Surat ke-94, 8 Ayat
Diturunkan di Makkah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ. وَ وَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ. الَّذِيْ أَنْقَضَ ظَهْرَكَ. وَ رَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ.
094:1. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?
094:2. Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu,
094:3. yang memberatkan punggungmu?
094:4. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.
“Bukankah telah Kami lapangkan untukmu dadamu?” (ayat 1). Tegas artinya ialah: Bukankah dadamu telah kami lapangangkan? Yang tadinya sempit karena susah atau dukacita, atau sempit karena belum banyak diketahui jalan yang akan ditempuh, sehingga dengan Allah melapangkan dada itu, timbullah kebijaksanaan dan timbullah hukum dan pertimbangan yang adil. Bukankah dengan petunjuk Kami dadamu telah lapang menghadap segala kesulitan?
Dalam ungkapan bahasa kita sendiri pun telah terkenal dipakai kata-kata “lapang”, dan “sempit dada” sebagai ungkapan fikiran yang sempit.
“Dan telah Kami lepaskan daripadamu beban beratmu?” (ayat 2). “Yang telah menekan punggungmu?” (ayat 3).
Berbagai tafsir telah saya baca tentang arti wizraka di sini. Beberapa ahli tafsir mengatakan: Beban berat ialah tekanan dosa yang menimpa perasaan Nabi s.a.w.. Al-Qurthubī dalam tafsirnya menguatkan bahwa arti wizraka di sini ialah dosa-dosa. Dan itu adalah dosa-dosa zaman jahiliyah, meskipun di zaman jahiliyah itu beliau tidak pernah menyembah berhala. Tetapi satu tafsir menarik hati kita dan cocok dengan perasaan kita ialah yang diriwayatkan dari ‘Abd-ul-‘Azīz bin Yaḥyā dan Abū ‘Ubaidah: “Dan Kami telah lepaskan daripadamu beban beratmu,” ialah tanggungjawab nubuwwat. Sebab menjadi Nabi dan Rasūl adalah satu beban berat. Itulah telah dibuat ringan oleh Allah sehingga tidak berat memikulnya lagi.”
Ibnu ‘Arafah pun menafsirkan secara demikian: “Beban berat yang membuat tulang punggung jadi bungkuk memikulnya. Mengadakan seruan da‘wah kepada kaumnya, padahal sedikit sekali yang mau mengacuhkan katanya. Dan “as–sābiqūn–al–awwalun”, atau orang-orang yang mula-mula masuk itu umumnya ialah golongan-golongan lemah. Sedang di seluruh Tanah ‘Arab faham musyrik yang lebih berkuasa, kesesatan lebih berpengaruh dan kekuatan ada pada tangan mereka.” Ini semuanya adalah suatu pikulan yang amat berat, laksana dapat mematahkan tulang punggung.
“Dan telah Kami tinggikan bagimu sebutan kamu.” (ayat 4). Meskipun demikian beratnya beban nubuwwat yang laksana membuat tulang punggung jadi bungkuk, namun sebutanmu Kami naikkan. Namamu Kami junjung tinggi. Mujāhid menafsirkan: “Tidaklah disebut orang nama-Ku, namun namamu turut disebutkan bersama nama-Ku.”
Menurut riwayat yang dirawikan oleh Abū Dhaḥḥāk dari Ibnu ‘Abbās, berkata beliau: “Bila disebut orang nama-Ku, namamu pun turut disebut dalam adzan (bang), dalam iqamat, dalam syahadat. Di hari Jum‘at di atas mimbar, di Hari Raya ‘Īd-ul-Fithri, di Hari Raya ‘Īd-ul-Adhḥā, di Hari Tasyriq di Mīnā, di hari wuqūf di ‘Arafah, di hari melontar jumrah ketiganya, di antara bukit Shafā dan Marwah, bahkan sampai kepada khutbah nikah, namun namamu disejejerkan menyebutkannya dengan nama-Ku, sampai ke Timur, sampai ke Barat. Malahan jika adalah seseorang menyembah beribadat kepada Allah yang Maha Kuasa, seraya mengakui akan adanya syurga dan neraka, dan segala yang patut diakui, padahal tidak dia akui bahwa engkau Rasūlullāh, tidaklah ada manfaatnya segala pengakuannya itu, malahan dia masih kafir.” Demikian satu tafsir Ibnu ‘Abbās.
Dan lebih tepat lagi tafsir Imām asy-Syāfi‘ī. Beliau berkata: Artinya ialah: “Tidak menyebut nama-Ku, melainkan mesti diiringi dengan namamu. Kalau orang mengucapkan Asyhadu allā Ilāha Illallāh, barulah sah setelah diiringkan dengan Wa Asyhadu anna Muḥammadar Rasūlullāh.”
Kata Imām Syāfi‘ī lagi: “Ucapan syahadat yang seiring dua itu adalah alamat Iman, dan ucapan seiring pada adzan adalah panggilan ibadat. Diseiringkan pula ketika membaca al-Qur’ān dan segala amal shalih dan taat, dan ketika berhenti dari maksiat.” Kata beliau seterusnya: “Apa saja pun nikmat yang menyentuh kita, baik lahir ataupun batin. Atau nasib baik yang kita capai, baik dunia atau akhirat, atau kita terhindar bencana dosa yang kita benci, di dunia dan akhirat, atau di salah satu keduanya, pastilah Muḥammad yang menjadi sebabnya.
Dari itu dapatlah diketahui bahwa meskipun pada lahirnya sebutan itu terbatas, namun dia pun mengandung jika dzikr-qalbi (ingatan dalam hati), sehingga meliputi segala lapangan ibadat dan ketaatan. Seorang yang berakal lagi beriman, apabila dia mengingat Allah, akan senantiasa teringat pula dia kepada orang yang memperkenalkan Allah itu kepadanya dan siapa yang menunjukkan jalan bagaimana cara mentaati perintah Allah itu. Itulah Rasūl Allāh shalallāhu ‘alaihi wa sallama. Sebagai dikatakan orang:
فَأَنْتَ بَابُ اللهِ، أَيُّ امْرِئٍ | أَتَاهُ مِنْ غَيْرِكَ لَا يَدْخُلُ. |
Engkau adalah laksana pintu untuk menuju Allah; siapa saja yang hendak datang kepada-Nya tidaklah dapat masuk kalau tidak melalui gerbangmu.
Demikianlah tafsir dari al-Imām asy-Syāfi’ī r.a.
Dan boleh juga engkau katakan. “Yang dimaksud dengan meninggikan sebutannya itu ialah selalu memuliakannya dan menyebut namanya pada sekalian syi’ar-syi’ar agama yang lahir. Yang pertama sekali ialah kalimat syahadat, sebagai pokok pertama dari agama. Kemudian itu pada azan dan iqamat dan sembahyang dan khutbah dan sebagainya.” Itulah tafsir dari asy-Syihab.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ. وَ إِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
094:5. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
094:6. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
094:7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
094:8. dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
“Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (ayat 5). Ini adalah Sunnatullāh! Nabi Muḥammad merasa berat beban itu sampai seakan-akan hendak patah tulang punggung memikulnya. Namun di samping beratnya beban, atau beserta dengan beratnya beban, namanya diangkat Tuhan ke atas, sebutannya dimuliakan! Karena demikianlah rupanya Sunnatullāh itu; kesulitan selalu beserta kemudahan. Yang sulit saja tidak ada! Yang mudah saja pun tidak ada! Dalam susah berisi senang, dalam senang berisi susah; itulah perjuangan hidup. Dan ini dapat diyakinkan oleh orang-orang yang telah mengalami.
Penulis tafsir ini sendiri mendapat pengalaman besar sekali untuk meresapkan intisari ayat ini seketika ditahan dua tahun empat bulan dengan secara kezaliman dan sewenang-wenang. Itu adalah kesulitan!
Kalau saya bawa bermenung saja kesulitan dan perampasan kemerdekaanku itu, maulah rasanya diri ini gila. Tetapi akal terus berjalan; maka ilham Allah pun datang. Cepat-cepat saya baca al-Qur’ān, sehingga pada 5 hari penahanan yang pertama saja, 3 kali al-Qur’ān khatam dibaca. Lalu saya atur jam-jam buat membaca dan jam-jam buat mengarang tafsir al-Qur’ān yang saya baca itu. Demikianlah hari berjalan terus dengan tidak mengetahui dan tidak banyak lagi memikirkan bilakah akan keluar. Akhirnya setelah terjadi kekacauan politik gara-gara Komunis pada 30 September 1965 itu di bulan Mei 1966 saya dibebaskan, saya telah selesai pula menulis Tafsir Al-Qur’ān 28 Juzu’. Karena 2 Juzu’ 18 dan 19 telah saya tafsirkan sebelum ditangkap dalam masa dua tahun. Dan kemudian itu pada tahun kelima, ‘Irfān. Lebih dari separuh belanja perjalanan kami bertiga beranak ialah dari hasil honorarium (royalty) Tafsir Al-Azhar Juzu’ 1.
Ada penafsiran bahwa “Sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (Lihat Terjemahan al-Qur’ān Kementrian Agama hal. 1037). Dia mengartikan ma’a dengan ba’da; beserta dengan sesudah.
Memang ada juga dalam al-Qur’ān disebutkan:
سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Kelak Allah akan memberikan kemudahan sesudah kesulitan.”
(Ath-Thalāq: 7)
Ayat ini adalah lebih khusus sifatnya, yaitu memberi harapan kepada suami istri yang dalam kesempitan tekanan-tekanan ekonomi dalam rumahtangga; sesudah sekarang susah, nanti akan mudah. Sesudah kesempitan akan lapang. Buat bujukan berumah-tangga memang ayat inilah yang sesuai. Tetapi buat memimpin perjuangan, sebagai yang dilakukan Nabi kita s.a.w. bukanlah sesudah sulit, nanti akan mudah. Bahkan dalam kesulitan itu sendiri ada kemudahan. Pada mulanya kadang-kadang orang tidak menampakkannya. Namun setelah diperhatikan dengan Iman, jelaslah kelihatan.
Lalu diulang sekali lagi untuk lebih mantap dalam fikiran: “Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.” (ayat 6). Dan itu memang akan terjadi terus, berulang-ulang, kesulitan itu senantiasa disertai kemudahan; dalam susah ada mudahnya, dalam sempit ada lapangnya. Bahaya yang mengancam adalah menjadi sebab akal berjalan, fikiran mencari jalan keluar. Oleh sebab itu dapatlah diyakinkan bahwa kesukaran, kesulitan, kesempitan, marabahaya yang mengancam dan berbagai ragam pengalaman hidup yang pahit, dapat menyebabkan manusia bertambah cerdas menghadapi semuanya itu, yang dengan sendirinya menjadikan manusia itu orang yang dinamis.
Tetapi ini pasti akan tercapai hanya jika Iman di dada dipupuk, jangan lemah iman. Karena lemah iman akan menyebabkan kita terjatuh di tengah jalan sebelum sampai kepada akhir yang dituju, yang akan ternyata kelak bahwa kesulitan adalah kejayaan dan keberuntungan yang tiada taranya. Kadang-kadang sesuatu pengalaman yang pahit menjadi kekayaan jiwa yang tinggi mutunya, jadi kenangan yang amat indah untuk membuat hidup lebih matang. Sehingga datang suatu waktu kita mengucapkan syukur yang setulus-tulusnya dan setinggi-tingginya karena Tuhan telah berkenan mendatangkan kesulitan itu kepada kita pada masa yang lampau.
Itulah suatu keajaiban hidup!
“Maka apabila engkau telah selesai, maka tegaklah.” (ayat 7). Artinya apabila telah selesai suatu pekerjaan atau suatu rencana telah menjadi kenyataan: Fanshab! Artinya bersiaplah buat memulai pekerjaan yang baru. Dengan kesadaran bahwa segala pekerjaan yang telah selesai atau yang akan engkau mulai lagi tidaklah terlepas daripada kesulitan, tapi dalam kesulitan itu kemudahan pun akan turut serta. Ada-ada saja nanti ilham yang akan diberikan Allah kepadamu, asal engkau senantiasa menyandarkan segala pekerjaanmu itu kepada Iman.
Tetapi sekali-kali jangan lupa, yaitu: “Dan hanya kepada Tuhanmu, hendaklah engkau berharap.” (ayat 8).
Inilah satu pedoman hidup yang diberikan Tuhan kepada Rasūl-Nya dan akan dipusakakan oleh Rasul kepada ummatnya, yang tegak berjuang menyambung perjalanan memikul “beban berat” itu menjalankan perintah Tuhan; selesai satu usaha, mulai lagi usaha baru. Tapi Tuhan jangan ditinggalkan! Jangan gentar menghadapi kesukaran, karena dalam kesukaran itu pasti ada kemudahan, asal engkau pergunakan otakmu buat memecahkannya. Sebab Tuhan tidak pernah mengecewakan orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Ada juga difahamkan orang dari hal pertalian ayat 5 dan ayat 6, beserta kesulitan ada kemudahan, bersama kesulitan ada kemudahan. Dan melihat bahwa ‘usri (kesulitan) yang tercantum di ayat 6 adalah terjepit di antara dua yusran, sebab itu maka ‘usri tidaklah akan menang. Akhirnya dia mesti kalah juga. Sebab ‘usrin yang dijepit oleh dua yusran. Ataupun adalah sikap jiwa dari Sayyidinā ‘Umar bin Khaththāb sendiri.
Maka tersebutlah di dalam kitab al-Muwaththa’ Imām Mālik, di dalam Kitab pada menyatakan Jihād, suatu riwayat demikian bunyinya:
عَنْ زَيْدِ ابْنِ أَسْلَمَ قَالَ: كَتَبَ أَبُوْ عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ إِلَى عُمَرِ ابْنِ الْخَطَّابِ يَذْكُرُهُ لَهُ جُمُوْعًا مِنَ الرُّوْمِ وَ مَا يُتَخَوَّفُ مِنْهُمْ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ ابْنُ الْخَطَّابِ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ مَهْمَا يَنْزِلُ بِعَبْدٍ مُؤْمِنٍ مِنْ مُنْزِلٍ شِدَّةٌ يَجْعَلُ اللهُ بَعْدَهُ فَرَجًا، وَ إِنَّهُ لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ.
“Dari Zaid bin Aslam, berkata dia: “Abū ‘Ubaidah bin Jarrah menulis surat kepada ‘Umar bin Khaththāb yang isinya menerangkan bahwa suatu Tentara Rūm yang sangat besar telah siap akan menyerang mereka, kekuatan tentara itu amat mencemaskan.” Surat itu dibalas oleh Saiyidinā ‘Umar bin Khaththāb, di antara isinya: “Amma Ba’du. Bagaimana jua pun kesukaran yang dihadapi oleh orang yang beriman, namun Allah akan melepaskannya jua dari kesukaran itu, karena satu ‘usrin (kesulitan) tidaklah akan dapat mengalahkan dua Yusran.”
Di waktu saya masih kanak-kanak, ipar dan guru saya Ahmad Rasyid Sutan Mansur senantiasa membaca sambil menyanyikan sebuah syi’ir, yang dari kerapnya saya mendengar, saya pun dapat menghapalnya dan menyanyikan pula:
إِذَا اشْتَدَّ بِكَ الْبَلْوَى – فَفَكِّرْ فِيْ أَلَمْ نَشْرَحْ
فَعُسْرٌ بَيْنَ يُسْرَيْنِ – إِذَا فَكَّرْتَهُ تَفْرَحْ
“Apabila bala bencana telah bersangatan menimpamu: Fikirkan segera Sūratu Alam Nasyraḥ; ‘Usrun terjepit di antara dua Yusran, kalau itu telah engkau fikirkan, niscaya engkau akan gembira.”