Suratu Nuh 71 – Keluhan Nabi Nuh Kepada Tuhan ~ Tafsir al-Azhar (2/5)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Suratu Nuh 71 ~ Tafsir al-Azhar

II

 

قَالَ رَبِّ إِنِّيْ دَعَوْتُ قَوْمِيْ لَيْلاً وَ نَهَارًا. فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِيْ إِلَّا فِرَارًا. وَ إِنِّيْ كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوْا أَصَابِعَهُمْ فِيْ آذَانِهِمْ وَ اسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَ أَصَرُّوْا وَ اسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا. ثُمَّ إِنِّيْ دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا. ثُمَّ إِنِّيْ أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَ أَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا. فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًا. وَ يُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَ بَنِيْنَ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ أَنْهَارًا.

71: 5. Dia berkata: “Ya Tuhanku! Sungguh telah aku seru kaumku itu malam dan siang.

71: 6. Maka tidaklah menambah seruanku itu kepada mereka melainkan lari jua.

71: 7. Dan sesungguhnya aku, tiap-tiap aku seru mereka agar Engkau ampuni mereka, mereka memasukkan jari mereka ke dalam telinga mereka dan mereka perselubung kain mereka dan mereka tetap bersikeras dan menyombong sebenar sombong.

71: 8. Kemudian itu, sungguh-sungguh telah aku seru mereka secara berterus-terang.

71: 9. Kemudian itu sungguh telah aku jelaskan secara terang, pun aku sampaikan secara diam-diam sebenar-benar rahasia.

71: 10. Lalu aku katakan: “Mohonlah ampunan kepada Tuhan kamu! sesungguhnya Tuhan itu adalah sangat sudi memberi ampun.”

71: 11. Niscaya akan Dia kirim hujan lebat kepada kamu dari langit.

71: 12. Dan akan dibantu-Nya kamu dengan harta-benda dan anak turunan, dan Dia jadikan untuk kamu kebun-kebun, dan akan Dia jadikan untuk kamu sungai-sungai.

KELUHAN NABI NŪḤ KEPADA TUHAN

Dia berkata: “Ya Tuhanku! Sungguh telah aku seru kaumku itu malam dan siang.”. (Ayat 5). Dalam ayat ini dan ayat-ayat yang selanjutnya Nabi Nūḥ a.s. telah menyampaikan keluhan kepada Tuhan. Dia telah bersusah-payah melakukan tugas DA‘WAH, atau seruan dan ajakan, menarik supaya kaumnya itu kembali kepada jalan yang benar. Dalam ayat ini telah dikatakannya bahwa Da‘wah itu telah dilakukannya malam dan siang, tidak berhenti, tidak pernah merasa bosan.

Maka tidaklah menambah seruanku itu kepada mereka melainkan lari jua”. (Ayat 6). Malam telah aku temui mereka dan aku beri da‘wah. Siang telah aku hubungi mereka dan aku sampaikan seruan. Namun mereka, jangankan mendekat, malahan mereka bertambah lari, bertambah menjauh.

Dan sesungguhnya aku, tiap-tiap aku seru mereka agar Engkau ampuni mereka”. (Pangkal ayat 7). Maksud awal keluhan Nūḥ ini sejalan dengan ayat 4 di atas tadi. Yaitu apabila mereka sambut seruan yang disampaikan Rasūl Allah, pastilah dosa-dosa mereka diampuni. Da‘wah semacam inilah yang bernama BASYĪR, yaitu peringatan yang berisi berita gembira, sebagai timbalan dari NADZĪR; yaitu peringatan yang berisi ancaman. Kalau tidak diacuhkan seruan itu, hukuman beratlah yang akan diterima. Sebab itu maka Nabi Nūḥ menekan dalam permulaan da‘wahnya, bahwa beliau menyeru kaumnya ialah agar beramai-ramai datang kepadanya menyatakan percaya kepada Allah, ber‘ibadat dan bertaqwa. Dengan demikian ampunan atas segala dosa akan dianugerahkan oleh Allah.

Tetapi bagaimana sambutan mereka?

Nabi Nūḥ melanjutkan keluhannya: “mereka memasukkan jari mereka ke dalam telinga mereka”. Artinya mereka tidak mau mendengarkan, tidak mau mengacuhkan dan tidak mau perduli, malahan mereka sumbat telinga tanda enggan; “dan mereka perselubung kain mereka”. Inipun satu ungkapan yang menyatakan lebih lagi dari semata-mata menyumbat telinga, malahan ditambahi dengan berselubung kain. Karena dengan berselubung kain, seakan-akan menggambarkan bahwa mereka tidak mau melihat orang yang menyampaikan seruan dan tidak mau pula dilihat! Untuk mendekatkan ungkapan ini ke dalam pengertian kita ingatlah orang yang menutup muka karena ingin tidak dilihat orang. Misalnya orang yang buang air besar di dekat jalan raya. Ditutupnya mukanya karena dengan menutup muka itu dia merasa bahwa tidak ada orang yang melihatnya lagi! “dan menyombong sebenar sombong”. (Ujung ayat 7).

Bersikeras dan menyombong sebenar sombong inilah puncak dari tiga tingkat kesombongan. Dalam ayat ini terbayanglah jiwa yang ditimpa oleh penyakit rasa rendah diri yang telah melonjak. Mau memegang teguh pendirian sendiri dan tidak mau menerima keterangan orang lain. Tidak mau lagi mempertimbangkan benar atau salahnya orang yang menyampaikan seruan (da‘wah) itu. Dalam masyarakat kita sekarang banyak terdapat orang mempertahankan pendirian, dengan tidak mau bergaul dengan orang lain, menyombong dengan golongan sendiri. Kemudian melarang kawan-kawannya sendiri jangan mendekat kepada orang yang membawa seruan pembaharuan. Karena orang-orang amat pintar “ngomong”. Kalau kamu tidak hati-hati, kamu akan tertarik kepadanya, karena dia mempunyai sihir atau “hipnotisme” yang dapat mempengaruhi orang. Akhirnya mereka menyisihkan diri dan tidak mau mencampur kepada orang lain.

Kemudian itu, sungguh-sungguh telah aku seru mereka secara berterus-terang”. (Ayat 8). Tidak ada tedeng aling-aling, yang mudharat dan yang manfa‘at, yang berbahagia dan yang berbahaya. Semua aku sampaikan dengan berterus-terang. “Kemudian itu, sungguh-sungguh telah aku jelaskan secara berterus-terang” (Pangkal ayat 9)., tidak sembunyi-sembunyi, tidak berbisik-bisik, malahan di muka masyarakat ramai, di muka orang banyak, sehingga tidak sedikitpun ada yang sembunyi; “pun aku sampaikan secara diam-diam sebenar-benar rahasia”. (Ujung ayat 9).

Artinya, sebagai seorang penda‘wah yang besar dan berpengalaman, Nabi Nūḥ telah melakukan tegas dengan berbagai macam cara. Ada da‘wah secara berterus-terang, tidak ada kata yang tersembunyi. Ada da‘wah di muka ramai kepada orang banyak, diketahui oleh semua orang. Dan ada pula yang beliau lakukan secara bisik-bisik, secara rahasia, supaya terasa lebih sungguh-sungguh, lebih mendalam. Yang kadang-kadang disebut “Kursus lima menit”, sebentar aja, empat mata, sangat penting! – Itupun dicobakan oleh Nabi Nūḥ yang “lama hidup banyak dirasai, jauh berjalan banyak dilihat”, artinya sudah kenyang dengan pengalaman.

Lalu aku katakan: “Mohonlah ampunan kepada Tuhan kamu! sesungguhnya Tuhan itu adalah sangat sudi memberi ampun.””. (Ayat 10).

Sebab apabila Tuhan telah memberi ampun segala pekerjaan jadi mudah, dada sendiripun jadi lapang dan perjalanan hidup menjadi terang-benderang. Ampunan Tuhan adalah cahaya hidup. Sebagai salah satu kelanjutan dari ampunan Tuhan ialah kemakmuran dan kesuburan; “Niscaya Dia kirim kepada kamu hujan lebat dari langit”. (Ayat 11).

Hujan lebat membawa banyak kesan bagi kehidupan. Karena dari air segala sesuatu jadi hidup dan subur. Udara yang nyaman karena hujanpun memberi bekas yang besar sekali bagi menyelesaikan fikiran dan membuka pintu rezeki; “Dan akan dibantu-Nya kamu dengan harta-benda”. (Pangkal ayat 12). Yaitu kekayaan yang akan berlipat-ganda karena kesuburan dan fikiran yang terbuka, ilham Ilahi yang tidak berkeputusan. Karena perut yang kenyang menimbulkan fikiran-fikiran yang segar. “Dan anak turunan.”

Karena belumlah lengkap kebanggaan karena harta-benda walaupun berlimpah-limpah kalau orang tidak mempunyai “banīn”, aritnya anak, cucu dan cicit, keturunan sambung-bersambung. Maka anak-anak keturunan itupun diberi kesuburan oleh Tuhan bagi seseorang yang telah bertaubat dan memohon ampun kepada Tuhannya. “dan Dia jadikan untuk kamu kebun-kebun”, sawah ladang yang akan mengeluarkan hasil yang menggembirakan; “dan akan Dia jadikan untuk kamu sungai-sungai”. (Ujung ayat 12). Sebab sungai-sungai itu dapat saja dialirkan kepada kebun sawah, ladang dan huma untuk membuatnya jadi subur. Pendeknya, dibayangkanlah di sini, untuk jadi i‘tibar bagi setiap orang di setiap masa bahwasanya ta‘at kepada Allah tidaklah akan membuat orang jadi miskin. Bahkan taqwa kepada Allah itulah yang akan membukan pintu rezeki dari tempat-tempat yang di luar dari perhitungan manusia, sebagaimana tersebut di dalam Surat ke-65, ath-Thalaq ayat 3, bahwa barang siapa yang bertaqwa kepada Allah akan diberi kepadanya jalan keluar dan akan diberi dia rezeki dari sekira-kira sumber yang tidak dikira-kirakan dari semula dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, Allah-lah yang akan menjadi penjaminnya.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *