Suratu Nuh 71 ~ Tafsir al-Qurthubi (3/6)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Suratu Nuh 71 ~ Tafsir al-Qurthubi

Firman Allah:

مَّا لَكُمْ لَا تَرْجُوْنَ للهِ وَقَارًا. وَ قَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا.

71: 13. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?

71: 14. Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian.

(Qs. Nūḥ [71]: 13-14).

 

Menurut satu pendapat, ar-rajā’ (تَرْجُوْنَ) di sini berarti takut. Maksudnya, mengapa kamu tidak takut kepada Allah, yakni akan keagungan dan kekuasaan-Nya untuk dapat menghukum salah seorang dari kalian. Jelaskan, alasan apakah yang membuat kalian tidak takut kepada Allah.

Sa‘īd bin Jubair, Abul-‘Āliyah, ‘Athā’ bin Abī Rabāḥ mengatakan: mengapa kalian tidak mengharapkan pahala dari Allah dan tidak takut akan siksaan-Nya.

Al-Wālibī dan al-‘Aufā mengatakan, mengapa kalian tidak mengetahui keagungan Allah.

Ibnu ‘Abbās dan Mujāhid mengatakan, mengapa kalian tidak melihat keagungan Allah.

Diriwayatkan dari Mujāhid dan adh-Dhaḥḥāk: mengapa kalian tidak peduli dengan keagungan Allah.

Quthrub berkata: “Ini adalah dialek orang-orang Ḥijāz, Hudzail, Khuzā‘ah dan Mudhar. Mereka berkata: Lam arju, yakni aku tidak peduli. Al-Waqār adalah keagungan, sedangkan at-Tauqīr adalah pengagungan.”

Qatādah berkata: “Mengapa kalian tidak mengharapkan akibat dari Allah. Seakan-akan makna kalimat tersebut adalah: mengapa kalian tidak mengharapkan akibat keimanan dari Allah.”

Ibnu Kaisān berkata: “Mengapa kalian tidak mengharapkan – dalam beribadah dan taat kepada Allah – Allah akan memberikan balasan (kepada kalian) atas pengagungan kalian dengan kebaikan.”

Ibnu Zaid berkata: “Mengapa kalian tidak menunaikan ketaatan kepada Allah.”

Al-Ḥasan berkata: “Mengapa kalian tidak mengesakan Allah. Sebab barang siapa yang mengagungkan-Nya, maka dia akan mengesakan-Nya.

Menurut satu pendapat, mengapa kalian tidak mengesakan Allah. Sebab barang siapa yang mengagungkan-Nya, maka dia akan mengesakan-Nya.

Menurut satu pendapat, makna al-Waqār adalah berketetapan kepada Allah ‘azza wa jalla. Contohnya adalah firman Allah ta‘ālā: (وَ قَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ) “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 33). Yakni, berketetapan.

Makna firman Allah tersebut adalah: mengapa kalian tidak menetapkan keesaan Allah ta‘ālā, padahal Dia adalah Tuhan kalian, di mana tidak ada Tuhan yang hak kecuali Dia. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Baḥr.

Setelah itu, Allah menunjukkan mereka atas hal tersebut. Allah berfirman: (وَ قَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا.) “Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian,” yakni Dia telah menjadikan pada diri kalian tanda yang menunjukkan atas keesaan-Nya.

Ibnu ‘Abbās berkata: “(Allah berfirman): (أَطْوَارًا) “dalam beberapa tingkatan kejadian,” yakni air mani, kemudian gumpalan darah, kemudian gumpalan daging.” Maksudnya, tingkatan demi tingkatan, sampai sempurna penciptaan. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah al-Mu’minūn. (1781) Sebab ath-Thūr menurut bahasa adalah kali. Maksudnya, barang siapa yang melakukan dan kuasa atas beberapa tingkatan kejadian ini, maka dialah Dzāt yang paling berhak untuk kalian agungkan.

Menurut satu pendapat: (أَطْوَارًا) “dalam beberapa tingkatan kejadian,” yakni masa kecil, lalu masa muda, lalu masa tua dan lemah, lalu masa kuat.

Menurut pendapat yang lain: (أَطْوَارًا) yakni dalam beberapa jenis: sehat dan sakit, melihat dan buta, kaya dan miskin.

Menurut pendapat yang lain lagi, makna: (أَطْوَارًا) adalah perbedaan mereka dalam akhlak dan perbuatan,

 

Firman Allah:

أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللهُ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا. وَ جَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا وَ جَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا.

71: 15. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?

71: 16. Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita?

(Qs. Nūḥ [71]: 15-16).

Firman Allah ta‘ālā: (أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللهُ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا.) “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?” Allah menyebutkan dalil yang lain kepada mereka. Maksud dari firman Allah itu adalah: tidaklah kalian tahu bahwa Dzāt yang kuasa untuk melakukan ini (menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat dan seterusnya). Dialah yang wajib untuk disembah.

Makna (طِبَاقًا) adalah sebagiannya berada di atas sebagian yang lain. Sebab setiap (lapisan) langit itu berada di atas lapisan langit yang lain, seperti (undakan – level, story) kubah. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbās dan as-Suddī.

Al-Ḥasan berkata: “Allah telah menciptakan tujuh (lapis) langit bertingkat-tingkat di atas tujuh (lapis) bumi. Di antara tiap-tiap (lapisan) bumi yang satu dan yang lain, dan lapisan langit yang satu dan yang lain, terdapat makhluk dan perintah.”

 

Firman Allah ta‘ālā: (أَلَمْ تَرَوْا) “Tidakkah kamu perhatikan,” dikemukakan sebagai sebuah pemberitahuan, bukan sebagai penjelasan, sebagaimana engkau berkata: Alam Taranī Kaifa Shana‘tu bi Fulānin Kadzā (tidakkah kamu perhatikan bagaimana aku melakukan sesuatu terhadap si fulan).”

Lafazh (طِبَاقًا) di-nashab-kan karena ia adalah mashdar, yakni yang disusun bertingkat-tingkat. Atau, karena ia adalah ḥāl, yakni dzāti thibāqan (yang mempunyai tingkatan-tingkatan). Setelah itu, lafazh dzāt dibuang, dan lafazh thibāqan ditempatkan pada posisinya.

 

Firman Allah ta‘ālā: (وَ جَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا) “Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya,” yakni pada langit dunia, sebagaimana dikatakan: atānī banū tamīmin wa ataitu banī tamīmin, (Bani Tamīm mendatangiku, dan Aku mengdatangi Bani Tamīm), padahal yang dimaksud adalah sebagiannya. Demikianlah yang dikatakan oleh al-Akhfasy.

Ibnu Kaisān berkata: “Jika bulan itu ada pada salah satu langit, maka ia berada pada langit-langit itu.”

Quthrub berkata: “Makna (فِيْهِنَّ) adalah (مَعَهُنَّ) “besertanya/disamping).” Pendapat ini pun dikemukakan oleh al-Kalbī. Maksud firman Allah itu adalah: Allah pun menciptakan matahari dan bulan, di samping menciptakan langit dan bumi.”

(Syair Imri’-ul-Qais tidak diterjemahkan di sini – SH.)

An-Naḥḥās berkata: “Aku pernah bertanya kepada Abul-Ḥasan bin Kaisān tentang ayat ini, lalu dia menjawab: “Jawaban para pakar Naḥwu adalah: jika Allah menjadikan bulan itu pada salah satu langit, maka sesungguhnya Dia telah menjadikan bulan menjadikan bulan itu pada beberapa langit tersebut, sebagaimana engkau berkata: a‘thinī ats-tsiyāb-al-ma‘lamata (berikanlah beberapa pakaian yang bertanda) padahal engkau hanya memberikan tanda pada salah satu pakaian saja. Jawaban yang lain adalah: bahwa wajah bulan itu (menghadap ke langit). Apabila wajahnya itu menghadap ke bagian dalam langit, maka sesungguhnya ia telah menyatu dengan beberapa langit itu.”

Makna (نُوْرًا) “Sebagai cahaya,” adalah sebagai cahaya bagi penduduk bumi. Demikianlah yang dikatakan oleh as-Suddī.

‘Athā’ berkata: “(Maksudnya) sebagai cahaya bagi penduduk langit dan bumi.”

Ibnu ‘Abbās dan Ibnu ‘Umar berkata: “Wajah bulan itu menerangi penduduk bumi, sedangkan punggungnya menerangi penduduk langit.

 

Firman Allah ta‘ālā: (وَ جَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا) “dan menjadikan matahari sebagai pelita?” Yakni, pelita bagi penduduk bumi, agar mereka dapat meneruskan transaksi mereka untuk penghidupan mereka. Adapun mengenai keberadaan matahari sebagai pelita bagi penduduk bumi, dalam hal ini ada dua pendapat yang pertama tadi. Demikianlah yang diriwayatkan oleh al-Māwardī. (1792).

Al-Qusyairī meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, bahwa wajah matahari berada di langit, sedangkan tengkuk (belakang)nya berada di bumi.

Menurut satu pendapat justru sebaliknya.

Dikatakan kepada ‘Abdullāh bin ‘Umar: “Mengapa matahari itu terkadang panas bagi kita dan terkadang pula dingin?” Ibnu ‘Umar menjawab: “Pada musim panas ia berada di langit yang keempat, sedangkan pada musim dingin di berada di langit ke tujuh, di dekat ‘Arsy Dzāt Yang Maha Pemurah. Seandainya ia berada di langit dunia, niscaya tidak akan ada sesuatu pun yang sanggup menahan (panas)nya.”

Catatan:

  1. 178). Lih. Surah al-Mu’minūn, ayat 12.
  2. 179). Lih. Tafsīr al-Māwardī (6/102). Kedua pendapat tersebut adalah pendapat as-Suddī dan ‘Athā’ yang telah disebutkan.

Unduh Rujukan:

  • [download id="17047"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *