Suratu Nuh 71 ~ Tafsir Nur-ul-Qur’an (2/4)

TAFSIR NUR-UL-QUR’AN
(Diterjemahkan dari: Nur-ul-Qur’an: An Enlightening Commentary into the Light of the Holy Qur’an).
Oleh: Allamah Kamal Faqih Imani
Penerjemah Inggris: Sayyid Abbas Shadr Amili
Penerjemah Indonesia: Rahadian M.S.
Penerbit: Penerbit al-Huda

Rangkaian Pos: Suratu Nuh 71 ~ Tafsir Nur-ul-Qur'an

AYAT 5-9

قَالَ رَبِّ إِنِّيْ دَعَوْتُ قَوْمِيْ لَيْلاً وَ نَهَارًا. فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِيْ إِلَّا فِرَارًا. وَ إِنِّيْ كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوْا أَصَابِعَهُمْ فِيْ آذَانِهِمْ وَ اسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَ أَصَرُّوْا وَ اسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا. ثُمَّ إِنِّيْ دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا. ثُمَّ إِنِّيْ أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَ أَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا.

71: 5. Nūḥ berkata: “Ya Tuhanku! Sesungguhnya, aku telah menyeru kaumku siang dan malam,

71: 6. Namun seruanku itu tidak menambah apa pun bagi mereka kecuali mereka lari dari kebenaran.

71: 7. Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka untuk beriman kepada-Mu agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan jari-jari mereka ke dalam telinga mereka, menutupi diri mereka dengan pakaian mereka, tetap dalam pengingkaran mereka dan bersikap sombong dengan kesombongan yang besar.

71: 8. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka secara terang-terangan agar mereka beriman kepada-Mu.

71: 9. kemudian sesungguhnya aku menyeru mereka lagi secara terang-terangan dan secara sembunyi-sembunyi.”

TAFSIR

Pada ayat-ayat ini disebutkan bahwa Nabi Nūḥ a.s. mengeluh kepada Tuhannya. Kata-kata Nūḥ a.s. mengandung pelajaran dan bermanfaat besar bagi semua penyebar ajaran agama. Nabi Nūḥ a.s. menyatakan bahwa dia telah menyeru kaumnya kepada Allah s.w.t. Dia telah melakukan berbagai upaya dalam memberi petunjuk kepada mereka. Akan tetapi, seruannya tidak memberi manfaat dan tidak menambah apa pun. Bahkan mereka lari semakin menjauh dari kebenaran. Yang mengherankan adalah mengapa menyerukan kebenaran membuat orang lari darinya. Namun, mengingat fakta bahwa mereka adalah para musuh penentang kebenaran, mereka mengingkari kebenaran ketika mendengar seruan para wali Allah. Pengingkaran ini membuat mereka semakin jauh dari Allah s.w.t. Semakin bertambahlah kekufuran dan kemunafikan mereka.

Tema yang sama dibicarakan di tempat lain dalam al-Qur’ān (17: 82): “Dan Kami turunkan dari al-Qur’ān apa yang menyembuhkan dan rahmat bagi kaum beriman dan al-Qur’ān itu tidaklah menambah terhadap orang-orang yang zalim itu kecuali kerugian.

Menurut al-Qur’ān: “Kitāb itu [al-Qur’ān] merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.” (2: 2) karena hati manusia setidaknya harus memiliki rasa takut kepada Allah s.w.t. Rasa takut itu merupakan pembuka jalan untuk mengakui kebenaran. Ini adalah salah satu tahap semangat mencari kebenaran dan kesiapan mengakuinya.

Ayat ke-7 menyatakan bahwa ketika Nabi Nūḥ a.s. menyeru kepada mereka untuk beriman kepada Allah s.w.t., mereka memasukkan jari mereka ke dalam telinga, menutupi diri dengan pakaian, tetap dalam pengingkaran dan kekufuran dan semakin sombong. Mereka memasukkan jari mereka ke dalam telinga-telinga mereka agar tidak mendengar kebenaran. Mereka menutupi diri dengan pakaian mereka mengandung makna bahwa upaya mereka semakin keras untuk tidak mendengarkan seruan yang benar. Mereka melakukannya agar tidak bertatapan (muka secara langsung) dengan Nabi Nūḥ a.s. Mereka melakukan upaya ini agar untuk menghindari perkataan Nūḥ a.s. Mereka telah mencapai permusuhan yang sangat dahsyat terhadap kebenaran. Mereka menghalangi diri dari melihat, mendengar dan berpikir (yang benar).

Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Nūḥ a.s. sepanjang usianya berjuang mengajak kaumnya untuk memeluk agama tauhid tanpa kenal letih. Ayat ini juga menunjukkan salah satu faktor paling penting di balik kemalangan mereka, yaitu arogansi dan keangkuhan mereka. Mereka menganggap bahwa mematuhi seorang manusia merupakan hal yang hina walaupun dia Rasūl Allah yang berpengetahuan dan bertaqwa kepada-Nya. Keangkuhan dan arogansi mereka telah berperan sebagai rintangan untuk menempuh jalan kebenaran. Akibat merugikan darinya tercerminkan sepanjang sejarah kehidupan orang kafir.

Pada ayat ke-8 dan 9, Nabi Nūḥ a.s. memanjatkan doa-doanya kepada Allah. Dia menyatakan bahwa dirinya telah menyeru kaumnya secara terang-terangan dengan suara lantang agar mereka beriman kepada Allah. Dia tidak puas dengan seruannya. Dia mengungkapkan kebenaran tauhid dan keimanan kepada Allah s.w.t. secara sembunyi-sembunyi juga.

Seruan sembunyi-sembunyi dilakukan karena manusia bersifat tak peduli terhadap seruan terbuka dan gamblang jika moralnya telah rusak setelah menempuh jalan kebatilan yang telah berakar dalam hatinya. Tidak hanya kaum Nabi Nūḥ a.s. yang memasukkan jari ke dalam telinga-telinga mereka dan menyelimuti diri dengan pakaian untuk menghalangi diri dari kebenaran. Ini pun terjadi pada orang-orang pada masa Nabi Muḥammad s.a.w. Ketika mendengar ayat-ayat al-Qur’ān dibacakan Rasūl s.a.w. dengan merdu, mereka berbuat gaduh dan bising. Cara itu dilakukan untuk menghalangi orang lain untuk mendengar bacaan al-Qur’ān Rasūl s.a.w.

Menurut ayat al-Qur’ān (41: 26): “Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengarkan bacaan al-Qur’ān ini dan buatlah suara gaduh di tengah-tengah pembacaannya agar kamu dapat mengalahkan mereka.”

Berkaitan dengan kisah ini, diriwayatkan kisah pertempuran berdarah Karbala. Ketika pemimpin para syuhada’, Imām Ḥusain a.s. bermaksud memberi petunjuk kepada para musuh untuk menyadarkan mereka, mereka menciptakan suara gaduh sehingga kebanyakan orang tidak dapat mendengar beliau. (2051) Hal serupa dapat disaksikan pada masa kini ketika para pengikut kebatilan telah menciptakan suasana seperti itu dengan mengadakan berbagai tempat hiburan, musik yang merusak, narkotika dan sebagainya. Manusia berutama generasi muda tidak mungkin dapat mendengar suara indah dari para wali Allah mengumandangkan ayat-ayat mulia al-Qur’ān.

AYAT 10-14

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًا. وَ يُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَ بَنِيْنَ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ أَنْهَارًا. مَّا لَكُمْ لَا تَرْجُوْنَ للهِ وَقَارًا. وَ قَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا.

71: 10. Maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampunan dari Tuhan kamu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun.”

71: 11. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat dari langit atas kamu.

71: 12. Dan memberi kamu tambahan harta dan anak-anak serta menjadi bagi kamu kebun-kebun menghijau dan sungai-sungai.

71: 13. Ada apa dengan kamu hingga kamu tidak percaya terhadap keagungan Allah?

71: 14. Padahal Dia telah menciptakan kamu dalam tahapan-tahapan kejadian.

TAFSIR

Pada ayat ini, Nabi Nūḥ a.s. terus memberikan petunjuknya yang mengesankan kepada para pembangkang. Dia memberikan semangat dan membawa berita gembira bagi mereka. Dia menjanjikan bahwa jika mereka berhenti melakukan dosa dan kekufuran, Allah s.w.t. akan memberikan nikmat dan rahmat-Nya kepada mereka. Kepada Tuhannya, Nūḥ a.s. menyatakan bahwa dia telah meminta kaumnya untuk memohon ampun kepada Allah Yang Maha Pengampun.

Ayat ini menjelaskan bahwa Dia tidak hanya akan membebaskan mereka dari dosa-dosa mereka. Mereka akan dikirimi hujan lebat dari langit ketika kembali kepada-Nya. Mereka akan diberikan limpahan materi dan kebahagiaan spiritual.

Bentuk keterangan bahasa ‘Arab midrāran, “turunnya hujan lebat” berasal dari akar kata darara yang bermakna “mengalir dengan berlimpah-ruah”. Ayat mulia ini menyatakan bahwa hujan lebat akan dikirimkan dari langit. Namun, karena rahmat Allah, hujan itu tidak akan mengakibatkan kehancuran dan kerugian, tetapi menghasilkan kebun menghijau dan materi yang berlimpah.

Ayat ke-12 menyatakan bahwa Dia akan menambah harta dan anak-anak serta akan menganugerahi kebun menghijau dan sungai bagi mereka. Dengan demikian, dijanjikan berbagai nikmat yang didapat, yaitu harta benda, hujan yang tepat waktu, lebat dan bermanfaat serta sungai-sungai. Mereka pun akan mendapat satu nikmat besar spiritual, yaitu terbebas dari kekufuran dan kefasikan. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’ān, keimanan dan ketaqwaan kepada Allah s.w.t. akan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Menurut sejumlah hadits, ketika berpaling dari seruan Nabi s.a.w., para pembangkang itu menderita kelaparan. Sejumlah besar keturunan mereka binasa, sebagian besar perempuan mandul. Nabi Nūḥ a.s. berkata kepada mereka bahwa jika mereka percaya bahwa penderitaan mereka akan dihilangkan, mereka harus memohon ampunan Allah. Namun, mereka tidak menunjukkan perhatian sama sekali. Mereka tetap membangkang dan menentang sehingga siksaan terakhir dikirimkan dan mereka pun binasa.

Catatan:

  1. 205). Biḥār-ul-Anwār, juz. 45, hal. 8.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *