أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللهُ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا. وَ جَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا وَ جَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا.
71: 15. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh lapis langit?
71: 16. Dan Allah menciptakan padanya bulan padanya sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai lampu yang terang-benderang?
Pada ayat sebelumnya, Nabi Nūḥ a.s. memberikan argumen logis dan sarat makna kepada kaum pembangkang. Hal ini dilakukan untuk membuat mereka mengenal kedalaman wujud mereka sehingga mereka dapat mengalami alam materi. Dia menyeru mereka untuk bertafakkur tentang ayat-ayat Allah melalui ciptaan-Nya yang agung. Dia bermksud untuk membiasakan mereka dengan alam spiritul.
Dimulai dengan langit, dia bertanya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah menciptakan tujuh lapis langit?” Frase ‘Arab thibāq bermakna perbandingan dan perbedaan. Kadang-kadang kata itu mengandung makna diletakkan di atas puncak sesuatu. Bisa pula bermakna keselarasan dan keserasian di antara dua hal. Dua makna terakhir adalah yang sesuai dengan konteks ini. Tujuh langit ini dibicarakan dalam surah al-Baqarah (2: 29). Ayat pertama menjelaskan bahwa tujuh langit diciptakan bertingkat-tingkat. Apa pun yang diamati dengan menggunakan alat dan mata telanjang terhadap benda-benda langit, semua itu berada di langit lainnya yang diciptakan bertingkat-tingkat. Kenyataan ini menolak ilmu pengetahuan modern. Akan tetapi, manusia mungkin mampu menemukan alam yang menakjubkan dan luas itu satu demi satu pada masa mendatang.
Ayat ke-16 menyatakan bahwa Allah s.w.t. telah menjadikan bulan sebagai cahaya di langit dan menjadikan matahari sebagai lampu yang terang benderang. Bermilyar-milyar benda langit yang jauh lebih bercahaya dibandingkan dengan matahari dan bulan dalam sistem tata surya kita berada di dalam tujuh langit. Namun, matahari dan bulan merupakan hal penting dalam kehidupan karena keduanya memberikan cahaya pada siang dan malam hari.
Frase ‘Arab sirāj, “pelita”, yang mengandung makna matahari dan kata nūr, “cahaya”, menjelaskan bahwa cahaya matahari yang dipancarkan sendiri ibarat sebuah lampu. Namun, cahaya bulan merupakan pantulan dari cahaya matahari. Dengan demikian, kata nūr yang lebih luas secara bahasa digunakan dalam konteks ini. Berbagai ungkapan ini disebutkan di tempat lain dalam al-Qur’ān. Pembahasan lebih detail disebutkan dalam surah Yūnus (10: 5).
وَ اللهُ أَنْبَتَكُمْ مِّنَ الْأَرْضِ نَبَاتًا. ثُمَّ يُعِيْدُكُمْ فِيْهَا وَ يُخْرِجُكُمْ إِخْرَاجًا. وَ اللهُ جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ بِسَاطًا. لِتَسْلُكُوْا مِنْهَا سُبُلًا فِجَاجًا.
71; 17. Dan Allah telah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baik pertumbuhan.
71: 18. Kemudian Dia akan mengembalikan kamu ke dalamnya dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada Hari Kiamat) dengan sebenar-benarnya.
71: 19. Dan Allah menjadikan bumi bagi kamu sebagai hamparan.
71: 20. Agar kamu dapat dengan mudah menjelajahi wilayah-wilayah yang luas yang ada di bumi”.
Ayat ke-17 sekali lagi membahas penciptaan manusia. Bunyinya: “Allah telah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baik pertumbuhan.” Penggunaan kata inbāt yang bermakna “tumbuh, menumbuhkan, memupuk” yang mengacu pada manusia. Dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah. Semua makanannya berasal dari tanah secara langsung, seperti sayuran, biji-bijian dan buah-buahan; atau berasal dari tanah secara tidak langsung, seperti daging. Selain itu, ada beberapa kesamaan antara manusia dengan tumbuhan dan hukum tentang makanan, pertumbuhan dan reproduksi. Berkenaan dengan petunjuk, Tuhan tidak hanya seperti seorang instruktur, tetapi Dia juga seperti seorang pekerja kebun yang menempatkan benih tumbuhan dalam lingkungan yang dikehendaki sehingga potensinya dapat terlihat.
Ayat ke-18 membahas Hari Kiamat. Ini adalah sebuah isu yang rumit bagi kaum musyrik dan orang-orang yang kafir. Dinyatakan bahwa Dia akan mengembalikan mereka ke tanah tempatnya berasal. Dia pun akan mengeluarkannya dari dalam tanah sekali lagi. Dengan kata lain, manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Dia Yang Maha Kuasa untuk menciptakan manusia dari tanah, Dia juga Maha Kuasa untuk menghidupkan manuisa kembali setelah dikembalikan ke dalam tanah.
Penjelasan ini memberikan kesaksian adanya hubungan imbal-balik yang kuat antara keesaan Allah dengan sifat Maha Membangkitkan. Nabi Nūḥ a.s. memberikan argumen-argumen tentang keesaan Ilahi dan Hari Kebangkitan untuk meyakinkan orang kafir agar memberikan perhatian terhadap sistem penciptaan.
Ayat ke-19 membahas tanda-tanda kekuasaan Allah Yang Maha Esa di dunia yang luas ini. Bunyinya: “Dan Allah menjadikan bumi bagi kamu sebagai hamparan.” Kasar dan tidak rata bukanlah untuk menghalangi istirahat dan perjalanan. Lembut pun bukan untuk menghalangi gerakan. Panas bukan ditujukan untuk menimbulkan ketidaknyamanan. Dingin pun bukan untuk menghalangi kehidupan yang menyenangkan. Di samping itu, segala kebutuhan hidup tersedia di permukaan bumi yang luas ini.
Ayat ke-26 menyatakan bahwa manusia dapat mengadakan perjalanan melewati lembah-lembah. Permukaan bumi yang luas memudahkan manusia untuk melewati jalan-jalan dan lembah-lembah yang luas dan mencapai tujuan yang diinginkannya. Frase ‘Arab fijāj mengacu pada jalan-jalan yang luas dan lembah yang terletak di antara dua gunung. Oleh karena itu, Nabi Nūḥ a.s. menyinggung berbagai nikmat Allah di bumi. Disinggung pula persoalan tubuh dan kehidupan manusia yang berperan sebagai argumen yang membuktikan keesaan Ilahi dan Hari Kebangkitan.
Namun, peringatan, berita gembira dan argumen logis ini tidak dapat mempengaruhi para pembangkang untuk mengikutinya. Mereka tetap dalam penolakan dan kekufuran. Adapun berbagai konseukuensinya dapat ditelusuri pada ayat-ayat berikut.
قَالَ نُوْحٌ رَّبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِيْ وَ اتَّبَعُوْا مَنْ لَّمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَ وَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا. وَ مَكَرُوْا مَكْرًا كُبَّارًا.
71: 21. Nūḥ berkata: “Tuhanku! Sesungguhnya, mereka telah menentangku, dan mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anak mereka tidak menambah keuntungan bagi mereka kecuali kerugian.”
71: 22. Dan mereka melakukan makar dengan makar yang besar”.
Setelah melakukan upaya-upaya luar biasa selama ratusan tahun, Nūḥ a.s. melihat bahwa kaumnya tetap bertahan dalam kemusyrikan, penyembahan berhala, kesesatan dan kebejatan moral kecuali segelintir orang saja. Oleh karena itu, dia berputus asa untuk memberikan petunjuk kepada mareka. Dia beralih ke haribaan Ilahi dengan memohon kepada Allah s.w.t. untuk menghukum mereka.
Sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat ini, Nabi Nūḥ a.s. berkata: “Tuhanku! Mereka telah menentangku dan mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anak mereka tidak menambah keuntungan bagi mereka kecuali kerugian.”
Di sini dijelaskan para pemimpin dari kaumnya memiliki satu-satunya hak istimewa, yakni harta dan anak-anak. Akan tetapi, mereka mengabdi pada masyarakat dan tidak tunduk kepada Sang Pencipta. Mereka malah semakin terjerumus ke dalam kerusakan moral, kesesatan, kesombongan dan penentangan. Dengan melihat sekilas sejarah umat manusia, kita menyaksikan banyak pemimpin yang seperti mereka ini. Hak istimewa mereka satu-satunya adalah harta haram, anak-anak yang tidak berguna dan berusaha keras menentang Allah s.w.t. dan para rasūl-Nya a.s. Mereka memaksakan kepercayaan batil mereka kepada orang-orang yang malang, yang menjalani kehidupan mereka dalam perbudakan.
Ayat ke-22 menyatakan bahwa para pemimpin yang sesat itu berusaha keras menyesatkan orang lain dengan menggunakan siasat menjijikkan. Bentuk kata sifat ‘Arab kubbār, seakar dengan kibr, “arogansi, kesombongan”. Kata tersebut digunakan secara tidak terbatas dan mengandung makna bahwa mereka telah merencanakan siasat-siasat syaithan dan bersekongkol untuk menyesatkan manusia. Mereka menghalangi orang lain agar tidak mengakui seruan kenabian Nūḥ a.s. Bentuk siasat dan persokongkolan itu tidak diketahui. Namun, tampaknya tidak berkaitan dengan penyembahan berhala karena menurut hadits-hadits tertentu, penyembahan berhala belum pernah terjadi sebelum Nūḥ a.s. Diduga ini adalah penyembahan kepada para leluhurnya.
Diriwayatkan bahwa di antara masa Ādam a.s. dan Nūḥ a.s., terdapat orang-orang shalih yang membuat manusia tertarik kepada mereka. Syaithan dan para pengikutnya mengambil keuntungan dari daya tarik ini. Syaithan mendorong mereka untuk membuat patung orang-orang shalih itu. Generasi-generasi akan datang melupakan konteks sejarah tentang pembuatan patung para figur itu. Mereka mengira bahwa para figur shalih itu seharusnya berperan sebagai objek sembahan. Mereka sibuk menyembah patung figur orang shalih itu. Akhirnya, orang-orang yang sombong membawa mereka menuju perbudakan dan melakukan persekongkolan yang keji itu.