Suratu Nuh 71 – Permohonan Nabi Nuh Kepada Tuhan ~ Tafsir al-Azhar (5/5)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Suratu Nuh 71 ~ Tafsir al-Azhar

V

وَ قَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِيْنَ دَيَّارًا. إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوْا عِبَادَكَ وَ لَا يَلِدُوْا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا. رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَ لِوَالِدَيَّ وَ لِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ وَ لَا تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلَّا تَبَارًا.

71: 26. Dan berkata Nūḥ: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan di atas bumi, untuk orang yang kafir itu, suatu tempat tinggal pun.

71: 27. Sesungguhnya Engkau, jika Engkau biarkan mereka terus, niscaya akan mereka sesatkan hamba-hamba Engkau dan tidaklah mereka akan menurunkan anak-anak, kecuali orang-orang durhaka lagi kafir.

71: 28. Ya Tuhanku! Ampunilah untukku dan kedua ayah-bundaku dan untuk orang yang masuk ke dalam rumahku dalam keadaan beriman dan orang-orang yang percaya, laki-laki dan perempuan; dan janganlah Engkau tambahkan untuk orang-orang yang aniaya itu selain kebinasaan”.

 

***

Dan berkata Nūḥ: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan di atas bumi, untuk orang yang kafir itu, suatu tempat tinggal pun.” (Ayat 26). Dari karena sangat kecewa Nabi Nūḥ a.s. melihat kedurhakaan kaumnya di waktu itu, beliau memohonkan kepada Allah agar mereka musnah semua, jangan seorangpun tinggal hidup. Karena hiduppun mereka tidak ada akan gunanya. Ada juga diberi arti “Dayyārā” itu ialah orang yang tinggal. Bukan rumah tempat tinggal, melainkan orang yang tinggal. Sebab ahli tafsir as-Suddī memberi dayyāran itu ialah penghuni rumah; dengan demikian segala manusia yang tidak beriman, biarlah habis musnah semuanya. Permohonan beliau dikabulkan Tuhan, sehingga putra beliau sendiri, karena tidak mau beriman telah termasuk orang yang tenggelam juga.

Sebabnya maka sampai demikian permohonan Nabi Nūḥ disebutkan pada ayat yang berikutnya: “Sesungguhnya Engkau, jika Engkau biarkan mereka terus”, (Pangkal ayat 27), artinya jika tidak dijatuhkan kepada mereka hukum yang setimpal, hingga ada di antara kafir itu di waktu itu yang masih tinggal hidup, “niscaya akan mereka sesatkan hamba-hamba Engkau,” sebab tidak ada hukuman, mereka tidak juga akan merasa bersalah dan orang lain yang akan datang di belakang merekapun akan meniru contoh teladan yang sangat buruk itu; “Dan tidaklah mereka akan menurunkan anak-anak, kecuali orang-orang durhaka lagi kafir.” (Ujung ayat 27). Kalau mereka masih tinggal hidup, hukuman tidak ada, mereka masih akan tetap merasa tidak bersalah apa-apa dan tidak ada seorang utusan Allah di belakang hari yang akan diacuhkan orang. Anak-anak keturunanpun akan mencemooh dan kebenaran tidak akan kelihatan kemenangannya.

Permohonan itu dikabulkan Tuhan dan memang, meskipun habis musnah kaum Nabi Nūḥ itu dan manusia yang datang di belakang hari adalah keturunan daripada orang-orang yang beriman kepada Nabi Nūḥ yang turut ikut serta di dalam bahtera besar itu, namun ummat-ummat manusia yang datang di belakang, meskipun tidak semuanya juga yang mau beriman, namun yang mengikut Nabi telah ada pegangan yang akan dijadikan keyakinan, bahkan sampai kepada masa kita sekarang ini. Sebab telah kita saksikan bahwa adzab siksa Allah atas kedurhakaan itu macam-macam saja corak ragamnya. Seumpama kedurhakaan manusia dalam Abad Keduapuluh ini; Adakah datang adzab Tuhan?

Fikirkanlah dengan seksama, bukanlah adzab siksa Tuhan namanya jika manusia di dalam kemajuan ilmu pengetahuannya bukan kebahagiaan yang mereka dapati, melainkan kesengsaraan hidup dan kehilangan kepercayaan di antara satu bangsa dengan lain bangsa? Bukankah adzab namanya kalau baru setengah Abad saja, abad keduapuluh ini telah dua kali terjadi peperangan yang amat dahsyat, berjuta orang yang mati, sehingga mungkin lebih banyak daripada orang yang tenggelam di thaufan Nabi Nūḥ?

Kemudian itu berdoalah Nabi Nūḥ:

Ya Tuhanku! Ampunilah untukku” (Pangkal ayat 28), karena Engkaulah Yang Tahu dan aku tidak tahu, mungkin asal juga kealpaanku dalam tugasku yang amat berat ini dan ampuni jua “dan kedua ayah-bundaku” yang telah mengandung aku, mengasuhku dan memelihara sampai aku dewasa dan sampai akhirnya aku menerima tugas Engkau ini. “Dan untuk orang yang masuk ke dalam rumahku dalam keadaan beriman”. Beliau khususkan orang yang masuk ke dalam rumah beliau dengan beriman, ialah karena di kala hidupnya ada juga yang masuk ke rumahnya, tetapi tidak dengan Iman, hanya dengan benci. “Dan bagi tiap-tiap orang yang beriman, laki-laki dan perempuan”, bila saja, di mana saja untuk masa-masa yang akan datang; hingga termasuklah kita anak cucu beliau yang datang beribu tahunpun setelah beliau kembali ke hadirat Allah; “Dan janganlah Engkau tambahkan untuk orang-orang yang aniaya itu selain kebinasaan”. (Ujung ayat 28).

Ada beberapa tafsir tentang doa-doa Nabi Nūḥ a.s. ini.

Timbul pertanyaan, mengapa Nūḥ memohon kepada Allah agar orang-orang yang telah nyata-nyata kafir itu jangan ada yang dibiarkan hidup lagi, agar semuanya saja dimusnahkan. Mengapa Nūḥ mengatakan kalau Allah biarkan saja mereka, niscaya mereka akan membuat sesat hamba-hamba Allah dan kalau mereka beranak pinak, berteturunan, namun keturunan itupun akan jadi orang-orang kafir jua.

Sebabnya ialah dua perkara. Pertama Tuhan sendiri telah memberi peringatan kepadanya, sebagai tersebut dalam Surat ke-11, Surat Hūd ayat ke-36:

وَ أُوْحِيَ إِلَى نُوْحٍ أَنَّهُ لَنْ يُؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ إِلَّا مَنْ قَدْ آمَنَ فَلَا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ.

Dan telah diwahyukan kepada Nūḥ bahwasanya tidak akan ada lagi yang beriman daripada kaum engkau itu, melainkan yang telah beriman juga.”

Tegasnya tidak akan ada tambahan lagi. Maka itulah yang dimohonkan oleh Nūḥ kepada Tuhan, agar kaumnya yang tidak akan diharap beriman lagi itu supaya dimusnahkan saja. Karena kalau mereka diberi juga kesempatan, penyakitnya akan mereka pindahkan pula kepada hamba Allah yang lain-lain, dan kalau mereka beranak, maka kepada anak-anak itupun akan mereka pusakakan pula kepercayaan mereka yang kafir itu.

Kedua ialah dari pengalaman sendiri dalam kehidupan yang begitu lama. Dia sendiripun sudah tahu dan sudah mengalami bahwa orang-orang semacam ini tiada diharap akan sembuh lagi. Obatnya hanya satu, yaitu binasakan mereka, agar jangan jadi teladan yang buruk kepada yang lain.

Tentang Nabi Nūḥ berdoa agar dirinya diberi ampun oleh Tuhan, bukanlah lantaran beliau pernah melakukan dosa besar. Nabi-nabi yang begitu dekat dirinya kepada Tuhan, tidaklah lantas mabuk dengan kebesarannya. Nabi-nabi dan rasūl-rasūl selalu tawadhu‘, merendahkan diri kepada Tuhan. Apabila suatu usaha telah berhasil seorang nabi atau rasūl meminta ampun kepada Tuhan. Ibrāhīm memohon ampun untuk dirinya dan untuk ayah-bundanya sampai hari kiamat kelak (Surat ke-14, Ibrāhīm, ayat 41), Nabi Mūsā memohon ampun untuk dirinya dan untuk saudaranya Nabi Hārūn, padahal si Sāmirī yang bersalah mengajak orang menyembah berhala anak sapi. Nabi Sulaimān di dalam memohon agar diberi suatu Kerajaan Besar yang tidak akan tercapai oleh orang lain sesudahnya, terlebih dahulu meminta ampun. Malahan Nabi Muḥammad s.a.w. memohon ampun kepada Allah sampai 70 kali sehari. Orang yang berjiwa kotor ialah yang enggan meminta ampun.

Disebutkan juga dalam tafsir-tafsir tentang Nabi Nūḥ memohonkan ampun untuk kedua ibu-bapaknya itu. Timbul pertanyaan: “Apakah ayah-bundanya beriman kepada Allah? Kalau tidak, mengapa Nūḥ memohonkan ampun bagi mereka. Ahli-ahli tafsir menjawab, bahwa ayah Nūḥ ialah Lamak bin Mattusyalakh dan ibunya Syamkhāk binti Ānusy, keduanya adalah orang-orang beriman kepada Allah. Malahan Imām Tābi‘īn yang terkenal, yaitu ‘Athā’ berkata bahwa jarak di antara Nūḥ dengan Ādam adalah sepuluh bapak, dan tidak ada di antara yang sepuluh itu tidak beriman.

Tentang beliau mendoakan dan mengutamakan orang yang masuk ke dalam rumah beliau dalam keadaan beriman, dan juga selisih tafsiran. Karena ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “rumahku” ialah masjidku. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “rumahku” ialah bahtera yang berlayar dengan perahuku. Hal itu tidak berlawan; karena yang akan masuk ke dalam bahteranya niscayalah orang-orang yang telah biasa juga datang ke rumahnya menyatakan iman. Kalau tidak, tidaklah mereka akan beliau bawa masuk bahtera. Adapun doa beliau untuk seluruh orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, memang meratalah itu buat seluruh orang yang beriman kepada Tuhan di setiap masa, baik yang sebelum beliau atau yang sesudahnya kelak.

Kemudian itu setelah beliau di penutup doanya memohonkan agar kaum yang zhalim tidak mau menerima kebenaran itu agar diturunkan Kebinasaan dengan anak-anak kecil di bawah umur?”

Karena tentu banyak anak kecil yang turut binasa, turut tenggelam. Bagaimana dengan anak-anak yang belum dewasa itu? Belum mukallaf?

Ada ahli tafsir membuat “jalan keluar” dengan mengatakan bahwa sejak 40 tahun sebelum topan dan airbah besar itu, perempuan-perempuan telah dimandulkan sehingga tidak ada yang beranak lagi. Sehingga ketika ditenggelamkan tidak seorangpun terdapat anak kecil.

Tetapi tafsir ini berlawanan dengan sebuah hadits riwayatkan Ibnu Abī Ḥātim dengan sanadnya dari Ibnu ‘Abbās, demikian bunyinya:

لَوْ رَحِمَ اللهُ مِنْ قَوْمِ نُوْحٍ أَحَدًا لَرَحِمَ امْرَأَةً لَمَّا رَأَتِ الْمَاءَ حَمَلَتْ وَلَدَهَا ثُمَّ صَعِدَتِ الْجَبَلَ. فَلَمَّا بَلَغَهَا الْمَاءُ صَعِدَتْ بِهِ مُنْكِبَهَا. فَلَمَّا بَلَغَ الْمَاءُ مُنْكِبَهَا وَضَعَتْ وَلَدَهَا عَلَى رَأْسِهَا فَلَمَّا الْمَاءُ رَأْسَهَا رَفَعَتْ وَلَدَهَا بِيَدِهَا. فَلَوْ رَحِمَ اللهُ مِنْهُمْ أَحَدًا لَرَحِمَ هذِهِ الْمَرْأَةَ.

(رواه ابن أبي حاتم عن ابن عباس، حديث غريب و رجال ثقات)

Kalau ada kaum Nūḥ itu yang dikasihani Allah niscaya dikasihaninyalah seorang perempuan, yang seketika dilihatnya air telah naik segera digendongnya anaknya, lalu dia naik ke bukit. Setelah air sampai juga ke bukit, dinaikkannya anaknya ke atas pundaknya. Setelah air sampai ke pundaknya, dijunjungnya anaknya ke atas kepalanya. Setelah air sampai ke kepalanya, diangkatnya anaknya tinggi-tinggi. Kalau Tuhan hendak kasihan, niscaya diselamatkan-Nya perempuan itu.

Namun perempuan itu tidak juga selamat.

Maka yang lebih tepat adalah penafsiran dari al-Ḥasan al-Bishrī. Beliau mengatakan: “Tuhan lebih tahu bahwa kanak-kanak tidaklah bersalah. Merekapun turut binasa, tetapi untuk mereka tidaklah ada adzab dan siksaan.

Pendapat yang lain yang disalinkan oleh ar-Rāzī: “Anak-anak itu turut terbawa rendong mati tenggelam, namun untuk diri mereka tidaklah ada adzab. Bahkan bagi mereka adalah termasuk syahid. Sebab orang yang mati tenggelam termasuk mati syahid. Apatah lagi mereka anak-anak yang belum mukallaf. Tetapi bagi orang-orang tuanya adalah termasuk tambahan adzab siksaan juga. Sebab bapak-bapak dan ibu-ibu mereka menyaksikan sendiri anak-anak mereka itu mati tenggelam atau berusaha hendak melepaskan diri dari kepungan air, tidak seorang juapun yang dapat menolong. Ayah bundanya hanya melihat dengan sedih dan jauh.

Selesai Tafsir Surat Nūḥ; al-Ḥamdulillāh.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *