Suratu Nuh 71 ~ Tafsir al-Qurthubi (6/6)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Suratu Nuh 71 ~ Tafsir al-Qurthubi

Firman Allah:

مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ أُغْرِقُوْا فَأُدْخِلُوْا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوْا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِ اللهِ أَنْصَارًا.

71: 25. Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah.

(Qs. Nūḥ [71]: 25).

 

Firman Allah ta‘ālā: (مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ أُغْرِقُوْا) “Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan.” (مَا) adalah shillah yang diperkuat (diberikan taukīd), Makna firman Allah itu adalah: karena kesalahan-kesalahan mereka.

Al-Farrā’ berkata: “Makna firman Allah itu adalah: disebabkan kesalahan-kesalahan mereka. (مَا) dapat menunaikan makan ini.” Al-Farrā’ berkata: “(مَا) menunjukkan pada balasan/hukuman.”

Abū ‘Amr membaca firman Allah itu dengan: (خَطَايَاهُمْ), yakni dengan bentuk jama‘ taksīr. Bentuk tunggalnya adalah (خَطِيَةٌ). Asal bentuk jama‘-nya adalah (خَطَائِ) sesuai dengan wazan (فَعَائِلٌ). Manakala bertemu dua hamzah, maka hamzah yang kedua ditukarkan kepada huruf yā’, sebab huruf sebelum hamzah yang kedua ini kasrah, juga disebabkan berat diucapkan, dan bentuk jama‘ itu berat untuk diucapkan. Selain itu, kata itu pun mu‘tall. Oleh karena itu huruf yā’ ditukarkan kepada alif, lalu huruf hamzah yang pertama ditukarkan kepada yā’, karena yā’ itu mudah diucapkan jika berada di antara dua alif.

Adapun yang lain, mereka membaca firman Allah itu dengan: (خَطِيْئَاتِهِمْ), yakni dengan menggunakan bentuk jama‘ yang selamat dari I‘lāl dan penukaran.

Abū ‘Amr berkata: “Kaum (Nabi Nūḥ) itu kafir selama seribu tahun sehingga mereka hanya mempunyai kesalahan-kesalahan saja. Maksudnya, al-Khathāyā (kesalahan-kesalahan) itu menunjukkan makna yang lebih banyak daripada al-Khathiyāt (kesalahan-kesalahan).”

Namun menurut sekelompok orang, al-Khathiyāt dan al-Khathāyā itu sama saja. Keduanya merupakan bentuk jama‘ yang digunakan untuk yang banyak dan yang sedikit. Mereka berargumentasi dengan firman Allah ta‘ālā: (مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللهِ) “Niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah.” (Qs. Luqmān [31]: 27).

(Ada syair yang tidak diterjemahkan – SH.)

Firman Allah itu pun dibaca pula dengan: (خَطِيْئَاتِهِمْ) dan (خَطِيَاتِهِمْ), (1951) yakni dengan menukarkan huruf hamzah kepada yā’ dan meng-idghām-kannya. Sementara dari al-Jaḥdarī, ‘Amru bin ‘Ubaid, dan al-A‘masy, Abū Ḥaiwah dan Asyhab al-‘Uqailī diriwayatkan: (خَطِيْئَاتِهِمْ), yakni dengan bentuk tunggal. (1962) Yang dimaksud dengan kesalahan mereka adalah kemusyrikan mereka.

 

Firman Allah ta‘ālā: (فَأُدْخِلُوْا نَارًا) “lalu dimasukkan ke neraka.” Maksudnya, setelah mereka ditenggelamkan. Al-Qusyairī berkata: “Ini menunjukkan atas siksa kubur. Adapun orang-orang yang mengingkari siksa kubur, mereka mengatakan: kaum Nūḥ itu berhak masuk neraka atau diperlihatkan kepada mereka tempat mereka di neraka, sebagaimana Allah berfirman: (النَّارُ يُعْرَضُوْنَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَ عَشِيًّا) “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Qs. Ghāfir [40]: 46).

Menurut satu pendapat, mereka memberi isyarat akan apa yang ada di dalam hadits, yaitu sabda Rasūlullāh s.a.w.:

الْبَحْرُ نَارٌ فِيْ نَارٍ

Laut itu adalah api di dalam api.” (1973).

Abū Rauq meriwayatkan dari adh-Dhaḥḥāk tentang firman Allah ta‘ālā: (أُغْرِقُوْا فَأُدْخِلُوْا نَارًا) “Mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka.” Adh-Dhaḥḥāk berkata: “Maksudnya, di dunia mereka diadzab dengan api, di samping pada saat yang sama mereka pun ditenggelamkan. Dengan demikian, di satu sisi mereka akan ditenggelamkan dan di sisi yang lain mereka akan dibakar di dalam api.” Demikianlah yang dituturkan oleh ats-Tsa‘labī.

(Ada syair dari al-Anbari yang tidak diterjemahkan – SH.)

Firman Allah ta‘ālā: (فَلَمْ يَجِدُوْا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِ اللهِ أَنْصَارًا.) “Maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah.” Maksudnya, orang yang menolak adzab dari mereka.

 

Firman Allah:

وَ قَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِيْنَ دَيَّارًا. إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوْا عِبَادَكَ وَ لَا يَلِدُوْا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا.

71: 26. Nūḥ berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.

71: 27. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hambaMu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.

(Qs. Nūḥ [71]: 26-27).

 

Mengenai dua ayat ini dibahas empat masalah:

Pertama: Nūḥ mendoakan buruk kepada kaumnya saat dia putus-asa mereka akan mengikutinya. Qatādah berkata: “Nūḥ mendoakan buruk kepada mereka, setelah Allah mewahyukan kepadanya: (وَ أُوْحِيَ إِلَى نُوْحٍ أَنَّهُ لَنْ يُؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ إِلَّا مَنْ قَدْ آمَنَ.) “Dan diwahyukan kepada Nūḥ, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja).” (Qs. Hūd [11]: 36). Allah mengabulkan doanya dan menenggelamkan ummatnya. Ini adalah seperti sabda Nabi s.a.w.:

اللهُمَّ مُنْزِلُ الْكِتَابِ سَرِيْعُ الْحِسَابِ وَ هَازِمُ الْأَحْزَابَ أَهْزِمْهُمْ وَ زَلْزِلْهُمْ.

Ya Allah yang menurunkan al-Kitāb, yang Maha cepat hisab-(Nya), yang Maha menghancurkan kelompok-kelompok, hancurkanlah mereka dan guncangkanlah mereka.

Menurut satu pendapat, sebab munculnya doa buruk Nūḥ itu adalah bahwa seorang lelaki dari kaumnya membawa anak kecil di atas bahunya, lalu dia bertemu dengan Nabi Nūḥ. Nūḥ kemudian berkata kepada lelaki itu: “Waspadalah engkau terhadap (anak) ini, sebab dia akan menyesatkanmu.” Anak itu kemudian berkata: “Wahai ayahku, turunkanlah aku.” Lelaki itu menurunkannya, lalu anak itu pun melempar Nabi Nūḥ dan melukainya. Ketika itulah Nabi Nūḥ marah dan mendoakan buruk kepada mereka.

Muḥammad bin Ka‘ab, Muqātil, ar-Rabī‘, ‘Athiyyah dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa Nabi Nūḥ mengatakan ini ketika Allah sudah mengeluarkan setiap orang mu’min dari tulang sulbi kaumnya dan rahim istri-istri mereka. Allah memandulkan rahim kaum perempuan dan tulang sulbi kaum lelaki sebelum datangnya hukuman itu selama tujuh puluh tahun. Menurut satu pendapat, selama empat puluh tahun. Qatādah berkata: “Tidak ada seorang anak kecil pun di antara mereka pada saat datangnya adzab tersebut.”

Al-Ḥasan dan Abul-‘Āliyyah berpendapat, seandainya Allah membinasakan anak-anak mereka bersama mereka, niscaya itu merupakan adzab dari Allah dan keadilan bagi mereka. Namun Allah membinasakan anak-anak dan keturunan mereka tanpa adzab. Setelah itu, Allah membinasakan mereka dengan adzab. Dalilnya adalah firman Allah ta‘ālā: (وَ قَوْمَ نُوْحٍ لَمَّا كَذَّبُوا الرُّسُلَ أَغْرَقْنَاهُمْ.) “Dan (telah Kami binasakan) kaum Nūḥ tatkala mereka mendustakan rasul-rasul. Kami tenggelam mereka.” (Qs. al-Furqān [25]: 37).

 

Kedua: Ibn-ul-‘Arabī (1984) berkata: “Nabi Nūḥ mendoakan buruk kepada orang-orang kafir seluruhnya, sedangkan Nabi Muḥammad mendorong dan mendoakan buruk kepada orang-orang yang berkoalisi dalam memerangi orang-orang yang beriman. Ini merupakan dasar dalam mendoakan buruk terhadap orang-orang kafir secara menyeluruh. Adapun orang kafir yang jelas namun belum diketahuinya akhirnya, dia tidak boleh didoakan buruk. Sebab menurut kami, tempat kembalinya masih samar. Boleh jadi di sisi Allah telah diketahui bahwa akhirnya adalah bahagia. Sesungguhnya Nabi mengkhususkan doa buruk itu kepada ‘Utbah, Syaibah dan para sahabatnya, karena beliau sudah mengetahui tempat kembali mereka dan terkuaknya tabir tentang keadaan mereka. Wallāhu a‘lam.

 

Menurut saya (al-Qurthubī), masalah ini al-ḥamdulillāh telah dijelaskan dengan baik pada surah al-Baqarah. (1995).

 

Ketiga: Ibn-ul-‘Arabī (2006) berkata: “Jika dikatakan: mengapa Nūḥ menjadikan doa buruknya kepada kaumnya sebagai sebab untuk tidak meminta syafaat dari Allah bagi makhluk di akhirat kelak? Kami katakan, orang-orang mengatakan bahwa dalam hal itu ada dua alasan:

  1. Doa itu muncul karena kemarahan dan kekerasan hati. Sementara syafaat itu muncul karena keridhaan dan kelembutan hati. Oleh karena itulah Nūḥ khawatir akan dicela dan dikatakan (kepadanya): kemarin engkau mendoakan buruk kepada orang-orang kafir, sedangkan hari ini engkau meminta syafaat bagi mereka.
  2. Nūḥ berdoa dalam keadaan marah tanpa ada teks dan izin yang tegas dalam hal ini. Oleh karena itulah dia tidak berani melakukan ralat dalam hal itu pada hari kiamat kelak, sebagaimana Mūsā a.s. berkata: “Sesungguhnya aku telah membunuh jiwa yang aku tidak diperintahkan untuk membunuhnya.” Inilah yang saya katakan.”

 

Menurut saya (al-Qurthubī), “Meskipun Nūḥ tidak diperintahkan untuk mendoakan buruk kepada mereka dengan sebuah nash, namun kepadanya telah dikatakan: (وَ أُوْحِيَ إِلَى نُوْحٍ أَنَّهُ لَنْ يُؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ إِلَّا مَنْ قَدْ آمَنَ.) “Dan diwahyukan kepada Nūḥ, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja).” (Qs. Hūd [11]: 36). Oleh karena itulah dia telah mengetahui akibat bagi mereka, sehingga dia pun mendoakan kebinasaan bagi mereka, sebagaimana Nabi kita mendoakan buruk kepada Syaibah. ‘Utbah dan orang-orang yang seperti mereka. Beliau bersabda: “Ya Allah, hancurkanlah mereka.” (2017) ketika beliau mengetahui resiko bagi mereka. Jika berdasarkan kepada hal ini, maka dalam hal itu ada substansi perintah untuk mendoakan mereka. Wallāhu a‘lam.

 

Keempat: Firman Allah ta‘ālā: (دَيَّارًا. إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوْا عِبَادَكَ وَ لَا يَلِدُوْا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا.) “Tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hambaMu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” Maksudnya, orang-orang yang menempati rumah-rumah. Demikianlah yang dikatakan as-Suddī, Asal kata ad-Dayyār adalah (دَيْوَار) sesuai dengan wazan (فَيْعَال) dari kata Dār Yadūru. Huruf wāu itu kemudian ditukarkan kepada huruf yā’ dan salah satunya dimasukkan kepada yang lain seperti qiyyām yang asalnya qaiwām. Seandainya kata ad-dayyār itu sesuai dengan wazan (فِعَّال), maka ia akan menjadi (دَوَّار).

Al-Qutabī berkata: “Asalnya adalah ad-Dār, yakni orang yang menetap di rumah. Dikatakan: mā bid-dāri diyyārun (tidak ada seorang pun di rumah), yakni tidak ada seorang pun.”

Menurut satu pendapat, ad-diyār adalah pemilik rumah.

 

Firman Allah:

رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَ لِوَالِدَيَّ وَ لِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ وَ لَا تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلَّا تَبَارًا.

71: 28. Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhalim itu selain kebinasaan”.

(Qs. Nūḥ [71]: 28).

 

Firman Allah ta‘ālā: (رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَ لِوَالِدَيَّ) “Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku.” Nūḥ mendoakan dirinya dan kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya adalah orang yang beriman. Mereka adalah Lamik bin Mutawasylikh (لمك بن مُتَوَشْلِخ) dan Syamkhā binti ‘Anūsy (وشَمْخَى بنت أنوش). Demikianlah yang dituturkan oleh al-Qursyairī dan ats-Tsa‘labī. Namun al-Māwardī (2028) meriwayatkan bahwa nama ibunya adalah Minjal (منجل). Sa‘īd bin Jubair berkata: “Yang dimaksud dengan kedua orangtuanya adalah ayahnya dan kakeknya.”

Sa‘īd bin Jubair membaca firman Allah itu dengan (لِوَالِدِيْ), yakni dengan kasrah huruf dāl, karena dia menggunakan kata yang berbentuk tunggal. (2039). Al-Kalbī berkata: “di antara Nūḥ dan Ādam terdapat sepuluh orang ayah yang semuanya adalah orang-orang yang beriman.”

Ibnu ‘Abbās berkata: “Tidak ada satu pun orang tua Nūḥ – dari dia sampai Ādam – yang kafir.”

 

Firman Allah ta‘ālā: (وَ لِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا) “Orang yang masuk ke rumahku dengan beriman,” yakni masjid dan mushallaku, karena hendak shalat dan percaya kepada Allah. Sesungguhnya orang-orang yang masuk ke dakam rumah para nabi itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada mereka. Oleh karena itulah Nūḥ menjadikan masjid sebagai sebab adanya doa agar diampuni itu.

Nabi s.a.w. bersabda:

الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّيْ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِيْ مَجْلِسِهِ الَّذِيْ صَلَّى فِيْهِ، مَا لَمْ يَحْدُثْ فِيْهِ تَقُوْلُ اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللهُمَّ ارْحَمْهُ.

Malaikat akan mendoakan keselamatan kepada salah seorang dari kalian, selama dia berada di majlisnya di mana dia shalat di sana, selama dia tidak berhadats di dalamnya. Malaikat itu berkata: “Ya Allah ampunilah dia, ya Allah rahmatilah dia”.” Hadits ini telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu.

Inilah pendapat Ibnu ‘Abbās: (بَيْتِيَ) “rumahku”, yakni masjidku. Demikianlah yang diriwayatkan ats-Tsa‘labī dan dikatakan adh-Dhaḥḥāk.

Dari Ibnu ‘Abbās juga diriwayatkan: maksudnya, dan orang-orang yang memasuki agamaku. Dengan demikian, kata Bait itu berarti rumah. Demikianlah yang diriwayatkan oleh al-Qusyairī.

Dari Ibnu ‘Abbās juga diriwayatkan, maksudnya adalah temanku yang masuk ke dalam rumahku. Demikianlah yang diriwayatkan oleh al-Māwardī. (20410).

Menurut satu pendapat, yang dimaksud adalah (yang masuk ke dalam) rumahku. Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud adalah (yang masuk ke dalam) kapalku.

 

Firman Allah ta‘ālā: (وَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ) “dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan,” secara umum, sampai hari kiamat. Demikianlah yang dikatakan adh-Dhaḥḥāk. Al-Kalbī berkata: “Dari ummat Muḥammad.” Menurut satu pendapat, dari kaumnya (Nūḥ). Namun pendapat yang pertama lebih kuat.

 

Firman Allah ta‘ālā: (وَ لَا تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ) “Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhalim itu,” yakni orang-orang yang kafir (إِلَّا تَبَارًا) “selain kebinasaan,” yakni kecuali kebinasaan. Dengan demikian, itu merupakan sesuatu yang umum bagi semua orang kafir dan musyrik.

Menurut satu pendapat, yang dimaksud adalah orang-orang musyrik dari kalangan kaumnya.

At-Tabār adalah al-Hilāk (kebinasaan). Menurut satu pendapat, al-Khusrān (kerugian). Kedua pendapat ini diriwayatkan oleh as-Suddī. Karena itu Allah ta‘ālā berfirman: (إِنَّ هؤُلَاءِ مُتَبَرٌّ مَا هُمْ فِيْهِ) “Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya.” (Qs. al-A‘rāf [7]: 139).

Menurut satu pendapat, at-Tabbār adalah penghancuran. Makna pendapat-pendapat tersebut sama, Allah-lah yang Maha mengetahui akan hal itu, dan dialah yang memberikan taufik untuk yang benar.

Catatan:

  1. 195). Qirā’ah ini bukanlah qirā’ah yang mutawātir.
  2. 196). Ibid.
  3. 197). Hadits dengan redaksi: Lautan bagian dari neraka Jahannam, dicantumkan oleh as-Suyūthī dalam al-Jāmi‘-ul-Kabīr (1/3862) dari riwayat Aḥmad, al-Ḥākim, al-Baihaqī, Ibnu ‘Asākir dari Shafwān bin Ya‘lā, dari Ya‘lā bin Umayyah. Adapun hadits: Lautan adalah tingkatan neraka Jahannam, hadits ini tercantum dalam al-Jāmi‘-ush-Shaghīr no. 3192, namun as-Suyūthī tidak memberikan kode apapun. Al-Manawī berkata: “Demikianlah yang diriwayatkan oleh Aḥmad dalam ad-Durr-ul-Mantsūr, dan boleh jadi penulisnya lalai terhadapnya karena bingung. Kami katakan, boleh jadi kelalaiannya terhadap hadits itu karena lemah. Kalau pun ia shaḥīḥ, maka yang dimaksud dari keberadaan lautan merupakan bagian dari neraka Jahannam adalah isyarat akan berbagai bahaya yang terkandung di dalamnya, dan bahwa bahaya-bahaya itu harus dijauhi dan dihindari. Atau, karena lautan itu….. akan menjadi demikian (bagian dari neraka Jahannam) di akhir zaman, sebagaimana Allah ta‘ālā berfirman: (وَ الْبَحْرِ الْمَسْجُوْرِ) “Dan laut yang di dalam tanahnya ada api.” (Qs. ath-Thūr [52]: 6). Wallāhu a‘lam.” Lih. Cacatan al-Jāmi‘-ush-Shaghīr (1/3862).
  4. 198). Lih. Aḥkām-ul-Qur’ān karyanya (4/1861).
  5. 199). Lih. Tafsir surah al-Baqarah ayat 161.
  6. 200). Lih. Aḥkām-ul-Qur’ān karyanya (4/1861).
  7. 201). HR. Muslim pada pembahasan jihad, bab: Gangguan yang Mendera Nabi s.a.w. dari Orang-orang Musyrik dan Munafiq (3/1418). Hadits ini pun diriwayatkan oleh yang lain.
  8. 202). Lih. Tafsīr al-Māwardī (6/106).
  9. 203). Qirā’ah Sa‘īd ini bukanlah qirā’ah yang mutawātir. Qirā’ah ini dicantumkan oleh Ibnu ‘Athiyyah dalam al-Muḥarrar-ul-Wajīz (16/129), dan asy-Syaukānī dalam Fatḥ-ul-Qadīr (5/429).
  10. 204). Lih. Tafsīr al-Māwardī (6/106).

Unduh Rujukan:

  • [download id="17047"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *