Suratu Nuh 71 – Seruan Nabi Nuh Kepada Kaumnya ~ Tafsir al-Azhar (3/5)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Suratu Nuh 71 ~ Tafsir al-Azhar

III

مَّا لَكُمْ لَا تَرْجُوْنَ للهِ وَقَارًا. وَ قَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا. أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللهُ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا. وَ جَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا وَ جَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا. وَ اللهُ أَنْبَتَكُمْ مِّنَ الْأَرْضِ نَبَاتًا. ثُمَّ يُعِيْدُكُمْ فِيْهَا وَ يُخْرِجُكُمْ إِخْرَاجًا. وَ اللهُ جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ بِسَاطًا. لِتَسْلُكُوْا مِنْهَا سُبُلًا فِجَاجًا.

71: 13. Mengapa tidak kamu harapkan dari Allah kebesaran-Nya?

71: 14. Padahal Dia telah menciptakan kamu melalui beberapa tingkatan?

71: 15. Apakah tidak kamu perhatikan betapa Allah telah menciptakan tujuh langit bersusun-susun?

71: 16. Dan Dia jadikan bulan, pada semuanya itu bercahaya dan matahari sebagai pelita?

71; 17. Dan Allah telah menumbuhkan kamu dari bumi sebenar-benar tumbuh.

71: 18. Kemudian itu akan dikembalikan-Nya kamu ke dalamnya dan Dia keluarkan kamu sebenarnya keluar.

71: 19. Dan Allah telah menjadikan bagi kamu bumi ini sebagai hamparan.

71: 20. Supaya kamu lalui daripadanya jalan-jalan yang jauh-jauh”.

 

***

Setelah ayat-ayat yang terlebih dahulu menguraikan keluhan Nabi Nūḥ kepada Tuhan tentang usahanya melakukan Da‘wah kepada kaumnya itu, maka ayat-ayat yang seterusnya ini ialah menggambarkan seruan langsung beliau terhadap kaum itu;

Mengapa tidak kamu harapkan dari Allah kebesaran-Nya?”. (Ayat 13).

Kalau kamu orang yang berakal budi, niscaya akan kamu ingatlah betapa Kebesaran Ilahi dan kekayaan-Nya. Dia telah menjanjikan, asal saja kamu benar-benar memohon ampun dan karunia langit akan terbuka, hujan akan turun, bumi akan subur, harta-benda kekayaan akan melimpah ruah, anak cucu akan berkembang biak, sawah ladang dan kebun-kebun akan memberi hasil, apatah lagi sungai-sungai akan mengalir dengan teratur. Sebab Iman hamba Allah itu sangat bertali dengan rahmat yang akan Dia turunkan. Sudah bergitu ketentuannya mengapa tidak juga kamu mau mendekati Allah dan mengakui kebesaran-Nya?

Padahal Dia telah menciptakan kamu melalui beberapa tingkatan?”. (Ayat 14). Yaitu karena pertemuan dan gabungan di antara dua tetes mani, mani si laki-laki dengan mani si perempuan di dalam rahim perempuan itu, yaitu ibumu, maka kamupun naik kepada tingkat kedua menjadi nuthfah (segumpal air), setelah itu naik kepada tingkat ketiga menjadi ‘alaqah (segumpal darah), setelah itu naik ke tingkat empat, yaitu mudhghah, segumpal daging berangsur keras sampai menjelma menjadi tulang dan tulang itulah kelaknya yang dibungkus secara berangsur pula oleh daging. Berangsur bernafas, bergerak dan setelah sempurna tingkat yang dilalui, telah berkaki bertangan, berkepala dan berjari, lahirlah kamu ke dunia. Alangkah hebat dan rumitnya tingkat kejadian yang kamu lalui itu.

Kemudian setelah selesai kamu menekur (to stoop; bend; bow) memperhatikan tingkat, yang dilalui oleh dirimu, menengadahlah ke atas ruang angkasa; “Apakah tidak kamu perhatikan betapa Allah telah menciptakan tujuh langit bersusun-susun?”, (Ayat 15). Kalau kiranya telah kamu perhatikan betapa ‘ajaib dan betapa penuh kekayaan dan kebesaran Ilahi dalam menciptakan manusia melalui tingkat-tingkatan dalam rahim itu, maka Dia yang menciptakan insan itu jualah yang menjadikan langit tujuh bersusun. Entah berapa lagi ke atasnya tidaklah kita tahu. Selalu manusia dengan segala akal dan dalihnya hendak mengetahui rahasia langit yang tujuh tingkat itu, namun dalam menyelidik bintang-bintang yang berkerlap-kerlipan di bawah kolong langit itu, tenaga manusia telah habis dan usianya bersisa hanya sedikit, lalu mati. Rahasia itu belum juga terbuka. Allah mengatakan tujuh susunan langit. Kita percaya dengan tidak ada keraguan lagi tentang susunan yang tujuh itu, namun yang mana dia, apakah langit yang kita tengadah sekarang ini baru susunan langit paling dekat dan ada lagi, bahkan ada lagi, dan jauh-jauh jaraknya di antara tingkat pertama dengan tingkat kedua, sampai ke atasnya, Tuhanlah Yang Maha Tahu dan semuanya adalah di bawah Maha Kekuasaan dan Maha Keperkasaan Ilahi.

Dan Dia jadikan bulan, pada semuanya bercahaya-cahaya dan matahari sebagai pelita?”. (Ayat 16). Menurut keterangan ahli-ahli, bulan itu sendiri tidaklah memancarkan cahaya sendirian. Bulan itu pada asalnya adalah gelap. Oleh karena pantulan sinar matahari barulah bulan nampak seakan-akan memantulkan cahaya. Laksana rumah beratap seng di tepi bukit yang jauh kelihatan di tengah hari memancarkan sinar. Padahal itu bukan sinar atap rumah itu melainkan sinar matahari yang memantul kepadanya. Begitulah kononnya bulan.

Al-Qur’ān bukanlah Kitab “Ilmu Alam” hasil penyelidikan manusia, melainkan wahyu menyuruh manusia memperhatikan alam keliling untuk menambah keyakinan dan imannya kepada Tuhan, maka dalam ayat ini tidaklah diterangkan secara terperinci bahwa bulan itu tidaklah memancarkan cahaya sendiri, melainkan mengeluarkan sebagai kilatan dari pantulan cahaya matahari. Dikatakan dalam ayat ini bahwa bulan itu bercahaya pada semulanya, yaitu semua langit; yaitu cahaya matahari yang memantul ke atas permukaannya.

Setelah Tuhan menerangkan langit yang tujuh susun, difirmankan-Nya pula bahwa Tuhan bercahaya fī hinna, artinya pada semuanya. Pada semua langit yang tujuh susun itu. Ungkapkan inipun mengambil kesadaran dan perhatian dari manusia yang menengadah langit. Mereka tidaklah melihat dan menyaksikan langit hijau karena jauh dan tidak kelihatan di mana ujung penglihatan. Yang kelihatan oleh manusia hanyalah bahwa bila hari terang bulan seluruh langit yang kelihatan olehnya terpengaruh juga oleh cahaya bulan itu. Bintang-bintang tidak semua kelihatan. Sebab cahayanya telah dipudarkan oleh cahaya bulan, sehingga seakan-akan seluruh langitlah yang diliputi oleh keindahan dan kemesraan cahaya bulan.

Kemudian apakah maksudnya “Matahari sebagai pelita?”. Bukankah cahaya pelita tidak seterang cahaya bulan? Padahal dikatakan bahwa cahaya bulan adalah pantulan cahaya Matahari?

Yang dimaksud dengan matahari sebagai pelita, bukan dari segi cahayanya. Melainkan dari segi dirinya sendiri. Bukankah pelita memancarkan sinar dari dalam dirinya sendiri, karena minyak masih ada, cahayanya pun masih keluar. Demikianlah matahari; sinar atau cahayanya datang dari dalam dirinya, sebab dzat pembakar yang ada dalam tubuh matahari itu tidak kering-kering, tidak habis-habis dan tidak didatangkan dari luar. Sungguh matahari adalah salah satu di antara beribu-ribu ke‘ajaiban ketentuan Ilahi yang sangat menakjubkan manusia yang suka berfikir.

Dan Allah telah menumbuhkan kamu dari bumi sebenar-benar tumbuh”. (Ayat 17). Inilah susun kata yang elok sekali dari Tuhan mengisyaratkan asal-usul kejadian manusia dari tanah.

Cobalah renungkan; Kalau kita katakan bahwa kita manusia berasal dari mani, bukankah mani itu saringan dari darah? Bukankah dari darah itu saringan dari makanan? Bukankah makan yang kita makan itu seluruhnya adalah hasil dari muka bumi? Baik tumbuh-tumbuhannya, ataupun buah-buahan, atau daging, ataupun ikan di laut, ataupun daging burung yang terbang di udara? Darimana itu semua kalau bukan dari bumi? Maka jelaslah bahwa seluruh bahagian diri kita ini adalah “tumbuh” dari bumi? Cobalah fikirkan baik-baik, adakah pangkal hidup manusia yang didatangkan dari luar bumi? Tidak ada!

Di muka bumi itu sejak dari lahir ke dunia sampai pandai berjalan, dewasa dan sampai mati, kita hidup dari hasil bumi, tegasnya kita tumbuh di bumi. Tumbuh sebenar tumbuh, tumbuh sempurna tumbuh.

Kemudian itu akan dikembalikan-Nya kamu ke dalamnya”. (Pangkal ayat 18). Yaitu jika sampai ajal kitapun mati. Dikembalikanlah badan yang telah jadi mayat itu ke dalam bumi. Walaupun mati dan dilemparkan ke laut, namun laut itu pun bumi juga. Atau mati terbakar jadi abu; abu itupun sudah nyata jadi bumi kembali. “Dan akan dikeluarkan-Nya kamu sebenarnya keluar.”. (Ujung ayat 18).

Ujung ayat ini sudah termasuk ke dalam hal-ihwal yang wajib kita percayai. Artinya bahwa dari dalam bumi itu akan dibangkitkan kita kembali; akan dihidupkan kembali di dalam suatu ‘alam yang telah bertukar bentuknya dan hidup yang sudah berlain coraknya.

Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan.”. (Ayat 19). Laksana bumi itu dihamparkan tempat kita hidup, tempat kita mencari rezeki dan disediakan segala perlengkapan hidup; makanan, minuman, pakaian, kediaman. Batu dan bata, pekayuan untuk rumah tangga, besi untuk pasak tiang, belatuh, beliung, pepatil, pahat, gergaji dan ketam. Cangkul dan sekap dan lain-lain; semuanya perlengkapan dari bumi yang telah dihamparkan itu. Digenangkan laut untuk dilayari, dipancangkan gunung untuk pasak bumi, dialirkan sungai untuk persediaan bersawah berladang:

Dan Kami jadikan untuk kamu apa yang di atas bumi ini semuanya.” Asal pandai mempergunakan saja.

Supaya kamu lalui padanya jalan-jalan yang jauh-jauh” (Ayat 20). Di muka bumi yang terbentang dan terhampar itu manusia membuat jalan, untuk berhubungan di antara satu daerah dengan daerah yang lain. Gunung menghambat, gunungpun didaki. Lurah membentan, lurahpun diterjuni. Sungai mengalir, sungaipun dilayari, sehingga sampai jalan yang jauh-jauh, padang sahara yang luas-luas, rimba belukar yang lebat-lebat. Akal kecerdikan manusia menyebabkan semua dapat ditembus.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *