِ. يَغْفِرْ لَكُمْ مِّنْ ذُنُوْبِكُمْ وَ يُؤَخِّرْكُمْ إِلىَ أَجَلٍ مُّسَمًّى إِنَّ أَجَلَ اللهِ إِذَا جَاءَ لَا يُؤَخَّرُ لَوْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nūḥ kepada kaumnya (dengan memerintahkan): “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya ‘adzāb yang pedih.” Nūḥ berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu, yaitu sembahlah olehmu Allah, bertaqwālah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku, niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah apabila datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui.” (Nūḥ: 1-4).
Surah ini dimulai dengan menetapkan sumber risalah dan ‘aqidah dengan penegasan: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nūḥ kepada kaumnya.” Inilah Sumber tempat para rasul menerima tugas, sebagaimana mereka menerima ‘aqīdah. Dia adalah sumber yang menjadi sumber alam semesta dan kehidupan. Dialah Allah yang telah menciptakan manusia dan membekali fitrahnya dengan potensi untuk mengenal dan menyembah-Nya. Maka, ketika mereka menyimpang dan berpaling dari fitrah itu, Dia lantas mengutus rasūl-rasūlNya kepada mereka untuk mengembalikan mereka kepada ajaran-Nya.
Nabi Nūḥ a.s. adalah orang pertama dari rasūl-rasūl itu, sesudah Nabi Ādam a.s. Nabi Ādam tidak disebutkan risalahnya di dalam al-Qur’ān setelah kedatangannya di muka bumi ini dan setelah ia menjalani kehidupan di sini. Mungkin ia hanya sebagai pendidik bagi putra-putra dan cucu-cucunya, sehingga telah lama berlalu masa kewafatannya, mereka tersesat dari ‘ibadah kepada Allah Yang Maha Esa, dan menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan sembahan. Pada mulanya mereka membuat patung-patung ini hanya sebagai simbol kekuatan yang mereka sucikan, baik kekuatan ghaib maupun kekuatan yang nyata. Kemudian mereka lupa bahwa semua itu hanya simbol lalu mereka menyembah patung-patung tersebut. Di antara patung-patung itu terdapat lima patung yang paling populer yang akan disebutkan dalam surah ini.
Kemudian Allah mengutus Nabi Nūḥ kepada mereka untuk mengembalikan mereka kepada tauḥīd, dan untuk meluruskan pandangan mereka tentang Allah, kehidupan, dan alam semesta. Kitab-kitab suri terdahulu menyebutkan Nabi Idrīs a.s. lebih dahulu daripada Nabi Nūḥ, tetapi apa yang disebutkan di dalam kitab-kitab itu tidak termasuk dalam bangunan ‘aqīdah Muslim. Karena, kemungkinan adanya syubhat yang berupa penyimpangan dan penambahan terhadap kitab-kitab tersebut.
Arahan yang dijumpai orang yang membaca kisah nabi-nabi dalam al-Qur’ān adalah bahwa Nabi Nūḥ itu ada sejak menyingsingnya fajar kemanusiaan, dan panjang usianya yang ia gunakan untuk berdakwah kepada kaumnya adalah sembilan ratus lima puluh tahun. Sudah tentu dengan membandingkannya kepada usia Nabi Nūḥ, maka usia mereka yang hidup pada masanya juga panjang-panjang. Panjangnya usia Nabi Nūḥ dan usia generasinya memberikan kesan bahwa jumlah manusia pada waktu itu baru sedikit, tidak sebanyak generasi-generasi sesudanya. Hal itu dibandingkan dengan apa yang kita lihat pada sunnah Allah terhadap makhlūq hidup yang panjang umurnya apabila jumlahnya sedikit, sebagai kompensasi. Akan tetapi, Allah-lah yang lebih mengetahui tentang hal itu. Itu hanya sekadar pandangan dan perbandingan terhadap sunnah Allah saja!
Surah ini dimulai dengan menetapkan dan menegaskan sumber risālah. Kemudian menyebutkan kandungan risālah Nabi Nūḥ secara ringkas beserta peringatan yang disampaikannya kepada kaumnya:
“Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya ‘adzāb yang pedih.”
Kondisi kaum Nabi Nūḥ yang telah sampai pada puncaknya dalam keberpalingan, kesombongan, kekeraskepalaan, dan kesesatan – sebagaimana yang tampak dari celah-celah perhitungan yang pada akhirnya disampaikan Nūḥ kepada Tuhannya – menjadikan pemberian peringatan ini begitu tepat di dalam meringkaskan risālahnya dan mengawali dakwahnya kepada kaumnya. Juga dalam memberikan peringatan tentang ‘adzāb yang pedih, di dunia atau di akhirat, atau kedua-duanya sekaligus.
Dari pemandangan yang berupa pemberian tugas, ayat berikutnya secara langsung membentangkan pemandangan yang berupa penyampaian risālah secara singkat. Adapun yang menonjol dari isi tablighnya adalah peringatan yang disertai keinginan untuk mendapatkan pengampunan dari kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa. Juga diiringi dengan penjelasan tentang akan datangnya saat perhitungan pada suatu waktu di akhirat nanti untuk dipertanggungjawabkan. Hal itu disertai dengan penjelasan ringkas mengenai pokok-pokok dakwah yang disampaikannya kepada mereka:
“Nūḥ berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu, yaitu sembahlah olehmu Allah, bertaqwālah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku, niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah apabila datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui.” (Nūḥ: 2-4).
“Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu….” Dijelaskan peringatan-peringatannya dan diterangkan alasan-alasannya. Tidak berbicara dengan tidak jelas dan tidak pula ada yang disembunyikan. Tidak bimbang dalam dakwahnya. Tidak ada yang rancu dan samar di dalam menerangkan hakikat sesuatu yang didakwahkannya, dan di dalam menjelaskan hakikat sesuatu yang akan menimpa orang-orang yang mendustakan dakwahnya.
Apa yang ia serukan begitu terang, jelas, dan harus.
“….yaitu sembahlah olehmu Allah, bertaqwālah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku…..”
‘Ibādah hanya kepada Allah saja, tanpa mempersekukan-Nya dengan sesuatu pun. Taqwā kepada Allah akan dapat menjaga perasaan dan perilaku. Taat kepada Rasūl-Nya akan menjadikan perintah-Nya sebagai sumber sistem kehidupan dan kaidah perilaku.
Pada program-program yang lapang ini tersimpulkanlah agama langit secara mutlak, kemudian sesudah itu diperinci dalam rincian dan cabang-cabangnya. Dijelaskan pula sejauh mana tashawwur-nya “pandangannya”, serta betapa agung, dalam, luas, dan lengkapnya agama langit ini. Juga betapa ia meliputi sisi-sisi yang bermacam-macam bagi alam wujud dan bagi keberadaan manusia, yang semuanya dibicarakan dalam perincian dan cabang-cabangnya.
“Ber‘ibādah kepada Allah Yang Maha Esa” adalah manhaj yang sempurna bagi kehidupan, yang meliputi pandangan manusia terhadap hakikat ulūhiyyah “ketuhanan yang berhak disembah”, hakikat ‘ubūdiyyah (penyembahan, per‘ibādatan), hakikat hubungan antara makhlūq dan Khāliq (Sang Maha Pencipta), dan hakikat kekuatan dan nilai-nilai di alam semesta dan dalam kehidupan manusia. Dari sana bersumberlah aturan kehidupan manusia yang ditegakkan pada pandangan itu, sehingga tegaklah manhaj kehidupan yang khas ya‘ni manhaj rabbānī “sistem ketuhanan”, yang merujuk kepada hakikat hubungan antara ‘ubūdiyyah dan ulūhiyyah, dan nilai-nilai yang ditetapkan Allah bagi makhlūq hidup dan bagi segala sesuatu.
“Taqwā kepada Allah” merupakan jaminan yang sebenarnya terhadap konsistensi manusia di atas manhaj itu, tidak berpaling ke sana atau ke sini, dan tidak melakukan tipu-daya atau berpura-pura di dalam melaksanakannya. Ia juga merupakan sumber akhlaq utama yang dilakukan hanya karena Allah, tanpa ada keinginan untuk dipuji orang lain, tidak berpura-pura, dan tidak untuk pamer.
“Taat kepada Rasūl” merupakan jalan untuk dapat tegak lurus di jalan dan menerima petunjuk dari sumbernya yang berhubungan dengan sumber pertama penciptaan dan petunjuk. Juga jalan untuk menetapkan hubungan dengan langit melalui pos penerimaan langsung yang sehat dan terjamin.
Langkah-langkah panjang yang diserukan Nūḥ kepada kaumnya sejak menyingsingnya fajar kemanusiaan ini merupakan ringkasan dakwah kepada Allah pada setiap generasi sesudahnya. Nūḥ menjanjikan kepada mereka apa yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang bertobat dan kembali kepada jalan-Nya:
“…..Niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang ditentukan…..”
Sebagai balasan bagi orang yang menerima seruan untuk ber‘ibādah kepada Allah, bertaqwa kepada-Nya, dan taat kepada Rasūl-Nya adalah pengampunan dan terbebas dari dosa-dosa yang telah lalu. Juga ditangguhkannya hisab hingga waktu yang ditentukan dalam ‘ilmu Allah dan tidak dijatuhi hukuman dalam kehidupan dunia ini dengan siksaan sampai akar-akarnya (masalah ini akan disebutkan di dalam hisab atau perhitungan yang dikemukakan Nabi Nūḥ kepada Tuhannya bahwa Tuhan menjanjikan kepada mereka hal-hal lain di dalam kehidupan ini).
Kemudian dijelaskan bahwa ajal yang ditetapkan itu pasti akan datang pada saatnya, dan ia tidak dapat ditangguhkan sebagaimana ditangguhkannya ‘adzāb dunia. Itu adalah untuk menetapkan hakikat ‘aqīdah yang sangat besar ini:
“……Sesungguhnya ketetapan Allah apabila datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui.”
Nash ini juga mengandung kemungkinan bahwa ini adalah untuk menetapkan setiap ajal yang telah ditetapkan Allah, dan untuk menetapkan hakikat ini ke dalam hati mereka secara umum, sesuai dengan pembicaraan tentang janji akan ditangguhkannya hisab mereka – kalau mereka mau bertobat dan taat – hingga hari hisab (perhitungan).
Nabi Nūḥ a.s. terus-menerus melakukan usaha dan perjuangannya yang mulia dan tulus untuk membimbing kaumnya, tanpa memperhitungkan kepentingan dan keuntungan dirinya. Di dalam menunaikan tugas yang mulia ini, ia menghadapi kaumnya yang berpaling, sombong, dan selalu menghinanya. Nabi Nūḥ berjuang dan berdakwah selama sembilan ratus lima puluh tahun, namun jumlah orang yang mau menerimanya hampir tidak bertambah. Justru keberpalingan dan kebandelan kaumnya di dalam kesesatan semakin meningkat. Kemudian pada ujung perjalanannya, Nabi Nūḥ kembali menyampaikan perhitungannya kepada Allah yang telah menugasinya dengan kewajiban yang mulia dan tugas yang berat ini. Ia menyampaikan kembali apa yang telah dilakukannya dan bagaimana kaumnya menanggapinya, sedang Allah pun mengetahui semua itu.
Nūḥ mengerti bahwa Allah mengetahuinya, tetapi ia hendak menyampaikan keluhan hatinya yang telah di ujung perjalanan. Ia sampaikan keluhan ini kepada Dzāt Yang hanya Dia yang menjadi tempat para nabi, para rasūl, dan orang-orang beriman mengadukan hakikat iman. Ia sampaikan keluhannya kepada Allah:
قَالَ رَبِّ إِنِّيْ دَعَوْتُ قَوْمِيْ لَيْلًا وَ نَهَارًا. فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِيْ إِلَّا فِرَارًا. وَ إِنِّيْ كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوْا أَصَابِعَهُمْ فِيْ آذَانِهِمْ وَ اسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَ أَصَرُّوْا وَ اسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا. ثُمَّ إِنِّيْ دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا. ثُمَّ إِنِّيْ أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَ أَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا. فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًا. وَ يُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَ بَنِيْنَ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ أَنْهَارًا. مَّا لَكُمْ لَا تَرْجُوْنَ للهِ وَقَارًا. وَ قَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا. أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللهُ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا. وَ جَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا وَ جَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا. وَ اللهُ أَنْبَتَكُمْ مِّنَ الْأَرْضِ نَبَاتًا. ثُمَّ يُعِيْدُكُمْ فِيْهَا وَ يُخْرِجُكُمْ إِخْرَاجًا. وَ اللهُ جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ بِسَاطًا. لِتَسْلُكُوْا مِنْهَا سُبُلًا فِجَاجًا.
“Nūḥ berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam. Maka, aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirim hujan kepadamu dengan lebat, membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita? Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (darinya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya. Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi itu”. (Nūḥ: 5-20).
Demikianlah yang diperbuat dan dikatakan oleh Nabi Nūḥ. Ia kembali melaporkan kepada Tuhannya ketika ia menyampaikan hasil akhir dari perjuangannya yang amat panjang. Ia menggambarkan perjuangannya yang terus-menerus tanpa pernah putus itu dengan mengatakan: “Sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang”.
Nūḥ tidak pernah bosan, jenuh, dan putus-asa menghadapi kaumnya yang selalu berpaling itu: “Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).” Lari dari dai yang menyeru ke jalan Allah, padahal ia tidak meminta upah kalau mereka mendengarkan dan tidak memungut pajak kalau mereka mendapat petunjuk. Mereka lari dari orang yang menyerunya kepada Allah, supaya Allah mengampuni dan membebaskan mereka dari jerat dosa, kemaksiatan, dan kesesatan!
Kalau mereka tidak dapat lari karena sang dai berada di hadapan mereka, dan sudah tiba waktunya untuk menyampaikan dakwahnya ke pendengaran mereka, maka mereka benci jika suara dai itu sampai ke telinganya dan mereka benci untuk memandangnya. Mereka terus-menerus di atas kesesatan, dan mereka menyombongkan diri untuk menerima suara kebenaran dan petunjuk:
“Sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.” (Nūḥ: 7).
Inilah gambaran tentang kontinuitas dai di dalam melakukan dakwah dan menggunakan setiap kesempatan untuk menyampaikan dakwah kepada mereka. Ini juga gambaran betapa mereka yang didakwahkan itu terus-menerus berada dalam kesesatan.
Dari celah-celah kisah ini tampaklah sifat kekanak-kanakan manusia yang keras kepala itu. Tampak dalam tindakan mereka yang menyumbatkan jari-jarinya ke telinganya, dan menutup kepala dan wajahnya dengan pakaian. Pengungkapan kalimat ini melukiskan gambaran kekeraskepalaan kanak-kanak yang sudah sempurna, sebagaimana dilukiskan bahwa mereka: “mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinga mereka.”
Sudah tentu telinga mereka tidak dapat memuat jari-jari mereka secara sempurna. Mereka hanya menyumbatkan ujung-ujung jarinya saja. Akan tetapi, mereka menyumbatnya dengan sungguh-sungguh, seakan-akan mereka berusaha memasukkan seluruh jarinya ke dalam telinganya agar suara dakwah itu tidak dapat merambat masuk ke dalamnya sama sekali. Ini adalah gambaran yang kasar tentang kebandelan dan kekeraskepalaan mereka, seakan-akan sebuah gambaran tentang permulaan masa kanak-kanak manusia yang sudah besar!
Di samping terus melakukan dakwah dengan menggunakan semua kesempatan, dan terus saja menghadapi kaumnya, Nabi Nūḥ a.s. juga menggunakan berbagai macam metode. Adakalanya berdakwah dengan terang-terangan, dan kadang berdakwah dengan menggabungkan antara dakwah secara terang-terangan dan diam-diam:
“Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.” (Nūḥ: 8-9).
Di tengah-tengah itu semua, Nabi Nūḥ berusaha membangkitkan keinginan mereka terhadap kebaikan dunia dan akhirat. Juga dibangkitkannya keinginan mereka terhadap pengampunan Allah jika mereka mau meminta ampun kepada-Nya, karena Dia Maha Pengampun terhadap dosa-dosa:
“Maka, aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.” (Nūḥ: 10).
Ditawarkannya kepada mereka untuk mendapatkan rezeki yang banyak dan mudah melalui sebab-sebab yang sudah mereka kenal dan dapat mereka harapkan darinya. Yaitu, hujan lebat yang karenanya akan tumbuh tanam-tanaman dan pengairan akan mengalir dengan baik. Hal ini sebagaimana Nūḥ juga menjanjikan kepada mereka bahwa Allah akan memberikan rezeki lain yang berupa anak-anak yang mereka cintai, dan harta yang mereka cari dan mereka banggakan:
“Membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nūḥ: 12).
Nūḥ menghubungkan istighfār dengan rezeki-rezeki ini. Pada beberapa tempat dalam al-Qur’ān juga disebutkan secara berulang-ulang kaitan kebaikan hati dan istiqāmahnya pada petunjuk Allah dengan kemudahan rezeki dan kemakmuran umum. Pada satu tempat disebutkan:
“Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwā, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (al-A‘rāf: 96).
Pada tempat lain disebutkan:
“Sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertaqwā, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka ke dalam surga yang penuh keni‘matan. Dan, sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurāt, Injīl, dan (al-Qur’ān) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka.” (al-Mā’idah: 65-66).
Dan, di tempat lain lagi disebutkan:
“Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muḥammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira kepadamu dari-Nya, dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi keni‘matan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada setiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (Hūd: 2-3).