Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 42.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
عَبَسَ وَ تَوَلَّى. أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى. وَ مَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى. أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى. أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى. فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى. وَ مَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى. وَ أَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى. وَ هُوَ يَخْشَى. فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى. كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ. فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ. فِيْ صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ. مَّرْفُوْعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ. بِأَيْدِيْ سَفَرَةٍ. كِرَامٍ بَرَرَةٍ. قُتِلَ الْإِنْسَانُ مَا أَكْفَرَهُ. مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ. مِنْ نُّطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ. ثُمَّ السَّبِيْلَ يَسَّرَهُ. ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ. ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنْشَرَهُ. كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ. فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ. أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا. ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا. فَأَنْبَتْنَا فِيْهَا حَبًّا. وَ عِنَبًا وَ قَضْبًا. وَ زَيْتُوْنًا وَ نَخْلًا. وَ حَدَائِقَ غُلْبًا. وَ فَاكِهَةً وَ أَبًّا. مَّتَاعًا لَّكُمْ وَ لِأَنْعَامِكُمْ. فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ. يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيْهِ. وَ أُمِّهِ وَ أَبِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ بَنِيْهِ. لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيْهِ. وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ مُّسْفِرَةٌ. ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ. وَ وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ. تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ. أُولئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ.
80:1. Dia (Muḥammad) bermuka masam dan berpaling,
80:2. karena telah datang seorang tuna-netra kepadanya.
80:3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa)
80:4. atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
80:5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
80:6. maka kamu melayaninya.
80:7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
80:8. Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
80:9. sedang ia takut kepada (Allah),
80:10. maka kamu mengabaikannya.
80:11. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.
80:12. Barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya,
80:13. di dalam kitab-kitab yang dimuliakan,
80:14. dan ditinggikan lagi disucikan,
80:15. di tangan para penulis (malaikat),
80:16. yang mulia lagi berbakti.
80:17. Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya?
80:18. Dari apakah Allah menciptakannya?
80:19. Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya.
80:20. Kemudian Dia memudahkan jalannya.
80:21. Lalu Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur,
80:22. Apabila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali.
80:23. Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.
80:24. Hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.
80:25. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit),
80:26. lalu Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,
80:27. kemudian Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu,
80:28. anggur dan sayur-sayuran,
80:29. zaitun dan pohon kurma,
80:30. kebun-kebun (yang) lebat,
80:31. dan buah-buahan serta rumput-rumputan,
80:32. untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
80:33. Apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua),
80:34. pada hari ketika manusia lari dari saudaranya,
80:35. ibu dan bapaknya,
80:36. serta istri dan anak-anaknya;
80:37. maka setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.
80:38. Banyak muka pada hari itu berseri-seri,
80:39. tertawa dan gembira ria.
80:40. Banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu,
80:41. dan ditutup lagi oleh kegelapan.
80:42. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.
Surah ini memiliki sekat-sekat yang kuat, hakikat-hakikat yang besar, sentuhan-sentuhan yang mendalam, serta unik lukisan-lukisan, bayangan-bayangan dan isyārat-isyāratnya. Juga memberikan kesan kejiwaan dan musikal yang sama.
Segmen pertama memecahkan suatu peristiwa tertentu yang terjadi dalam sirah (perjalanan hidup) Rasūlullāh s.a.w. Yaitu, ketika beliau sedang sibuk mengurusi segolongan pembesar Quraisy yang beliau seru kepada Islam, maka beliau didatangi Ibnu Ummi Maktūm seorang laki-laki tunanetra yang miskin. Karena tidak mengetahui Rasūlullāh s.a.w. sedang sibuk mengurusi kaum Quraisy itu, maka ia tetap meminta kepada beliau agar mengajarkan kepadanya apa yang telah diajarkan Allah kepada beliau. Sehingga, Rasūlullāh s.a.w. merasa tidak senang atas kedatangan Ibnu Ummi Maktūm, lalu beliau bermasam muka dan berpaling darinya.
Maka, turunlah ayat-ayat al-Qur’ān pada permulaan surah ini yang mencela sikap Rasūlullāh s.a.w. itu dengan sangat keras. Ayat-ayat itu juga menetapkan hakikat nilai yang sebenarnya dalam kehidupan jamā‘ah Islam dengan menggunakan metode yang pasti, sebagaimana segmen ini juga menetapkan hakikat dakwah dan tabiatnya. Mengenai hal ini dapat dilihat pada surah ‘Abasa ayat 1-16.
Segmen kedua mengobati keingkaran manusia dan kekafirannya yang amat buruk kepada Tuhannya. Diingatkan-Nya dia akan sumber keberadaannya dan asal-usul kejadiannya, dimudahkan-Nya kehidupannya dan diberitahukan tindakan Tuhannya di dalam mematikan dan menghidupkannya kembali. Namun, sesudah itu dia masih bandel juga, sebagaimana tercantum dalam surah ‘Abasa ayat 17-23.
Segmen ketiga mengarahkan hati manusia kepada sesuatu yang sangat erat sentuhannya dengan dirinya. Yaitu, makanannya dan makanan binatang-binatang ternaknya, dan apa yang ada di belakang makanan itu yang berupa pengaturan dan penentuan Allah kepadanya, seperti pengaturan dan penentuan serta penataannya terhadap kejadian dirinya. Hal ini terlihat pada surah ‘Abasa ayat 24-32.
Sedangkan, segmen keempat atau terakhir menginformasikan “ash-shākhkhah” “suara yang memekakkan” yang datang pada harinya dengan segala sesuatunya yang mengerikan, yang sudah tampak dari lafalnya, sebagaimana tampak bekas-bekasnya di dalam hati manusia yang kebingungan karena peristiwanya yang luar biasa. Juga pada wajah-wajah mereka karena dahsyatnya peristiwa ini, sebagaimana tercantum dalam surah ‘Abasa ayat 33-42.
Pemaparan segmen-segmen surah ini dan ayat-ayatnya, secara sepintas kilas seperti ini, menimbulkan kesan dan pengaruh yang sangat kuat dan mendalam, dengan sentuhan-sentuhannya di dalam hati.
Kami akan bersusaha mengungkap beberapa sisinya dengan jangkauan yang jauh. Jangkauan yang diisyāratkan oleh sebagian segmennya yang kadang-kadang tidak terungkapkan dalam paparan terdahulu.
عَبَسَ وَ تَوَلَّى. أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى. وَ مَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى. أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى. أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى. فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى. وَ مَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى. وَ أَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى. وَ هُوَ يَخْشَى. فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى. كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ. فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ. فِيْ صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ. مَّرْفُوْعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ. بِأَيْدِيْ سَفَرَةٍ. كِرَامٍ بَرَرَةٍ.
“Dia (Muḥammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang tuna-netra kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. Barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, dan ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti. (‘Abasa: 1-16).
Pengarahan yang turun berkenaan dengan peristiwa ini merupakan persoalan sangat besar yang jauh lebih besar dari apa yang tampak di luar. Sesungguhnya ini adalah mu‘jizat. Ia dan hakikat yang hendak ditetapkan Allah di muka bumi, beserta dampak penetapan ini terhadap perbuatan manusia di dalam kehidupan. Barangkali ia adalah mu‘jizat Islam yang pertama dan sekaligus terbesar. Akan tetapi, pengarahan ini datang sedemikian rupa, sebagai komentar atas persitiwa individual, menurut metode Ilahi dalam al-Qur’ān dalam menjadikan peristiwa perseorangan dan dalam konteks terbatas sebagai kesempatan untuk menetapkan hakikat yang mutlak dan manhaj yang bakal diberlakukan.
Jika tidak demikian, maka hakikat yang menjadi sasaran penetapan di sini beserta dampak-dampak praktis yang ditimbulkannya di dalam kehidupan umat Islam merupakan inti Islam. Itulah hakikat yang dikehendaki Islam dan semua risālah langit sebelumnya, untuk ditanamkan di bumi.
Hakikat ini bukan semata-mata bagaimana seseorang bermu‘āmalah dengan orang lain, atau bagaimana sekelompok orang bergaul dengan kelompok lain, sebagaimana ma‘na yang dekat dengan peristiwa beserta komentarnya itu. Akan tetapi, hakikat benar-benar lebih jauh dan lebih besar daripada ini. Hakikatnya ialah bagaimana manusia menimbang semua urusan kehidupan, dan dari sumber mana mereka mengembangkan dan menentukan nilai-nilai yang mereka pergunakan untuk menimbang sesuatu.
Hakikat yang menjadi sasaran penetapan ini ialah manusia di bumi harus mengembangkan tata nilai dan tata norma mereka dengan semata-mata berpedoman pada kalimat Ilahi dari langit (wahyu). Mereka tidak terikat oleh lingkungan-lingkungan bumi, tidak terikat dengan tempat-tempat hidup mereka serta tidak bersumber dari pemikiran-pemikiran mereka yang sangat terikat dengan tempat-tempat dan lingkungan-lingkungan itu.
Ini adalah persoalan yang sangat besar, tetapi juga sangat sulit. Sulit bagi manusia yang hidup di bumi, tetapi menggunakan norma-norma dan nilai-nilai yang datang dari langit. Ya‘ni, terlepas dari pertimbangan-pertimbangan bumi, dan terbebas dari tekanan-tekanan berbagai pertimbangan tersebut.
Kita mengetahui kebesaran dan kesulitan persoalan ini ketika kita mengetahui besarnya realitas manusia, perpindahannya kepada perasaan, dan tekanannya pada jiwa. Juga sulitnya lepas dari lingkungan sekitar dan tekanan-tekanan yang timbul dari realitas kehidupan masyarakat, yang bersumber dari kondisi-kondisi penghidupan, ikatan-ikatan kehidupan, warisan budaya, sisa-sisa sejarah, dan semua hal yang mengikat mereka erat-erat dengan bumi (budaya, peradaban, lingkungan, situasi, kondisi, dan sebagainya). Ditambah dengan tekanan-tekanan terhadap jiwa karena pertimbangan-pertimbangan, tata norma, tata nilai, pandangan, dan ideologi.
Kita juga mengetahui besarnya hakikat urusan ini dan kesulitannya ketika kita mengetahui bahwa jiwa Muḥammad bin ‘Abdillāh s.a.w. sangat memerlukan – agar sampai kepadanya – pengarahan dari Tuhannya. Bahkan, memerlukan celaan keras ini, yang sampai batas keheranan terhadap tindakannya. Dengan demikian, untuk menggambarkan besarnya suatu urusan di dunia ini, cukup kiranya kalau dikatakan bahwa jiwa Muḥammad bin ‘Abdillāh s.a.w. sangat membutuhkan peringatan dan pengarahan.
Ya, yang demikian ini saja rasanya sudah cukup. Karena, kebesaran, ketinggian, dan keluhuran jiwa yang menjadikan urusan yang hendak dicapainya sampai membutuhkan peringatan dan pengarahan itu, merupakan urusan yang lebih besar daripada kebesaran itu sendiri, dan lebih tinggi daripada ketinggiannya itu. Inilah hakikat persoalan itu, yang menjadi tujuan pengarahan Ilahi untuk menetapkan dan memantapkannya di muka bumi, melalui peristiwa unik ini. Ya‘ni, agar manusia mengacukan norma-norma dan pertimbangan-pertimbangan dari langit, terlepas dari nilai-nilai dan timbagan-timbangan bumi yang bersumber dari realitas (budaya, tradisi, lingkungan) mereka. Inilah persoalan yang besar dan agung itu.
Sesungguhnya timbangan yang diturunkan Allah bersama para rasūl untuk meluruskan semua tata nilai itu adalah:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwā di antara kamu.” (al-Ḥujurāt: 13).
Inilah satu-satunya nilai dan tolok ukur untuk menilai dan mengukur berbobot ataukah tidaknya seorang manusia. Ini adalah norma langit yang murni, tidak ada hubungannya dengan tempat, situasi, dan lingkungan bumi.
Akan tetapi, manusia hidup di bumi serta berhubungan dan berinteraksi dengan sesamanya dengan berbagai macam hubungan yang mempunyai timbangan, bobot, dan daya tarik terhadap kehidupannya. Mereka bergaul dan bermu‘āmalah dengan nilai-nilai lain seperti nasab (keturunan), kekuatan (kekuasaan), dan harta-benda (kekayaan). Termasuk juga nilai-nilai yang timbul dari hubungan kerja, perekonomian ataupun nonperekonomian. Dalam semua hal itu, pertimbangan sebagian manusia berbeda dengan sebagian yang lain. Sehingga, yang sebagian lebih unggul dalam timbangan-timbangan bumi.
Kemudian Islam datang untuk mengatakan: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwā”. Lalu, ditutupnya lembaran yang berisi nilai-nilai yang berat timbangannya dalam kehidupan manusia, keras tekanannya terhadap perasaan mereka, dan kuat daya tariknya ke bumi. Semuanya diganti dengan nilai-nilai baru yang bersumber langsung dari langit, yang hanya ini saja yang diakui dalam timbangan langit.
Kemudian datanglah peristiwa ini untuk menetapkan nilai itu dalam sebuah peristiwa yang terbatas. Juga untuk menetapkan prinsip dasar bahwa “timbangan yang sebenarnya adalah timbangan langit, dan nilai yang sebenarnya adalah nilai langit. Umat Islam harus meninggalkan semua tradisi yang menjadi kebiasaan manusia; dan harus meninggalkan segala sesuatu yang bersumber dari ikatan-ikatan bumi seperti tata nilai, pandangan hidup, ideologi, norma-norma, dan pemikiran-pemikiran. Sehingga, mereka hanya berpegang pada nilai-nilai dari langit saja dan menimbangnya dengan timbangan langit saja.”
Datanglah seorang tunanetra yang miskin, bernama Ibnu Ummi Maktūm, kepada Rasūlullāh s.a.w. yang sedang sibuk mengurusi sejumlah pembesar Quraisy, yaitu ‘Utbah bin Rabī‘ah, Syaibah bin Rabī‘ah, Abū Jahal ‘Amr bin Hisyām, Umayyah bin Khalaf dan al-Walīd ibn-ul-Mughīrah, bersama ‘Abbās bin ‘Abd-il-Muththalib. Waktu itu Rasūlullāh s.a.w. sedang mengajak mereka memeluk Islam. Beliau berharap bahwa masuk Islamnya mereka akan membawa kebaikan bagi Islam yang selama ini dipersulit dan ditekan di Makkah.
Mereka itulah yang biasa menghambat jalan Islam dengan menggunakan harta, kedudukan, dan kekuatannya. Mereka menghalang-halangi manusia dari Islam, dan melakukan berbagai macam tipu daya untuk membekukan Islam di Makkah. Sedangkan, yang lainnya melakukan penghalangan dan penghambatan di luar Makkah. Mereka tidak mau menerima dakwah yang disampaikan oleh orang yang paling dekat persahabatannya dengan mereka dan paling kuat ikatan kekeluargaannya. Pasalnya, mereka hidup di dalam lingkungan jahiliah yang sarat dengan fanatisme kabilah, yang menjadikan sikap kabilah sebagai pusat nilai dan pemikiran.
Lelaki tunanetra yang fakir ini datang kepada Rasūlullāh s.a.w. ketika beliau sedang sibuk mengurusi sesuatu bukan untuk dirinya dan kepengtingan Islam. Karena seandainya mereka masuk Islam, maka akan tersingkirkanlah hambatan-hambatan yang sulit dan duri-duri yang tajam dari jalan dakwah di Makkah. Sehingga, Islam tentu akan berkembang di sekitarnya, sesudah masuk Islamnya tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar tersebut.
Lelaki ini datang, lalu berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, tolong bacakan dan ajarkan kepadaku apa yang telah diajarkan Allah kepadamu!” Ia mengulang-ulang perkataan ini padahal ia mengetahui kesibukan Rasūlullāh dalam menghadapi urusan ini. Maka, Rasūlullāh s.a.w. tidak senang kalau pembicaraan dan perhatian beliau terhadap tokoh-tokoh Quraisy itu terputus.
Ketidaksenangan beliau tampak di wajahnya, yang sudah tentu tidak terlihat oleh lelaki tunanetra itu, yaitu, beliau bermasam muka dan berpaling. Berpaling dari lelaki fakir yang sendirian tetapi dapat mengganggunya dari urusan yang sangat penting ini. Ya‘ni, urusan yang di belakangnya terdapat harapan yang banyak bagi dakwah dan agamanya. Atau, urusan yang didorong oleh keinginannya untuk membela agamanya, ketulusannya terhadap urusan dakwahnya, kecintaannya terhadap kemaslahatan Islam, dan keinginannya terhadap perkembangan dan penyebarannya.
Di sinilah langit campur tangan untuk mengatakan kata pasti dalam urusan ini, untuk menaruh rambu-rambu dan semua petunjuk jalan, dan untuk menetapkan timbangan untuk menimbang semua norma dan nilai, tanpa menghiraukan semua jenis lingkungan dan pemikiran. Termasuk pemikiran tentang kemaslahatan dakwah menurut pandangan manusia, bahkan menurut pandangan penghulu semua manusia ya‘ni Nabi Muḥammad s.a.w.