Suratu Nuh 71 ~ Tafsir Khuluqun ‘Azhim (2/5)

Tafsir Khuluqun ‘Azhim
Budi Pekerti Agung

Oleh: Prof. M. Dr. Yunan Yusuf
 
Diterbitkan oleh: Penerbit Lentera Hati.
 
Tafsir JUZ TABARAK
Khuluqun ‘Azhīm

(BUDI PEKERTI AGUNG)

Rangkaian Pos: Suratu Nuh 71 ~ Tafsir Khuluqun 'Azhim 1

3. Pengaduan Nabi Nūḥ kepada Allah.

قَالَ رَبِّ إِنِّيْ دَعَوْتُ قَوْمِيْ لَيْلًا وَ نَهَارًا. فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِيْ إِلَّا فِرَارًا. وَ إِنِّيْ كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوْا أَصَابِعَهُمْ فِيْ آذَانِهِمْ وَ اسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَ أَصَرُّوْا وَ اسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا. ثُمَّ إِنِّيْ دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا. ثُمَّ إِنِّيْ أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَ أَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا.

71: 5. Nūḥ berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang.
71: 6. Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).
71: 7. Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.
71: 8. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan,
71: 9. Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.”

 

AYAT 5

قَالَ رَبِّ إِنِّيْ دَعَوْتُ قَوْمِيْ لَيْلًا وَ نَهَارًا.

71: 5. “Nūḥ berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang”.”

Seruan Nabi Nūḥ terhadap kaumnya tidaklah berjalan mulus. Nabi Nūḥ mendapat penentangan dari kaumnya. Beliau dituduh oleh kaumnya mempergunakan kekuasaan demi untuk memaksa mereka untuk kepentingan status, kepemimpinan, dan kekayaan Nabi Nūḥ sendiri. Sebab, Nabi Nūḥ hanyalah manusia biasa yang ada bersama mereka dalam pergaulan sehari-hari, bukan seseorang yang istimewa sehingga berhak mengatakan mendapat wahyu dari Allah. Bahkan mereka menuduh Nabi Nūḥ mengidap penyakit gila.

Oleh sebab itu, Nabi Nūḥ mengadu kepada Allah s.w.t. Nūḥ berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang. Nabi Nūḥ sudah berda‘wah menyampaikan ayat-ayat Allah kepada kaumnya. Di mana saja, kapan saja, Nabi Nūḥ tidak pernah sunyi dari kegiatan memberi petunjuk kepada kaumnya. Pokoknya, tiada hari tanpa memberi peringatan dari Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim.

Beliau telah mengerahkan seluruh metode dan cara dalam berda‘wah, baik dengan al-ḥikmah (secara bijaksana), dengan mau‘izhah ḥasanah (nasihat yang baik), dan dengan mujādalah billatī hiya aḥsan (diskusi dan bertukar pikiran dengan baik), untuk menyampaikan ajaran dan peringatan Allah kepada kaumnya. Begitu juga berda‘wah dengan cara kegiatan massal, berhadapan dengan jama‘ah, dan juga secara individual, sendiri-sendiri dalam bentuk bimbingan pribadi.

 

AYAT 6

فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِيْ إِلَّا فِرَارًا.

71: 6. “Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).”

Nabi Nūḥ a.s. telah melaksanakan usaha keras dan tidak kenal lelah berda‘wah terhadap kaumnya dengan tidak menghiraukan sama sekali manfaat dan kepentingan sendiri. Bukan untuk kebesaran namanya secara pribadi, juga bukan untuk kemuliaan dirinya sendiri. Tetapi hanya semata dengan tujuan agar kaumnya terlepas dari bencana yang akan menimpa. Karena Allah telah memperingatkan akan turunnya sanksi dan adzab Allah bila mereka masih mendurhaka.

Namun, apa yang beliau temui? Yang beliau dapatkan hanyalah ejekan dan cercaan, kesombongan, dan keingkaran dari kaumnya. Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Bertambah keras mereka diseru ke jalan Allah, bertambah keras tantangan yang mereka berikan terhadap seruan itu. Mereka menentang dengan keras apa yang disampaikan oleh Nabi Nūḥ. Mereka tidak mau kepercayaan yang telah mereka warisi dari nenek-moyang mereka dihapuskan begitu saja oleh Nabi Nūḥ.

Berda‘wah selama lima abad tidak menghasilkan usaha yang menggembirakan. Jumlah pengikut yang menerima da‘wah Nabi Nūḥ tidak bertambah. Tantangan dan penolakan malah bertambah keras dan bertambah beragam. Beliau berhadapan dengan para pemuka kaumnya yang mengatakan bahwa Nabi Nūḥ hanyalah putra dari Lamik bin Matusyalih bin Idrīs dan mereka tahu sekali kehidupan sehari-hari Nūḥ. Nabi Nūḥ menyatakan diri sebagai nabi dan rasūl hanya semata-mata agar dia terpandang di tengah masyarakatnya, mencari nama. Oleh sebab itu janganlah didengarkan apa yang dikatakannya.

 

AYAT 7

وَ إِنِّيْ كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوْا أَصَابِعَهُمْ فِيْ آذَانِهِمْ وَ اسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَ أَصَرُّوْا وَ اسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا.

71: 7. “Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.”

Bukan sebatas itu saja pengaduan Nabi Nūḥ kepada Allah. Beliau menggambarkan penolakan kaumnya lebih rinci lagi di hadapan Allah. Dan sesungguhnya setiap kali aku berda‘wah untuk menyeru mereka, kaumku itu, kepada jalan yang lurus agar Engkau mengampuni mereka dari dosa-dosa yang telah mereka lakukan, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan juga menutupkan bajunya (ke mukanya) sebagai tanda mereka tidak suka dan mereka tetap menolak da‘wah dan mereka mengingkarinya sembari menyombongkan diri dengan sangat sehingga seruan kebenaran berlalu begitu saja.

Kembali Nabi Nūḥ mengadukan apa yang dia alami dalam menyampaikan da‘wah kepada kaumnya. Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya. Ini adalah potret kegigihan seorang penda‘wah kebenaran yang tetap konsisten menyampaikan kebenaran kendati berbagai halangan dan rintangan dihadapi. Memasukkan jari ke lubang telinga bisa dipahami secara hakiki dan bisa pula dipahami secara majazi.

Memasukkan jari ke lobang telinga secara hakiki mengandung arti menutup telinga agar suara kebenaran tidak didengar. Sebab, dengan menutup lubang telinga tersebut suara yang dari luar tidak masuk ke dalam telinga dan tidak dapat menggetarkan gendang telinga. Sedangkan memasukkan jari ke lubang telinga secara majazi adalah mengandung arti tidak mau menerima kebenaran yang disampaikan, walaupun bertubi-tubi keterangan dan peringatan yang diterima.

Perilaku lebih buruk dari sekadar memasukkan jari ke lubang telinga adalah dan menutupkan bajunya (ke mukanya). Menutupkan baju ke muka adalah ungkapan simbolis tentang ketidaksukaan seseorang terhadap orang yang berbicara kepadanya. Dengan menutupkan baju ke muka menandakan seseorang tidak mau melihat orang yang berbicara dan pada waktu yang bersamaan tidak mau dilihat oleh orang yang berbicara itu. Pokoknya mereka tidak mau menerima da‘wah yang disampaikan.

Penolakan mereka terhadap da‘wah Nabi Nūḥ mereka nyatakan dengan sikap yang berlebihan, dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Ini adalah ciri dari orang-orang yang mengidap penyakit imperiority complex (rendah diri). Karena tidak mampu menolak argumen kebenaran yang baru disampaikan, akhirnya bertahan menutup diri pada keyakinan lama dengan membangun sikap penuh kecongkakan dan kesombongan.

 

AYAT 8

ثُمَّ إِنِّيْ دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا.

71: 8. “Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan.”

Nabi Nūḥ juga menyampaikan keluhan kepada Allah Yang Maha Mengetahui tentang cara-cara berda‘wah yang telah dia lakukan. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan. Bahwa Nabi Nūḥ telah melakukan da‘wah secara jihāra (terang-terangan). Da‘wah yang dilakukan secara terang-terangan dalam konteks metode adalah da‘wah yang mengumpulkan massa, berda‘wah di hadapan khalayak ramai.

Da‘wah dengan melakukan pengerahan massa ini dikatakan da‘wah terbuka dan dilakukan secara massif. Dalam kegiatan da‘wah, masyarakat mad‘u (yang dida‘wahi) dikumpulkan secara massal untuk mendengarkan ceramah agama. Kegiatan da‘wah seperti ini secara populer disebut dengan tabligh akbar. Tabligh akbar merupakan wasīlah (media) da‘wah yang populer untuk mengajak masyarakat secara massal. Da‘wah akan berkembang massal bila tabligh akbar berjalan dengan pesat.

Secara metodologis tabligh akbar adalah media da‘wah yang mengandung dua dampak positif terhadap mad‘u. Pertama, dampak naiknya harga diri berada dalam kerumunan massa satu paham atau ideologi dengan sejumlah besar mad‘u lainnya. Suasana itu akan membangkitkan dampak psikologis timbulnya kebanggaan dalam kelompok. Kedua, dampak publisistik terhadap syiar da‘wah terhadap orang-orang yang tergabung ke dalam tabligh akbar tersebut. Suasana massal itu akan memberi dampak psikologis bagi masyarakat luar bahwa kegiatan da‘wah mempunyai kekuatan tersendiri.

 

AYAT 9

ثُمَّ إِنِّيْ أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَ أَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا.

71: 9. “Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.”

Bukan hanya berda‘wah dengan terang-terangan, melalui tabligh akbar, tetapi Nabi Nūḥ juga berda‘wah dengan mempergunakan media massa serta dengan media bimbingan dan konseling. Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam. Al-Qur’ān dalam mempergunakan kata a‘lantu, yang secara harfiah berarti aku mengeraskan atau mengiklankan, dan asrartu yang mengandung arti aku membisikkan.

Bila ayat ini diletakkan dalam konteks modern, maka ada dua bentuk da‘wah yang terdapat dalam ayat 8 dan 9 ini. Untuk membedakan da‘wah terang-terangan pada ayat 8 dengan da‘wah terang-terangan pada ayat 9 ini, maka da‘wah terang-terangan pada ayat 9 ini tidak dalam arti tabligh akbar, tetapi da‘wah melalui media massa yang sasaran adalah khalayak ramai, namun diterima secara individual oleh siapa yang menerimanya atau membacanya.

Sedangkan bimbingan konseling sasarannya adalah individual, tidak terbuka secara massal, maka layak dikatakan sebagai da‘wah dengan cara diam-diam. Bimbingan konseling bentuk da‘wah yang berbicara dari hati ke hati. Biasanya dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai masalah. Apakah masalah itu masalah psikologis, atau masalah dalam bentuk penyakit fisik. Orang-orang seperti ini dihadapi dengan cara bimbingan dan konseling agar materi da‘wah sampai kepada hati yang bersangkutan.

4. Da‘wah Nabi Nūḥ dengan Membangkitkan Motivasi.

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًا. وَ يُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَ بَنِيْنَ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ أَنْهَارًا.

71: 10. Maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.
71: 11. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan dengan lebat dari langit kepadamu.
71: 12. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.

 

AYAT 10

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا.

71: 10. “Maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.”

Setelah untaian ayat-ayat yang lalu berbicara tentang metode dan media da‘wah yang dipergunakan oleh Nabi Nūḥ dalam berda‘wah, maka pada untaian ayat-ayat berikut al-Qur’ān menggambarkan materi dan motivasi da‘wah yang dipergunakan oleh Nabi Nūḥ. Apakah maudhū‘ materi/isi da‘wah yang disampaikan oleh Nabi Nūḥ tersebut? Maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Materi da‘wahnya adalah peringatan dan ajakan untuk bertaubat dan mohon ampun kepada Allah. Penduduk Armenia yang telah mempersekutukan Allah dengan menyembah berhala, layak disuruh bertaubat dan meminta ampun. Karena melalui pertaubatan dan permohonan ampun itulah seluruh dosa-dosa akan terhapus.

Apalagi Nabi Nūḥ memberi kaumnya dorongan dan motivasi optimisme, bahwa sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Motivasi bahwa Allah itu Maha Pengampun sangat diperlukan oleh jiwa yang sudah jauh terpuruk ke dalam lembah kemusyrikan. Harapan mendapatkan ampunan akan membangkitkan seseorang dari keterpurukan itu. Bila harapan itu tidak ada, maka keadaan jiwa akan lebih tertekan lagi sehingga yang muncul adalah perlawanan terhadap pengampunan tersebut.

Namun, perlu dicatat bahwa pengampunan itu akan diberikan bila yang bersangkutan memohon ampun. Sebab, pengampunan tidaklah turun secara tiba-tiba tanpa upaya aktif dari yang bersangkutan untuk beroleh pengampunan tersebut. Di sinilah diperlukan sebuah pertaubatan. Kata taubat sendiri berasal dari kata tāba yang berarti kembali. Seseorang yang bertaubat adalah orang yang kembali ke jalan yang benar. Sesudah dia kembali ke jalan yang benar tidak lagi menempuh jalan yang sesat.

 

AYAT 11

يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًا.

71: 11. “Niscaya Dia akan mengirimkan hujan dengan lebat dari langit kepadamu.”

Di samping pengampunan dari Allah atas dosa-dosa yang telah lalu, juga mereka diberi motivasi oleh Nabi Nūḥ dengan turun hujan yang lebat dan berulang-ulang. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan dengan lebat dari langit kepadamu. Motivasi tentang hujan ini memberi isyarat bahwa negeri Armenia adalah negeri agraris yang memerlukan air untuk mengairi persawahan dan perkebunan di negeri itu. Air hujan adalah bentuk keberkahan dari langit. Dengan hujan yang cukup kehidupan menjadi mekar.

Di negeri mana pun, bila sudah dilanda oleh kemarau yang panjang, musim hujan selalu dinanti-nantikan. Dengan turunnya hujan, tumbuh-tumbuhan menjadi mekar berkembang, hewan dan binatang ternak memperoleh makanan yang berlimpah dari tumbuhan yang hidup subur. Manusia sendiri dengan turunnya hujan itu mendapatkan sumber kehidupan yang merupakan kebutuhan primer. Air memang sangat dibutuhkan oleh setiap makhluk hidup.

Dengan turunnya hujan, pengotoran udara bisa dihentikan sehingga manusia dapat menghirup udara yang tidak tercemar oleh polusi. Udara yang sudah diracuni oleh polusi udara akan berakibat buruk bagi kesehatan manusia. Berbagai penyakit akan mudah berjangkit bila udara sudah tercemar. Setiap hari manusia menghirup udara agar terjadi proses metabolisme dalam tubuh. Tanpa udara yang dihirup, proses itu tidak akan berjalan lancar dan bisa berakibat fatal bagi manusia.

 

AYAT 12

وَ يُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَ بَنِيْنَ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ أَنْهَارًا.

71: 12. “Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”

Bukan hanya hujan yang lebat, tetapi juga berbagai karunia lainnya akan diberikan oleh Allah kepada mereka, jika mereka bertaubat dan memohon ampun. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu. Pada masa itu banyak harta dan banyak anak menjadi kebanggaan. Harta dan anak adalah lambang kesejahteraan dan kemuliaan. Orang yang mempunyai harta yang banyak dan anak-anak yang banyak akan mendapat kemuliaan dan penghormatan dari masyarakat.

Dengan hujan yang turun dengan lebatnya, sawah, ladang dan kebun akan menjadi subur, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Ini adalah bentuk karunia dengan hasil perkebunan yang berlimpah. Kebun ini akan menghasilkan buah-buahan dan hasil perkebunan yang banyak. Kebun akan memberikn rezeki yang berlimpah untuk kehidupan yang lebih layak dan terhormat di hadapan masyarakat ramai.

Sungai-sungai, yang airnya bersumber dari pegunungan, mengalir jauh menuju laut, juga diciptakan untuk kehidupan makhluk. Sungai yang tadinya sudah ada yang mulai mengering dan mati, sekarang dengan diturunkannya hujan oleh Allah, menjadi hidup kembali mengairi sawah-sawah, ladang dan perkebunan. Dengan turunnya hujan, tanah akan menjadi subur dan gembur (berderai-derai tidak keras dan tidak padat (tt tanah)) dan pada gilirian berikutnya hasil pertanian dan perkebunan pun akan melimpah-ruah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *