Firman Allah:
ثُمَّ إِنِّيْ دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا. ثُمَّ إِنِّيْ أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَ أَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا.
71: 8. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan.
71: 9. Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.
(Qs. Nūḥ [71]: 8-9).
Firman Allah ta‘ālā: (ثُمَّ إِنِّيْ دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا) “Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan,” yakni terang-terangan menyeru mereka. Lafazh (جِهَارًا) di-nashab-kan oleh lafazh (دَعَوْتُهُمْ) dengan nashab-nya mashdar. Sebab salah satu dari kedua seruan tersebut adalah (seruan yang dilakukan dengan cara) terang-terangan. Oleh karena itulah lafazh (جِهَارًا) itu di-nashab-kan oleh lafazh (دَعَوْتُهُمْ) tersebut, layaknya lafazh al-qarfashā’ (duduk dengan lutut diangkat menempel ke perut) di-nashab-kan oleh lafazh Qa‘ada, sebab al-qarfashā’ (القرفصاء) adalah satu cara duduk. Atau, yang dimaksud dari lafazh (دَعَوْتُهُمْ) “Aku telah menyeru mereka” adalah (جَاهَرْتُهُمْ) “Aku telah terang-terangan kepada mereka.”
Namun lafazh (جِهَارًا) boleh juga menjadi shifat bagi mashdar lafazh (دَعَا). Yakni Da‘ā Jihāran, yakni mujāharan bihi (Dia menyeru dengan seruan yang terang-terangan, yakni yang dibuat terang-terangan).
Lafazh (جِهَارًا) juga boleh menjadi mashdar yang berada pada posisi ḥāl. Yakni, Da‘autuhum mujāharan lahum bid-da‘watī (aku menyeru mereka dengan terang-terangan menyeru kepada mereka).
Firman Allah ta‘ālā: (ثُمَّ إِنِّيْ أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَ أَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا.) “Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam”. Maksudnya, aku terus-menerus berusaha.
Mujāhid berkata: “Makna (أَعْلَنْتُ) “Aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan,” adalah aku membenarkan, (وَ أَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا) “dan dengan diam-diam,” yakni dengan menyeru sebagian dari mereka atas sebagian yang lain.”
Menurut satu pendapat, maka (وَ أَسْرَرْتُ لَهُمْ) “dan dengan diam-diam”, adalah aku mendatangi mereka di rumah-rumah mereka. Semua itu merupakan upaya dari Nūḥ dalam menyampaikan seruan kepada mereka, sekaligus merupakan pendekatan dalam menyampaikan seruan.
Para penduduk tanah Ḥarām dan Abū ‘Amr mem-fatḥah-kan huruf yā’ yang terdapat pada lafazh (إِنِّيْ أَعْلَنْتُ لَهُمْ) “sehingga mereka membacanya dengan: Inniya). Sedangkan yang lainnya men-sukūn-kannya.
Firman Allah:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًا. وَ يُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَ بَنِيْنَ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ أَنْهَارًا.
71: 10. Maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun,
71: 11. niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,
71: 12. dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.
(Qs. Nūḥ [71]: 10-12).
Dalam firman Allah ini dibahas tiga masalah:
Pertama: Firman Allah ta‘ālā: (فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ) “Maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu”.” Yakni, mohonlah kepada-Nya ampunan dari dosa-dosamu yang terdahulu dengan mengikhlaskan keimanan.
(إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا) “Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.” Ini merupakan dorongan/motivasi dari Allah agar bertaubat. Ḥudzaifah bin al-Yamān meriwayatkan dari Nabi s.a.w. bahwa beliau bersabda:
الْإِسْتِغْفَارُ مُمْحَاةٌ لِلذُّنُوْبِ
“Istighfar itu penghapus dosa-dosa.” (1731).
Al-Fudhail berkata: “Seorang hamba berkata: “Aku memohon ampunan kepada Allah.” Makna ucapan itu adalah sedikitkanlah (dosa-dosa) untukku.”
Kedua: Firman Allah ta‘ālā: (يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًا) “niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat.” Yakni, (يُرْسِلِ مَاءَ السَّمَاء) “Mengirimkan air dari langit (hujan).” Dengan demikian, pada firman Allah itu terdapat kata yang disimpan (yaitu lafazh (مَاءَ)). Menurut satu pendapat, (makna) (السَّمَاءَ) adalah hujan.
Penyair berkata: (1742).
إِذَا سَقَطَ السَّمَاءُ بِأَرْضِ قَوْمٍ | رَعَيْنَاهُ وَ إِنْ كَانُوْا غَضَابًا |
Apabila langit (hujan) turun di tanah suatu kaum,
Maka kami memeliharanya, meskipun mereka marah.
Makna (مِدْرَارًا) adalah yang memiliki hujan yang deras. Lafazh (يُرْسِلِ) di-jazam-kan karena menjadi Jawāb bagi fi‘il Amr.
Muqātil berkata: “Ketika mereka mendustai Nūḥ dalam waktu yang lama, Allah menahan hujan atas mereka dan memandulkan rahim istri mereka selama empat puluh tahun, sehingga binasalah binatang ternak dan tanaman-tanaman mereka. Mereka kemudian mendatangi Nūḥ dan meminta bantuan kepadanya. Nūḥ berkata: (اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا) “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun”. Maksudnya, Dia akan tetap seperti itu kepada orang-orang yang kembali kepada-Nya. Setelah itu, Nūḥ memotivasi agar beriman:
يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًا. وَ يُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَ بَنِيْنَ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ أَنْهَارًا.
“Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”
Qatādah berkata: “Nabi Allah (Nūḥ) tahu bahwa mereka adalah orang yang sangat menginginkan dunia. Dia kemudian berkata: “Marilah taat kepada Allah, karena sesungguhnya dengan menaati Allah itu akan didapatkan dunia dan akhirat.”
Ketiga: Pada ayat ini dan juga pada ayat yang terdapat dalam surah Hūd, (1753) terdapat dalil yang menunjukkan bahwa istighfar (pemohonan ampunan) itu dapat menurunkan rizki dan hujan.
Asy-Sya‘bī berkata: “‘Umar keluar untuk meminta hujan, namun dia hanya membaca istighfar sampai dia kembali, lalu hujan pun turun. Mereka berkata (kepada ‘Umar): “Kami tidak melihatmu meminta hujan?” ‘Umar menjawab: “Sesungguhnya aku telah meminta hujan dengan majadih (1764) langit yang dapat menurunkan hujan.” Setelah itu ‘Umar membaca:
يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًا. وَ يُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَ بَنِيْنَ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ أَنْهَارًا.
“Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”
Al-Auza‘ī berkata: “Orang-orang keluar untuk meminta hujan. Bilāl bin Sa‘d kemudian berdiri di tengah-tengah mereka, lalu dia pun memanjatkan taḥmīd dan sanjungan kepada Allah. Setelah itu dia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya kami telah mendengar Engkau berfirman: (مَا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ مِنْ سَبِيْلٍ) “Tidak ada jalan sedikitkpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. at-Taubah [9]: 91). Sementara kami telah mengaku bersalah. Maka apakah ampunan-Mu tidak diperuntukan bagi kami? Ya Allah, ampunilah kami, rahmatilah kami, dan turunkanlah hujan kepada kami.” Dia mengangkat kedua tangannya dan mereka pun mengangkat tangan mereka, kemudian turunlah hujan.”
Ibnu Shabīḥ berkata: “Seorang lelaki mengeluhkan paceklik kepada al-Ḥasan. Al-Ḥasan kemudian berkata kepadanya: “Mohonlah ampunan kepada Allah.” Seorang lelaki yang lain mengeluhkan kemiskinan kepadanya, lalu dia pun berkata kepada lelaki yang lain itu: “Mohonlah ampunan kepada Allah.” Lelaki yang lain itu berkata kepadanya: “Berdoalah engkau kepada Allah agar Dia menganugerahkan seorang putra kepadaku.” Al-Ḥasan berkata kepadanya: “Mohonlah ampunan kepada Allah.” Seorang lelaki yang lain lagi mengeluhkan kekeringan keduanya kepadanya. Al-Ḥasan kemudian berkata kepadanya: “Mohonlah ampunan kepada Allah.” Kami kemudian berkata kepada al-Ḥasan dalah hal itu.” Dia berkata: “Aku tidak mengatakan apapun dari diriku. Sesungguhnya Allah ta‘ālā berfirman dalam surah Nūḥ:
اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًا. وَ يُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَ بَنِيْنَ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ أَنْهَارًا.
“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”
Pada surah Āli ‘Imrān (1775) sudah dijelaskan tatacara istighfar, dan bahwa hal itu harus dilakukan dengan ikhlas dan niat untuk melepaskan dosa-dosa. Ini merupakan dasar untuk mendapatkan pengabulan doa.
176). Al-Majādiḥ: Ibn-ul-Atsīr berkata: “Bentuk tunggalnya adalah (مِجْدَح), sedangkan yā’ adalah tambahan untuk memuaskan (pengucapan). Jika merujuk pada aturan dalam ilmu sharaf, seharusnya bentuk tunggalnya adalah (مِجْدَاح). Sebab jika bentuk tunggalnya (مِجْدَح), maka jama‘-nya adalah (مَجَادِح). (مِجْدَح) adalah nama salah satu bintang.
Menurut satu pendapat, ia adalah tiga bintang yang seperti Utsfiyah (besi penyangga kayu yang dibakar), karena ketiga bintang itu diserupakan dengan Majdaḥ yang mempunyai tiga cabang (segi tiga). Menurut bangsa ‘Arab, ia termasuk bintang yang menunjukkan pada hujan. Dengan demikian, ‘Umar menjadikan istighfar sebagai sesuatu yang menyerupai bintang, karena dia ingin berdialog dengan mereka dengan sesuatu yang mereka ketahui, bukan karena dia meyakini bahwa bintang itu dapat menurunkan hujan. ‘Umar menggunakan kata yang berbentuk jama‘, sebab dia menghendaki semua bintang yang menurut anggapan mereka dapat menurunkan hujan.” (Lih. an-Nihāyah (1/343).