وَ قَالُوْا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَ لَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَ لَا سُوَاعًا وَ لَا يَغُوْثَ وَ يَعُوْقَ وَ نَسْرًا. وَ قَدْ أَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَ لَا تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلَّا ضَلاَلًا. مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ أُغْرِقُوْا فَأُدْخِلُوْا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوْا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِ اللهِ أَنْصَارًا.
71: 23. Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) terhadap Wadd, Suwā‘, Yaghūts, Ya‘ūq dan tidak pula Nasr”.
71: 24. Dan sesungguhnya mereka telah menyesatkan banyak manusia. Dan [Ya Allah]! Janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhalim itu kecuali kesesatan!.
71: 25. Disebabkan dosa-dosa mereka, mereka semuanya tenggelam, lalu dimasukkan ke neraka, dan mereka tidak mendapati seorang pun untuk menolong mereka selain Allah.
Sebagaimana dijelaskan dalam ayat ke-23, para pemimpin meminta (rakyatnya) untuk tidak meninggalkan tuhan-tuhan dan berhala, serta tidak mengakui seruan kenabian Nūḥ a.s. kepada tauhid. Mereka memberikan penekanan khusus pada lima berhala, yaitu Wadd, Suwā‘, Yaghūts, Ya‘ūq dan Nasr.
Pada ayat ke-24, Nūḥ a.s. berkata: “Ya Allah! Para pemimpin sombong dan sesat ini telah menyesatkan banyak orang. Ya Allah! Janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhalim itu kecuali kesesatan.” Bertambahnya kesesatan bagi orang-orang zhalim dan para tiran bisa membuat mereka terhalang dari rahmat Allah, yang mengakibatkan mereka sengsara. Juga dapat bermakna hukuman sebagai akibat dari kezhaliman mereka. Karenanya, Allah s.w.t. menjauhkan mereka dari cahaya keimanan dan menggantinya dengan kekufuran. Kesesatan dan kekufuran merupakan konsekuensi dari perbuatan jahat mereka, walaupun terjeratnya mereka dengan kesesatan dan kekufuran dinisbatkan kepada Allah s.w.t., karena segala perbuatan makhluk-Nya adalah dalam perintah-Nya dan tidak bertentangan dengan kebijakan-Nya.
Akhirnya, ayat ke-25 menunjukkan keputusan final Allah, bahwa mereka tenggelam sebagai akibat dari dosa-dosa, dan dimasukkan ke neraka. Mereka tidak mendapati siapa pun selain Dia untuk memberikan pertolongan menghadapi kemurkaan Allah. Makna kontekstual dari ayat ini adalah bahwa setelah tenggelam, mereka dimasukkan ke neraka. Kalimat ini agak membingungkan karena sejumlah ayat al-Qur’ān menjelaskan bahwa sebagian orang akan dihukum di alam barzakh segera setelah kematian. Menurut beberapa hadits, “kubur” dapat berupa sebuah taman di surga atau lubang di neraka. Juga dapat menggambarkan neraka pada Hari Kiamat. Namun karena Hari Kiamat sudah pasti, bentuk kata kerja pasif ‘Arab ukhilū (“mereka dimasukkan”) muncul dalam kata kerja bentuk lampau. (2061) Sebagian mufassir juga telah mengemukakan penjelasan berkenaan dengan api di dunia ini. Allah s.w.t. berkehendak api muncul di tengah-tengah banjir besar dan menghabiskan mereka. (2072).
وَ قَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِيْنَ دَيَّارًا. إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوْا عِبَادَكَ وَ لَا يَلِدُوْا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا.
71: 26. Nūḥ berkata: “Tuhanku! Janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang yang kafir itu tinggal di bumi.
71: 27. Sesungguhnya, jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan para hamba-Mu, niscaya mereka akan menyesatkan para hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan, kecuali orang jahat lagi kafir.
Melanjutkan keluhan Nūḥ kepada Allah s.w.t. tentang kaumnya, Nūḥ a.s. mengutuk mereka dengan menyatakan: “Tuhanku! Janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang yang kafir itu tinggal di bumi.” Nūḥ a.s. mengucapkan kata-kata ini ketika benar-benar putus asa dalam membimbing mereka. Dia telah melakukan berbagai upaya untuk menyeru mereka kepada tauhid, tetapi hanya sedikit orang yang mengikutinya.
Frase ‘Arab ‘alal-ardh (“di bumi”) menjelaskan bahwa seruan Nabi Nūḥ a.s., menyusul banjir besar dan ‘adzab-Nya akan melanda seluruh dunia. Frase ‘Arab dayyār, seakar dengan dār (“rumah, tempat tinggal”) bermakna orang yang tinggal di sebuah rumah. Kata tersebut juga digunakan untuk menyatakan penyangkalan umum, seperti dalam kalimat “Tidak ada seorang pun di dalam rumah.”
Pada ayat-27, Nabi Nūḥ a.s. memberikan alasan untuk memperkuat kutukannya dengan menyatakan: “Sesungguhnya, jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan para hamba-Mu.” Ayat ini menjelaskan bahwa kutukan-kutukan para nabi a.s., seperti kutukan Nūḥ a.s., tidak berasal dari kemurkaan, kebencian dan balas dendam, tapi karena telah bersabar setelah 950 tahun melakukan tugas kenabian, lalu mengalami keputusasaan.
Bagaimana Nabi Nūḥ a.s. dapat melihat bahwa mereka yang cenderung tidak beriman kepada Allah s.w.t., akan menyesatkan para hamba Allah dan keturunan mereka? Sebagian mufassir mengemukakan bahwa Allah s.w.t. telah menganugerahkan Nūḥ a.s. pengetahuan tentang hal-hal ghaib. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’ān (11: 36). “Tidak ada yang akan beriman di antara kaummu, kecuali orang-orang yang sudah beriman, maka janganlah engkau bersedih hati disebabkan apa yang mereka selalu kerjakan.” Tema yang sama dapat ditemukan di sejumlah hadits. (2083) Juga telah dikemukakan bahwa Nūḥ a.s. telah mengajak umatnya melalui ajakan yang baik, tetapi mereka tidak mau beriman.
Frase ‘Arab fājir diterapkan untuk orang yang melakukan perbuatan-perbuatan nista. Bentuk frase ‘Arab kaffār bermakna kekafiran yang teramat sangat. Perbedaan di antara kedua kata tersebut masing-masing terletak pada aspek praktik dan doktrinnya. Dijelaskan pada ayat ini bahwa siksaan Allah berdasarkan atas kebijakan-Nya. Orang-orang yang melakukan perbuatan nista tidak berhak hidup sesuai dengan kebijakan Allah, dan mereka akan mengalami bencana, seperti banjir besar, halilintar dan gempa bumi. Mereka dapat dilenyapkan dari permukaan bumi, sebagaimana banjir besar telah melenyapkan kaum Nūḥ a.s. yang nista dan zhalim itu.
Andaikata hukum Allah tidak khusus untuk waktu dan tempat tertentu, kita seharusnya ingat bahwa siksaan Allah disiapkan bagi orang yang berbuat zhalim dan menyesatkan orang lain.
Kalimat ‘Arab yudhillū ‘ibādaka (“mereka menyesatkan para hamba-Mu”) mengemukakan betapa sedikitnya orang yang beriman kepada seruan Nabi Nūḥ a.s. dalam waktu yang sangat panjang itu. Akan tetapi, kalimat tersebut juga bisa bermakna bahwa mereka dipaksa oleh para pemimpin yang zhalim untuk mengikuti kepercayaan-kepercayaan mereka.
رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَ لِوَالِدَيَّ وَ لِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ وَ لَا تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلَّا تَبَارًا.
71: 28. Tuhanku! Ampunilah aku, kedua orang tuaku, orang-orang yang memasuki rumahku sebagai orang-orang yang beriman, serta semua kaum mu’min laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhalim itu kecuali kebinasaan.
Pada ayat penutup ini, Nabi Nūḥ a.s. memohon kepada Allah s.w.t.: “Tuhanku! Ampunilah aku, kedua orang tuaku, orang-orang yang memasuki rumahku sebagai orang-orang yang beriman, serta semua kaum mu’min laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhalim itu kecuali kebinasaan.” Permohonan ampunan kepada Allah s.w.t. menjelaskan bahwa Nūḥ a.s. telah menghabiskan ratusan tahun untuk menyampaikan seruan kenabian dan bersabar menanggung segala kesulitan di jalan Allah. Akan tetapi, dia harus memohon kepada Allah s.w.t. untuk mengampuninya karena mungkin dia telah melalaikan hal yang utama (tark ūlā).
Doa tersebut menjelaskan bahwa Nūḥ a.s. tidak menganggap dirinya bebas dari kesalahan. Dia sudah melakukan upaya keras (dalam berdakwah) di jalan Allah, tapi tetap saja dia berpikir bahwa mungkin telah melakukan kesalahan. Tidak seperti orang-orang yang membesar-besarkan diri hingga menganggap Allah s.w.t. wajib menganugerahi mereka dengan rahmat-Nya. Para wali Allah tidak menunjukkan sikap angkuh dan egois (seperti mereka itu). Nabi Nūḥ a.s. memohon kepada Allah s.w.t. untuk mengampuni sejumlah orang, termasuk dirinya, jika dia telah melalaikan hal yang utama. Lalu kedua orang tuanya, sebagai tanda terima kasihnya atas bantuan dan kesulitan yang dialami. Meskipun demikian, Nūḥ a.s. memberikan penekanan khusus terhadap kehancuran para pelaku kezhaliman, dengan menyatakan bahwa mereka pantas menerima siksaan.
Mengenai pengertian yang tepat tentang kata bayt, para mufassir telah mengemukakan empat pengertian, yaitu rumah pribadi, masjid, bahtera Nūḥ a.s. dan agamanya. Imām Shādiq a.s. menyatakan bahwa kata bayt di sini bermakna “perwalian” (wilāyah), yaitu siapa pun yang memasukinya berarti telah dia memasuki rumah-rumah para nabi. (2094). Diriwayatkan dari Imām Ridhā a.s. bahwa masjid di Kūfah adalah tempat tinggal Nūḥ a.s. Jadi, orang-orang yang memasuki rumahnya berarti sedang memasuki Masjid Kūfah. (2105). Menurut sebuah hadits, Imām Ḥusain a.s. tidak membunuh musuh di Karbala. Beliau menyatakan tidak akan membunuh musuh-musuh yang keturunannya kelak akan menjadi orang yang beriman. (2116).
Kisah tentang Nabi Nūḥ a.s. memiliki khazanah yang banyak sekali dalam literatur ‘Arab dan Persia. Diberikan juga penekanan khusus terhadap banjir besar dan bahteranya sebagai sarana keselamatan bagi kaum beriman. (2127).
Tuhanku! Apabila banjir besar kemurkaan-Mu datang, selamatkanlah kami dengan bahtera rahmat-Mu serta bahtera Nabi Muḥammad s.a.w. dan Ahl-ul-Baitnya a.s. Diriwayatkan dari Nabi s.a.w. yang bersabda: “Ahl-ul-Baitku ibarat bahtera Nūḥ a.s. Barang siapa yang menaikinya akan memperoleh keselamatan dan barang siapa yang menolak menaikinya akan mengalami kehancuran.” (2138).