Suratu ‘Abasa 80 ~ Tafsir Sayyid Quthb (4/4)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Suratu 'Abasa 80 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Manusia tidak dibiarkan dengan sia-sia, lenyap tanpa perhitungan dan pembalasan. Apakah kamu lihat dia telah bersiap sedia untuk menghadapi urusan ini?

Sekali-kali jangan, manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.” (‘Abasa: 23).

Manusia secara umum, dengan personal-personalnya dan gererasinya secara keseluruhan, belum melaksanakan dengan sesungguhnya apa yang diperintahkan Allah kepadanya hingga akhir masa hidup mereka. Isyarat ini menggunakan kata (لَمَّا) “belum”.

Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia ini masih banyak kekurangannya, belum menunaikan kewajibannya, belum mengingat dan menyadari asal-usul dan kejadiannya dengan sebaik-baiknya, serta belum bersyukur kepada Penciptanya, Pemberinya petunjuk, dan Pemberinya jaminan dengan syukur yang sebenar-benarnya. Mereka juga belum melaksanakan perjalanan di muka bumi untuk mencari persiapan guna menghadapi hari perhitungan dan pembalasan. Demikianlah mereka secara umum, dan lebih dari itu banyak sekali di antara mereka yang berpaling, congkak, dan menyombongkan diri terhadap petunjuk!

Memperhatikan Hal-Hal yang Paling Dekat dengan Kehidupan Manusia.

Ayat-ayat berikutnya beralih kepada sentuhan lain dalam segmen yang baru. Di depan disampaikan sentuhan tentang kejadian manusia, maka mengapa tidak memperhatikan kepada makanannya dan makanan ternaknya dalam perjalanan hidupnya di dunia ini? Padahal, semua ini adalah salah satu dari sekian hal yang dimudahkan untuknya oleh Sang Maha Pencipta.

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ. أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا. ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا. فَأَنْبَتْنَا فِيْهَا حَبًّا. وَ عِنَبًا وَ قَضْبًا. وَ زَيْتُوْنًا وَ نَخْلًا. وَ حَدَائِقَ غُلْبًا. وَ فَاكِهَةً وَ أَبًّا. مَّتَاعًا لَّكُمْ وَ لِأَنْعَامِكُمْ.

Hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), lalu Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, kemudian Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” (‘Abasa: 24-32).

Ini adalah cerita umum, diperinci tahap pertahap. Semua ini hendaklah diperhatikan oleh manusia. Apakah ada tangan yang mengaturnya di belakangnya? Apakah semua itu terjadi dengan sendirinya ataukah ada yang mengaturnya? Sesungguhnya tangan yang mengeluarkannya ke pentas kehidupan dan membuat cerita yang bagus untuknya, itu pulalah yang telah mengeluarkan makanannya dan membuat ceritanya.

Hendaklah manusia memperhatikan makanannya.” (‘Abasa: 24).

Makan adalah sesuatu yang paling lekat dan selalu ada pada manusia. Hendaklah ia memperhatikan urusan yang dimudahkan bagi mereka tetapi sangat vital, di depan mata, dan terjadi berulang-ulang. Supaya mereka memperhatikan ceritanya yang menakjubkan tetapi mudah bila dinisbatkan kepada hal-hal yang menakjubkan itu. Ini merupakan suatu mu‘jizat (keluarbiasaan) seperti luar biasanya penciptaan dan kejadian mereka. Setiap langkah dari langkah-langkahnya berada di tangan kekuasaan yang menciptakannya:

Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit)” (‘Abasa: 25).

Pencurahan air dalam bentuk hujan adalah suatu hakikat (kenyataan) yang dapat diketahui setiap manusia dalam semua lingkungan dan apa pun tingkat pengetahuan mereka. Ini adalah suatu hakikat yang dibicarakan kepada setiap manusia. Sedangkan apabila manusia itu mengalami kemajuan dalam pengetahuannya, maka dia akan mengetahui bahwa kandungan yang ditunjuki nash ini lebih jauh dan lebih luas lagi daripada hujan yang biasa terjadi setiap waktu dan dilihat setiap orang itu. Perkiraan paling dekat sekarang untuk menafsirkan keberadaan lautan luas yang airnya menguap kemudian turun kembali dalam bentuk hujan. Atau, perkiraan terdekat bahwa lautan ini mula-mula terbentuk di langit di atas kita, kemudian dicurahkan dengan sungguh-sungguh ke bumi.

Mengenai masalah ini, seorang ilmuwan modern mengatakan: “Jika benar bahwa panas bola bumi waktu lepas dari matahari itu mencapai sekitar 12.000 derajat, atau panas permukaan bumi mencapai derajat itu, maka pada waktu itu setiap unsur adalah panas. Karena itu, tidak mungkin terdapat wujud kimiawi apa pun.

Ketika bola bumi atau bagian-bagiannya mengalami pendinginan secara bertahap, maka terjadilah bentukan-bentukan dan terjadilah kehamparan alam sebagaimana yang kita ketahui. Tidaklah oksigen dan hidrogen dapat menyatu melainkan setelah suhu mengalami peurunan menjadi 4.000 derajat Fahrenheit. Pada titik ini berjalanlah unsur-unsur itu secara bersama-sama, dan terciptalah air yang kita kenal sekarang bahwa ia adalah hawa bola bumi, dan sudah tentu ia sangat besar pada waktu itu.

Semua lautan pada waktu itu ada di langit, dan semua unsur yang belum menyatu pada waktu itu merupakan gas di udara. Setelah air itu berada di udara luar, maka jatuhlah ia ke bumi, tetapi belum dapat mencapai bumi. Karena suhu di dekat bumi lebih tinggi daripada apa yang ada pada jarak beribu-ribu mil. Sudah tentu kemudian datang waktu di mana angin menyampaikannya ke bumi untuk terbang kembali dalam bentuk uap. Ketika lautan berada di udara, maka luapan-luapan air yang terjadi bersama dengan meningkatnya pendinginan itu berada di atas perhitungan, dan masih terjadi keributan-keributan (keberantakan).” (41).

Perkiraan ini, seandainya kita tidak menghubungkannya dengan nash al-Qur’ān, memperluas keterbatasan persepsi kita terhadap nash dan sejarah yang diisyaratkannya. Yaitu, sejarah pencurahan air dengan pencurahan yang sebenar-benarnya, dan apa yang dikemukakannya ini adalah benar. Ditemukan juga perkiraan lain mengenai asal-usul air di bumi ini, sedang nash al-Qur’ān tetap up to date untuk membicarakannya kepada semua manusia pada semua lingkungan dan generasi.

Begitulah permulaan cerita makanan: “Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air.” Tidak seorang pun yang mengira bahwa Allah telah menciptakan air ini dalam berbagai bentuknya dan dalam berbagai cerita kejadiannya. Mereka tidak mengira bahwa Allah telah mencurahkannya ke bumi dengan sungguh-sungguh, supaya cerita makanan ini berjalan sesuai alurnya.

Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya.” (‘Abasa: 26).

Ini merupakan kelanjutan tahapan pencurahan air. Kisah ini sangat layak dikemukakan kepada manusia yang mula-mula melihat air tercurah dari langit dengan kekuasaan yang bukan kekuasaan dirinya, dan dengan pengaturan yang bukan dia yang mengaturnya. Kemudian dia melihat bumi merekah dan tanahnya mengembang. Atau, ia melihat tumbuhan membelah bumi (tanah) dengan kekuasaan Yang Maha Pencipta tumbuh menurut cara dan bentuknya, dan berkembang di udara di atas kepalanya.

Benih tanaman itu kecil dan kurus, sedang bumi (tanah) di atasnya (yang menindihnya) adalah keras dan berat. Tetapi, tangan yang mengaturnya membelahkan bumi untuknya dan membantunya tumbuh menerobos timbunan tanah itu. Padahal, benih (tanaman yang masih berupa bakal batang, bakal daun dan sebagainya) itu kecil, lemas, dan lembut. Ini adalah suatu keajaiban luar biasa yang dapat dilihat oleh setiap orang yang mau merenungkan terbelahnya tanah diterobos oleh tumbuh-tumbuhan untuk tumbuh. Juga dapat dilihat oleh setiap orang yang merasakan adanya kekuatan yang mutlak di baliknya, kekuatan yang halus dan tersembunyi dalam tumbuhan yang lembek dan lemas itu.

Apabila pengetahuan manusia semakin meningkat, maka berkembang pulalah jangkauan pemikirannya terhadap nash ini. Mungkin pembelahan bumi itu agar ia layak ditumbuhi tumbuh-tumbuhan dengan gambaran yang jauh melebihi apa yang kita gambarkan di muka. Mungkin ia mencakup pengertian perekahan kerak bumi disebabkan penempatan besar yang diisyaratkan oleh perkiraan ilmiah sebagaimana disebutkan di muka. Juga disebabkan oleh unsur-unsur udara yang banyak yang oleh para ilmuwan sekarang diprediksi bahwa unsur-unsur ini bekerja sama untuk membelah kerak bumi yang keras di permukaan bumi yang merupakan kulitnya, sehingga diperoleh lapisan tanah yang layak ditumbuhi tanaman. Ini merupakan bekas atau dampak yang ditimbulkan oleh air sebagai kelanjutan sejarah pencurahan air itu, yang sangat serasi dengan apa yang diisyāratkan oleh nash-nash tersebut.

Baik yang ini maupun yang itu, atau kejadian lainnya selain kedua hal tersebut yang merupakan implementasi kedua ayat di atas, maka tahapan ketiga dalam cerita ini adalah tumbuh-tumbuhan dengan segala macam dan jenisnya. Ya‘ni, yang disebutkan sebagiannya di sini yang lebih dekat keberadaannya dengan orang yang diajak bicara (pendengar atau pembaca al-Qur’ān), dan lebih umum cakupannya mengenai makanan manusia dan binatang ternak:

Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu.” (‘Abasa: 27).

Ini meliputi semua biji-bijian, yang dimakan oleh manusia dalam semua wujudnya, dan dimakan oleh binatang dalam semua keadaannya.

Anggur dan sayur-sayuran.” (‘Abasa: 28).

‘Inab” atau anggur itu sudah populer, dan “qadhb” adalah segala sesuatu yang dimakan dalam keadaan basah dan lembab yang berupa sayuran yang dipotong sekali sesudah kali lain.

Zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan” (‘Abasa: 29-31).

Zaitun dan kurma sudah sangat populer di kalangan orang ‘Arab. “Ḥadā’iq” adalah bentuk jama‘ dari “ḥadīqah”, ya‘ni kebun-kebun yang memiliki pohon-pohon buah yang dipagari dengan pagar untuk melindunginya. “Ghulban” adalah jama‘ dari “ghulbā”, artinya besar, luas, dan banyak pepohonannya. Buah-buahan dari kebun-kebun dan “al-abb” yang menurut dugaan kuat adalah sesuatu yang dimakan oleh binatang ternak (ya‘ni rerumputan). Inilah yang ditanyakan oleh ‘Umar ibn-ul-Khaththāb tetapi kemudian dia mencela dirinya sendiri sebagaimana disebutkan dalam membicarakan surah an-Nāzi‘āt, dan kami tidak menambah pembicaraan lagi tentang ini.

Inilah kisah makanan. Semuanya diciptakan oleh tangan yang telah menciptakan manusia tanpa contoh terlebih dahulu. Dalam hal ini, tidak seorang pun yang mengaku bahwa ia yang menciptakannya dalam tahapan mana pun hingga biji-bijian dan benih-benih yang ditaburkan di bumi. Keluarbiasaan hal ini sudah tampak sejak semula dari belakang pemikiran dan pemahaman manusia.

Tanahnya sama di hadapannya, tetapi benih dan biji-bijinya bermacam-macam. Masing-masing memiliki rasa yang berbeda-beda padahal ia terletak dalam petak-petak tanah yang berdekatan. Semuanya disiram dengan air yang sama, tetapi tangan Pencipta menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan buah-buahan yang beraneka macam. Pada tunas yang kecil dipelihara-Nya ciri-ciri khas induknya yang melahirkannya, dan ciri-ciri itu pun berpindah-pindah kepada anak-anak tumbuhan yang dilahirkannya. Semua itu adalah misteri bagi manusia. Ia tidak mengetahui rahasianya, tidak dapat memutuskan urusannya, dan tidak dapat dimintai pertimbangan mengenai urusannya. Karena yang menumbuhkan, mengatur, menentukan, dan menetapkan adalah Allah Sendiri.

Inilah cerita yang dikeluarkan oleh tangan kekuasaan:

Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (‘Abasa: 32).

Sehingga, berakhirlah semua kesenangan ini pada suatu masa, yang telah ditentukan Allah ketika Dia menentukan kehidupan. Setelah itu, terjadilah urusan lain sebagai akibatnya. Suatu urusan yang sudah direnungkan manusia sebelum terjadi.

Keadaan Manusia Setelah Bangkit dari Kubur.

فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ. يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيْهِ. وَ أُمِّهِ وَ أَبِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ بَنِيْهِ. لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيْهِ. وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ مُّسْفِرَةٌ. ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ. وَ وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ. تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ. أُولئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ.

Apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, ibu dan bapaknya, serta istri dan anak-anaknya; maka setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria. Banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka. (‘Abasa: 33-42).

Inilah penutup kesenangan itu. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang panjang, dan pengaturan yang meliputi semua langkah dan tahapan urusan manusia. Dalam pemandangan ini, terdapat keserasian antara penutup dan permulaan surah ini, bersama orang yang datang dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran) sedang ia takut kepada Allah, dan orang merasa kaya yang tidak membutuhkan sesuatu dan berpaling dari petunjuk. Lalu, kedua tipe manusia ini kini berada dalam timbangan Allah.

Lafal “shākhkhah” adalah lafal yang memiliki bunyi yang keras dan menembus, hampir memekakkan gendang telinga. Ia membelah angkasa, hingga sampai di telinga sebagai teriakan yang sangat keras dan bertubi-tubi.

Bunyi yang sangat keras ini sebagai pendahuluan bagi pemandangan berikutnya, yaitu pemandangan yang melukiskan orang yang lari dari manusia yang paling dekat dengannya: “Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, ibu dan bapaknya, serta istri dan anak-anaknya.” Padahal, mereka saling terikat dengan jalinan-jalinan dan ikatan-ikatan yang tak terpisahkan, tetapi suara yang sangat keras itu merobek-robek ikatan-ikatan tersebut dan memutuskan jalinan-jalinannya.

Ketakutan dan kengerian dalam pemandangan ini bersifat individual, nafsi-nafsi “terfokus pada dirinya sendiri”, menakutkan diri yang bersangkutan, memisahkannya dari segala sesuatu yang melingkupinya, dan menekannya dengan tekanan yang berat. Maka, setiap orang hanya sibuk memikirkan dirinya dan urusannya. Ia merasakan kesedihan yang khusus, yang tidak meninggalkan orang yang memiliki kelebihan dalam pemikiran dan usaha:

Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkanya.” (‘Abasa: 37).

Di balik kalimat ini, terdapat bayang-bayang yang tersembunyi, dan di dalam lipatannya terdapat bayang-bayang yang dalam dan jauh. Maka, tidak ada kalimat yang lebih singkat tetapi lebih luas cakupannya daripada kalimat yang diungkapkan ini, untuk menggambarkan kesusahan dan kesedihan yang menyibukkan dan menyita perasaan dan hati nurani: “Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan cukup menyibukkannya.” (52).

Begitulah keadaan semua makhlūq pada hari yang sangat menakutkan itu, ketika telah tiba suara yang memekakkan.

Kemudian dilukiskanlah keadaan orang-orang yang beriman dan keadaan orang-orang kafir, sesudah mereka dinilai dan ditimbang dengan timbangan Allah di sana:

Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria.” (‘Abasa: 38-39).

Inilah wajah-wajah yang cerah ceria, berbinar-binar, tertawa-tawa, bergembira ria, penuh harapan kepada Tuhannya, dan merasa tenang karena merasakan keridhāan Tuhannya kepadanya. Maka, mereka selamat dari bencana suara yang memekakkan dan membingungkan. Atau, karena mereka sudah mengetahui tempat kembalinya, dan sudah jelas baginya tempat tinggalnya, lalu wajahnya ceria dan bergembira ria sesudah terjadinya peristiwa yang menakutkan dan membingungkan.

Banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutupi lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.” (‘Abasa: 40-42).

Wajah-wajah ini diliputi oleh debu-debu kesedihan dan penyesalan, dan ditutupi oleh hitamnya kehinaan dan kerendahan. Mereka sudah mengetahui apa yang telah mereka kerjakan, karena itu mereka yakin akan pembalasan yang dinantikannya:

Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka”, yang tidak mau beriman kepada Allah dan risālah-risālahNya, melanggar batas-batasNya, dan merusak apa-apa yang diperintahkan-Nya untuk dihormati.

Pada wajah setiap orang itu sudah terlukis tempat kembalinya masing-masing. Terlukis sifat-sifat dan identitas mereka dari celah-celah lafal dan kalimat al-Qur’ān yang diungkapkan ini. Seakan-akan wajah-wajah tersebut berupa sosok yang bersangkutan, karena kuatnya pengungkapan al-Qur’ān dan lembutnya sentuhannya.

Dengan demikian, terdapat keserasian antara permulaan dan akhir surah. Bagian permulaan menetapkan hakikat timbangan, dan bagian akhir menetapkan hasil timbangan. Terasa pulalah kemandirian surah yang pendek ini dengan muatan dan cakupannya terhadap hakikat-hakikat yang besar, pemandangan-pemandangan, dan kesan-kesannya. Dengan semua ini, sempurnalah keindahan dan kebagusannya yang halus lembut.

Catatan:

  1. 4). Dari buku al-Insānu Lā Yaqūmu Waḥdahu karya Crosby Morison, dan diterjemahkan oleh Maḥmūd Shāliḥ al-Falakī dengan judul al-‘Ilmu Yad‘u ilal-Īmān.
  2. 5). Dikutip dari kitab Masyāhid-ul-Qiyāmati fil-Qur’ān, terbitan Dār-usy-Syurūq.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *