Firman Allah:
وَ قَالُوْا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَ لَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَ لَا سُوَاعًا وَ لَا يَغُوْثَ وَ يَعُوْقَ وَ نَسْرًا. وَ قَدْ أَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَ لَا تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلَّا ضَلاَلًا.
71: 23. Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwā‘, yaghūts, ya‘ūq dan nasr”.
71: 24. Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang lalim itu selain kesesatan.
(Qs. Nūḥ [71]: 23-24).
Ibnu ‘Abbās berkata: “Itu adalah berhala-berhala dan gambar-gambar. Dulu kaum Nūḥ menyembah semua itu, kemudian bangsa ‘Arab pun menyembahnya.” Ini adalah pendapat mayoritas mufassir.
Menurut satu pendapat, berhala-berhala itu adalah milik bangsa ‘Arab yang tidak pernah disembah oleh bangsa lainnya. Berhala-berhala itu merupakan berhala-berhala mereka yang paling besar dan paling agung di kalangan mereka. Oleh karena itulah mereka menyebutkannya secara khusus, setelah firman Allah ta‘ālā: (لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ) “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu.” Makna firman Allah itu adalah, sebagaimana kaum Nabi Nūḥ berkata kepada para pengikutnya: (لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ) “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu,” maka bangsa ‘Arab pun perkata kepada anak-anak dan kaum mereka: (وَ لَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَ لَا سُوَاعًا وَ لَا يَغُوْثَ وَ يَعُوْقَ وَ نَسْرًا.) “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwā‘, yaghūts, ya‘ūq dan nasr.” Setelah itu, Allah kembali menyebutkan kaum Nabi Nūḥ.
Tapi jika berdasarkan kepada pendapat yang pertama, semua ucapan itu dikemukakan di kalangan kaum Nabi Nūḥ.
‘Urwah bin az-Zubair dan yang lainnya mengatakan, Nabi Ādam a.s. mengeluh dan saat itu di dekatnya terdapat anak-anaknya, yaitu Wadd, Suwā‘. Yaghūts, Ya‘ūq dan Nasr. Wadd adalah putra Ādam yang paling besar dan paling berbakti kepadanya di antara mereka.
Muḥammad bin Ka‘ab berkata: “Ādam a.s. memiliki lima orang putra: Wadd, Suwā‘. Yaghūts, Ya‘ūq dan Nasr. Mereka adalah ahli ibadah. Salah seorang dari mereka kemudian meninggal dunia, sehingga mereka pun bersedih atas kepergiannya itu. Syaithan kemudian berkata kepada mereka: “Aku akan membuat gambar yang seperti dia untuk kalian. Apabila kalian melihatnya, maka kalian harus menyebutnya.” Mereka berkata: “Akan kulakukan.” Syaithan kemudian membuat gambar orang yang meninggal dunia itu di dalam masjid dari ter dan timah. Setelah itu seorang yang lain dari mereka meninggal dunia, lalu syaithan membuat gambarnya. Demikianlah yang terjadi sehingga mereka semua mati dan syaithan pun membuat gambarnya. Setelah itu, segala sesuatunya mengalami pengurangan sebagaimana yang terjadi sekarang ini, sehingga mereka tidak lagi menyembah Allah setelah beberapa waktu. Syaithan kemudian berkata kepada mereka: “Mengapa kalian tidak menyembah sesuatu?” Mereka bertanya: “Sesuatu apakah akan kami sembah?” Syaithan menjawab: “Tuhan-tuhan kalian dan tuhan-tuhan nenek-moyang kalian. Tidakkah kalian melihat (gambar) yang ada di tempat ibadah kalian. Mereka kemudian menyembah gambar itu, hingga Allah mengutus Nabi Nūḥ. Mereka berkata: (لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَ لَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَ لَا سُوَاعًا)“Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwā‘.”
Muḥammad bin Ka‘ab dan Muḥammad bin Qais mengatakan bahwa sebenarnya mereka adalah kaum yang shalih, yang hidup di antara masa Nabi Ādam dan Nabi Nūḥ. Mereka mempunyai para pengikut yang loyal dengan mereka. Ketika mereka mati, maka Iblīs menghiaskan kepada para pengikut mereka untuk membuat gambar mereka, agar para pengikut mereka itu dapat mengenang kerja keras mereka, agar para pengikut mereka itu dapat mengenang kerja keras mereka dan senantiasa memperhatikannya. Iblīs kemudian membuat gambar mereka. Ketika para pengikut itu mati dan datanglah generasi yang lain, mereka berkata: “Boleh jadi itu merupakan syi‘ar kita. Untuk apa nenek-moyang kita membuat gambar-gambar itu?” Syaithan kemudian mendatangi mereka dan berkata: “Dulu nener-moyang kalian menyembah gambar-gambar itu, lalu gambar-gambar itu mengasihi mereka dan memberikan siraman hujan kepada mereka.” Akhirnya mereka pun menyembah gambar-gambar itu. Maka dimulailah penyembahan berhala pada masa itu.
Menurut saya (al-Qurthubī), dengan makna ini hadits yang tertera dalam Shaḥīḥ Muslim, yang berasal dari hadits ‘Ā’isyah, ditafsirkan bahwa Ummu Ḥabībah dan Ummu Salamah menuturkan kepada Rasūlullāh sebuah gereja yang pernah mereka lihat di Ḥabasyah, yang bernama Māriyah, di mana di dalam gereja itu terdapat gambar-gambar. Rasūlullāh s.a.w. kemudian bersabda:
إِنَّ أُولئِكَ إِذَا كَانَ فِيْهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَيْرِهِ مَسْجِدًا، وَ صَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ أُولئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Sesungguhnya mereka, jika ada seorang shalih meninggal dunia di antara mereka, maka mereka membangun tempat sujud (masjid) di atas kuburnya dan membuat gambar-gambar (orang) itu pada kuburan tersebut. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah pada hari kiamat kelak.” (1881).
Ats-Tsa‘labī menuturkan dari Ibnu ‘Abbās, dia (Ibnu ‘Abbās) berkata: “Berhala-berhala ini adalah nama-nama orang yang shalih dari kaum Nabi Nūḥ. Ketika orang-orang yang shalih itu mati, syaithan memerintahkan kepada kaum Nūḥ (yang masih hidup) untuk mendirikan berhala-berhala di majlis-majlis yang mereka tempati, dan menamai berhala-berhala itu dengan nama-nama orang-orang yang shalih itu. Tujuannya adalah agar berhala-berhala itu dapat mengingatkan kepada orang-orang yang shalih. Maka mereka pun melakukan hal itu namun berhala-berhala itu masih belum disembah. Ketika mereka sudah mati dan pengetahuan tentang hal itu pun terhapus, barulah berhala-berhala itu disembah selain Allah.”
Dituturkan juga dari Ibnu ‘Abbās, bahwa Nūḥ a.s. menjaga tubuh Nabi Ādam a.s. di sebuah gunung di India. Dia melarang orang-orang kafir untuk thawaf mengelilingi kuburnya. Syaithan kemudian berkata kepada mereka: “Sesungguhnya orang-orang itu telah berbuat congkak terhadap kalian, dan mereka mengaku bahwa merekalah anak cucu Ādam sementara kalian bukan. Sesungguhnya itu hanyalah tubuh. Aku dapat membuat sebuah gambar untuk kalian yang seperti tubuh itu, di mana kalian kemudian dapat thawaf mengelilinginya.” Syaithan kemudian menggambar kelima berhala itu dan mendorong mereka untuk menyembahnya. Ketika terjadi banjir bandang, berhala-berhala itu terkubur oleh tanah liat, debu dan air. Berhala-berhala itu terus terkubur hingga dikeluarkan oleh syaithan untuk kaum musyrikin ‘Arab.
Al-Māwardī (1892) berkata: “Wadd adalah berhala pertama yang disembah. Dinamakan Wadd (cinta) karena mereka mencintainya. Menurut pendapat Ibnu ‘Abbās, ‘Athā’ dan Muqātil, setelah menjadi milik kaum Nabi Nūḥ, berhala ini menjadi milik Kalb di Daumh al-Jandal. Dalam hal ini penyair mereka berkata:
حَيَّاكَ وَدٌّ فَإِنَّا لَا يَحِلُّ لَنَا | لَهْوُ النِّسَاءِ وَ إِنَّ الدِّيْنَ قَدْ عَزَمَا. |
“Semoga Wadd memanjangkan umurmu. Sesungguhnya tidak halal bagi kita mempermainkan
perempuan, dan sesungguhnya agama itu telah kokoh.” (1903).
Adapun Suwā‘, ia menjadi milik Hudzail di pesisir laut. Ini menurut pendapat mereka.
Adapun Yaghūts, ia menjadi milik Ghuthaif bin Murād di pedalaman Saba’. Ini menurut pendapat Qatādah. Sementara menurut pendapat al-Mahdawī, ia menjadi milik Murād kemudian Ghathafān. Tapi ats-Tsa‘labī berkata: “A‘lā dan An‘ām – keduanya dari Thā’ī – serta penduduk Jurasy dari Madhaj mengambil Yaghūts, kemudian mereka pergi ke Murād dan menyembahnya selama beberapa waktu. Setelah itu, Bani Nājiyah hendak merebut berhala itu dari A‘lā dan An‘ām, sehingga mereka pun lari kepada Ḥushain, saudara Bani al-Ḥārits bin Ka‘ab dari Khuzā‘ah.”
Abū ‘Utsmān an-Nahdī berkata: “Aku pernah melihat Yaghūts, dan ia terbuat dari timah. Mereka membawanya di atas unta yang berpenyakit pada bagian kakinya. Mereka berjalan bersamanya dan mereka tidak mengistirahatkannya hingga unta itulah yang mendekam. Apabila unta itu mendekam, mereka turun (dari punggungnya) dan berkata: “Sesungguhnya tempat ini telah meridhai kalian. Setelah itu mereka membuat bangunan di sekitar tempat itu untuk mereka tempati”.”
Adapun Ya‘ūq, ia menjadi milik Hamdān di Balkha‘. (1914) Ini menurut pendapat ‘Ikrimah, Qatādah dan ‘Athā’. Demikianlah yang dituturkan al-Māwardī. Namun ats-Tsa‘labī berkata: “Adapun Ya‘ūq, ia menjadi milik Kahlān dari Saba’ yang kemudian diwarisi oleh anak-anaknya, yang tertua kemudian yang tua, hingga sampai kepada Hamdān.” Dalam hal ini, Mālik bin Namth al-Hamdānī berkata:
يَرِيْشُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَ يَبْرِي | وَ لَا يَبْرِيْ يَعُوْقُ وَ لَا يَرِيْشُ. |
“Allah dapat membuat sakit dan sembuh di dunia,
Sedangkan Ya‘ūq tidak dapat menyembuhkan dan tidak pula membuat sakit.”
Adapun Nasr, ia menjadi milik al-Kalā‘ dari Ḥimyar. Ini menurut pendapat Qatādah. Pendapat yang senada juga dikemukakan Muqātil.
Al-Wāqidī berkata: “Wadd itu berbentuk seorang laki-laki, Suwā‘ berbentuk seorang perempuan, Yaghūts berbentuk singa, Ya‘ūq berbentuk kuda, dan Nasr berbentuk burung elang. Wallāhu a‘lam.”
Nāfi‘ membaca firman Allah itu dengan: (وَ لَا تَذِرُنَّ وُدًّا) – dengan dhammah huruf wāu. (1925) Sedangkan yang lain membacanya dengan fatḥah huruf tā’.
Laits berkata: “Wadd adalah berhala kaum Nūḥ, sedangkan Wudd adalah berhala orang-orang Quraisy. Dengan nama Wudd inilah ‘Amr bin Wudd dinamai.”
Dalam kitab ash-Shiḥḥāh (1936) dinyatakan: “Wadd adalah yang kokoh menurut dialek orang-orang Najd, seolah-olah mereka men-sukūn-kan huruf tā’ kemudian meng-idghām-kannya kepada huruf dāl. Juga Wadd dalam ucapan Imri’-ul-Qais:
تُظْهِرُ الْوَدَّ إِذَا مَا أَشْجَذَتْ | وَ تُرَارِيْهِ إِذَا مَا تَعْتَكِرْ |
“Engkau (Awan) menampakkan kekokohan (rumah), jika engkau pekat.
Dan engkau menampakkannya jika engkau tipis.” (194).
Ibnu Duraid berkata: “Wadd adalah nama sebuah gunung. Wadd juga berarti berhala kaum Nabi Nūḥ a.s. yang kemudian menjadi milik Kalb di Daumah al-Jandal. Dari itulah mereka menamai ‘Abd Wadd.”
Allah berfirman: (لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ) “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu,” kemudian Allah berfirman: (وَ لَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَ لَا سُوَاعًا) “dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwā‘.” Allah menyebutkan berhala-berhala itu secara khusus, karena firman-Nya: (وَ إِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّيْنَ مِيْثَاقَهُمْ وَ مِنْكَ وَ مَنْ نُوْحٍ) “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nūḥ.” (Qs. al-Aḥzāb [33]: 7).
Firman Allah ta‘ālā: (وَ قَدْ أَضَلُّوْا كَثِيْرًا) “Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia)”. Ini adalah ucapan Nabi Nūḥ. Maksudnya, pembesar-pembesar mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia dari para pengikutnya. Dengan demikian, firman Allah tersebut di-‘athaf-kan kepada firman-Nya: (وَ مَكَرُوْا مَكْرًا كُبَّارًا.) “Dan melakukan tipu-daya yang amat besar.” (Qs. Nūḥ [71]: 22).
Menurut satu pendapat, berhala-berhala itu telah (أَضَلُّوْا كَثِيْرًا) “menyesatkan kebanyakan (manusia)”, yakni kebanyakan orang sesat karenanya. Padanan firman Allah ini adalah ucapan Ibrāhīm: (رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ) “Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia.” (Qs. Ibrāhīm [14]: 36). Dalam hal ini, kepada berhala-berhala itu diberlakukan sifat yang diperuntukkan bagi manusia, sebab orang-orang kafir meyakini hal itu pada mereka.
Firman Allah ta‘ālā: (وَ لَا تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلَّا ضَلاَلًا.) “dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang lalim itu selain kesesatan,” yakni adzab. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Baḥr. Dia berargumentasi dengan firman Allah ta‘ālā: (إِنَّ الْمُجْرِمِيْنَ فِيْ ضَلَالٍ وَ سُعُرٍ) “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka.” (Qs. al-Qamar [54]: 47).
Menurut satu pendapat, (makna firman Allah itu adalah) selain kerugian.
Menurut pendapat yang lain, makna firman Allah itu adalah selain ujian pada harta dan anak. Ini relatif.