Suratu Nuh 71 ~ Tafsir Sayyid Quthb (2/5)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Suratu Nuh 71 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Kemudian, apakah anda memandang sama hasil setiap usaha, pengorbanan, dan perjuangan yang pahit dan berat ini? Selanjutnya, apakah anda melihat semua manusia menyamakan perhatian yang mulia dari Allah ini, yang tampak di dalam ketetapan kehendak-Nya untuk mengirim para rasul secara berturut-turut sesudah adanya sikap keras kepala, berpaling, bandel, dan sombong dari makhlūq kerdil dan kecil yang bernama manusia?

Sesudah direnungkan tentu jawabannya adalah “ya”, tanpa dapat dibantah lagi!

Sesungguhnya ketetapan hakikat iman kepada Allah di bumi ini menyamakan semua perjuangan, kesabaran, penderitaan, dan pengorbanan yang mulia dari para rasūl dan pengikut-pengikutnya yang jujur dan setia pada setiap generasi.

Barang kali ketetapan hakikat ini lebih besar daripada keberadaan manusia itu sendiri. Bahkan, lebih besar daripada bumi dengan segala isinya, dan daripada alam semesta yang sangat besar yang keberadaan bumi bila dibandingkan dengannya hanya bagaikan sebutir debu yang hampir tidak terasa dan tidak terlihat.

Irādah Allah berkehendak menciptakan manusia dengan keistimewaan-keistmewaannya yang tertentu tersebut. Dia berkehendak menetapkan hakikat ini di dalam hati manusia dan di dalam tata kehidupannya yang diserahkan kepada usaha dan perjuangannya sendiri, dengan pertolongan dan taufīq dari Allah. Kita tidak mengerti keisitimewaan-keistimewaan seperti itu, dan menyerahkan kepada pengetahuan, usaha, dan kemauannya untuk merealisasikan hakikat iman pada dirinya dan di dalam tata kehidupannya. Dia tidak menciptakan mereka pada dasar iman dan ketaatan tanpa mengenal yang selain itu, seperti malaikat, atau menciptakannya semata-mata untuk kejelekan dan kemaksiatan tanpa mengenal yang selainnya, seperti Iblīs.

Kita tidak mengetahui rahasia ini, tetapi kita percaya bahwa di sana terdapat hikmah yang berhubungan dengan pengaturan segala sesuatu yang ada dalam penciptaan manusia dengan segala keistimewaannya tersebut. Karena itu, harus ada upaya-upaya manusia untuk menetapkan dan memantapkan hakikat iman di dunia manusia. Untuk upaya ini Allah telah memilih hamba-hamba pilihan-Nya, yaitu para nabi dan rasūl, dangg gologan pilihan dari para pengikut mereka yaitu orang-orang yang benar-benar beriman. Allah memilih mereka untuk menetapkan hakikat ini di muka bumi. Karena, hakikat ini menyamakan semua usaha dan perjuangan yang sulit dan pahit, dan perjuangan berat dan mulia yang telah mereka curahkan.

Penetapan hakikat ini di dalam hati berarti bahwa hati berkerumun pada pancaran cahaya hidāyah dari Allah, menjadi bejana penampung rahasia-rahasiaNya, dan menjadi salah satu alat kekuasaan-Nya yang berlaku di alam semesta. Ini adalah hakikat yang bukan semata-mata pelukisan dan pendekatan. Ini adalah hakikat yang lebih besar daripada manusia itu sendiri, bumi dan langit, dan semua yang ada di alam yang besar ini.

Penetapan hakikat iman di dalam kehidupan manusia, atau segolongan dari mereka, ma‘nanya adalah berhubungannya kehidupan dunia dengan kehidupan yang abadi dan meningkatnya mutunya ke peringkat yang sesuai dengan perhubungan ini. Artinya, hubungan yang fanā’ dengan yang baqā’, yang parsial dengan yang menyeluruh, yang terbatas dan tidak sempurna dengan yang sempurna secara mutlak. Inilah hasil yang dipetik dari semua perjuangan dan pengorbanan. Seandainya hal ini teraplikasikan di muka bumi walau sehari saja atau setengah hari saja dari umur manusia yang panjang, niscaya ia akan terealisir – walaupun dalam bentuk ini – dengan tindakan nyata, yang mereka akan berjuang untuk mencapainya dari generasi ke generasi.

Realitas sejarah yang berulang-ulang telah menetapkan bahwa jiwa manusia tidak mampu mencapai ufuk kesempurnaan yang ditentukan untuknya dengan sarana apa pun sebagaimana yang dicapainya dengan memantapkan hakikat iman kepada Allah di dalamnya, dan kehidupan manusia tidak dapat mencapai ketinggian ufuk ini dengan cara apa pun sebagaimana yang dapat dicapai dengan wasilah iman. Masa-masa ketika hakikat ini telah mantap di muka bumi dan menyelamatkan penghuninya dengan membimbing manusianya, maka mereka mencapai puncak ketinggian dalam sejarah manusia. Bahkan, mereka merupakan realitas penyatunan yang lebih besar dari apa yang terkhayalkan, yang tercermin di dalam realitas kehidupan manusia.

Tidak mungkin harkat kehidupan manusia bisa meningkat dan mencapai ketinggian melalui jalan filsafat, ‘ilmu pengetahuan, kesenian, atau madzhab dan sistem apa pun, untuk mencapai tingkatan sebagaimana yang dicapai melalui kemantapan hakikat iman kepada Allah di dalam jiwa, kehidupan, moralitas, pandangan hidup, tata nilai, dan norma-norma manusia. Hakikat ini merupakan sumber manhaj kehidupan yang sempurna, baik yang datang dalam bentuk global seperti pada risālah-risālah terdahulu, maupun dalam bentuk yang terperinci, lengkap, dan cermat sebagaimana yang terdapat dalam risālah terakhir.

Dalīl yang pasti menunjukkan bahwa ‘aqīdah ini adalah suatu hakikat dari sisi Allah. Inilah yang telah ditetapkan oleh realitas sejarah bahwa dengan kemantapan hakikat iman di dalam kehidupannya, maka manusia dapat mencapai sesuatu yang sama sekali tidak dapat dicapai dengan wasīlah-wasīlah lain buatan manusia baik berupa ‘ilmu pengetahuan, filsafat, kebudayaan, maupun sistem apa pun. Ketika kaum Muslimin lepas dari hakikat ini, maka tidak ada sesuatu pun yang bermanfaat baginya. Bahkan nilai, pertimbangan, dan kemanusiaan mereka merosot, sehingga mereka tenggelam dalam kesengsaraan jiwa, kebingungan pikiran, dan penyakit-penyakit saraf. Mereka tidak mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan bathin selama-lamanya meskipun dalam semua lapangan kebudayaan mereka mengalami kemajuan, dan memiliki sarana-sarana keni‘matan badan dan kesenangan pikiran, serta berbagai sarana kesenangan materiil.

Pandangannya terhadap kehidupan tidak pernah meningkat seperti kalau berada di bawah naungan hakikat iman, dan hubungannya dengan alam semesta tidak bisa sekokoh hubungannya di bawah naungan ‘aqīdah ini. Ia juga tidak pernah merasakan pada masa mereka berada dalam hakikat iman yang mantap. Kajian yang mendalam tentang pandangan Islām terhadap tujuan keberadaan alam semesta dan keberadaan manusia sudah tentu akan berakhir pada kesimpulan ini.

Semua itu, tanpa diragukan lagi, perlu mendapatkan curahan perjuangan yang berat dan pengorbanan yang mulia dari kaum Mu’minīn. Tujuannya untuk memantapkan hakikat iman kepada Allah di muka bumi, menegakkan hati di atas pancaran cahaya Allah dan berhubungan dengan ruh dari Allah, menegakkan kehidupan insāniyyah untuk mencerminkan manhaj Allah bagi kehidupan, dan meninggikan pandangan kehidupan dan moralitas manusia, serta mengangkat realitas kehidupan mereka ke tingkatan yang tinggi, sebagaimana yang dapat disaksikan pada masa lalu.

Akan tetapi, manusia akan berpaling sebagaimana dulu mereka berpaling dari dakwah Nabi Nūḥ, Nabi Ibrāhīm, Nabi Mūsā, Nabi ‘Īsā, Nabi Muḥammad s.a.w. dan saudara-saudara mereka yang mulia. Manusia akan lari bersama kepemimpinan yang sesat dan menyesatkan serta berkubang dalam kesesatan. Para dai yang menyerukan kebenaran akan mendapat bermacam-macam ‘adzāb dan siksaan, misalnya dilemparkan ke dalam api, ada pula yang digergaji, dan para rasul dan nabi diremehkan dan dihina sepanjang perjalanan sejarah.

Akan tetapi, dakwah kepada agama Allah harus berjalan pada jalannya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Karena, keberhasilan itu membutuhkan perjuangan yang berat dan pengorbanan yang mulia, meskipun kecil dan terbatas hanya pada hati seorang manusia yang dipenuhi dengan cahaya dari Allah dan berhubungan dengan rūḥ-Nya!

Sesungguhnya rombongan yang berkesinambungan dari para rasūl dan risālah sejak zaman Nabi Nūḥ a.s. hingga Nabi Muḥammad s.a.w. ini, benar-benar memberikan informasi tentang tetapnya irādah Allah untuk memberlakukan dakwah kepada hakikat iman yang besar, atas nilai dakwah ini dan atas nilai hasilnya. Minimal keberhasilan itu adalah mantapnya hakikat iman di dalam hati para dai sendiri hingga mereka menemui kematian dan menemui sesuatu yang lebih dahsyat daripada kematian di jalan dakwah tanpa berbalik arah. Dengan demikian, mereka dapat memperoleh ketinggian di muka bumi, dapat lepas dari daya tariknya, dan terbebas dari tali kehidupan dunia. Ini saja sudah merupakan keberhasilan yang besar daripada perjuangan yang pahit.

Keberhasilan bagi para dai dan bagi kemanusiaan yang menjadi mulia dan terhormat dengan adanya golongan ini. Karenanya, layaklah Allah memerintahkan para malaikat bersujūd hormat kepada manusia, yang di antara mereka ada yang membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah. Akan tetapi, ia memiliki potensi – dengan usaha, perjuangan, dan pengorbanannya – untuk menyongsong secercah cahaya dari Allah, sebagaimana ia juga memiliki potensi untuk bangkit meskipun ia sendiri lemah, guna merealisasikan qadar Allah di muka bumi dan memberlakukan manhaj-Nya di dalam kehidupan.

Dengan kemerdekaan jiwanya, ia dapat mengorbankan kehidupannya dan menanggung beban penderitaan yang lebih besar daripada kehilangan kehidupan, untuk menyelamatkan ‘aqīdahnya. Ia dapat memikul kewajibannya untuk berjuang memantapkan ‘aqīdah tersebut di dalam kehidupan orang-orang lain dan mewujūdkan kebahagiaan, kemerdekaan, dan derajat yang tinggi bagi mereka. Apabila qadar kemerdekaan dan kebebasan bagi rūḥ mansuia telah terwujūd, maka akan terasa ringanlah baginya seluruh perjuangan, penderitaan, dan pengorbanan. Semuanya akan dirasa tidak ada demi memunculkan keberhasilan besar yang menjadikan bumi dan langit berat timbangannya di sisi Allah.

Sekarang marilah kita ikuti paparan kisah Nabi Nūḥ dalam surah ini beserta cerminan hakikat itu yang sebenarnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *