Tafsir Juz ‘Amma
(Judul Asli: Beams of Illumination)
Oleh: Syaikh Fadhlallah Haeri
SURAH AN-NAS
“MANUSlA”
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang.
Bagian awal Al-quran berkenaan dengan pemahaman bahwa satu-satunya jalan menuju kesuksesan adalah melalui pengagungan, doa dan puji, sedangkan bagian terakhir Al-quran berkenaan dengan permintaan perlindungan kepada Sumber dari segala manifestasi.
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ
1. Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhannya manusia,
Nas berarti ‘orang, manusia’. Kata akarnya adalah anisa, yang berarti ‘dikenal, peramah, akrab’, jadi menunjukkan sifat dasar manusia yang suka berteman. Tentu saja kita semua akan mencari persahabatan.
Sifat manusia mencakup dan merefleksikan suatu spektrum luas dari watak dan perilaku yang potensial. Jika ia ingin sekali mengenal Allah, maka pelakunya akan mencerminkan kemuliaan. Jika ia mengabaikan naluri untuk mencari Penciptanya, atau Sumber, maka ia jatuh serendah rendahnya (sebagaimana disebutkan dalam Surah al-Tin). Yang pasti, perilakunya akan merefleksikan sifat-sifat yang lebih dasar, seperti ketamakan atau keegoisan, yang dapat membawa kepada pengkhianatan. Meskipun kapasitasnya untuk melakukan pengkhianatan sama tak terbatasnya dengan nafsunya, Tuhan semua manusia selalu mengetahui keadaan dan niat-niat kita. Apa pun yang kita lakukan, kita tetap berada di bawah Ketuhanan Aliah. Tempat berlindung atau perlindungan terakhir dari orang lain ada’ah Allah, Yang lebih dekat kepada kita dibanding urat leher kita, sebagaimana dikemukakan-Nya kepada kita dalam sebuah hadis qudsi. Akar dari kata a’udzu (aku minta perlindungan) merefleksikan kedekatan ini, karena ia berasal dari ‘adza yang asalnya berarti ‘berada dekat tulang atau daging’.
مَلِكِ النَّاسِ
2. Rajanya manusia,
إِلهِ النَّاسِ
3. Tuhannya manusia,
Kita berlindung kepada Tuhan, kepada Sang Pencipta entitas yang disebut ‘manusia’, yang mengandung di dalam dirinya sifat tinggi maupun rendah. Kita berlindung kepada Allah dari sifat rendah, dari sifat yang menyebabkan kita rugi.
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ
4. Dari kejahatan bisikan setan yang sukar dipahami,
Terdapat banyak sekali tulisan tentang kata waswas, yakni bisikan halus pada hati kita yang paling dalam yang menghasut kita untuk berbuat jahat. Dalam satu keterangan, ada sepuluh makna diberikan untuk al-waswasah, yang menunjukkan sepuluh sifat berbeda dari si pembisik. Jika kita mengalahkan mereka kita akan memahami syirk-nya (menyekutukan Tuhan) waswas, sehingga kita akan benar-benar dapat berlindung dari itu.
Waswas adalah bentuk kata yang meniru sesuatu bunyi seperti suara bisikan. Berbisik adalah salah satu perbuatan yang, menurut din serta adab kita, sangat ditolak karena sesuatu yang baik untuk dikatakan hendaklah disebarkan dengan mengatakannya secara keras.
Khannas adalah julukan setan, dan berarti ‘menyelinap keluar’, terutama ketika nama Allah disebut.
Ada beberapa sumber atau sungai yang menyuburkan waswas. Sebagaimana surga memiliki sungai-sungai di bawah tanah yang menyuburkannya, begitu pula waswas. Salah satu sungai ini adalah hirsh (ketamakan atau keiri-hatian). Arus sungai itu bisa dilawan, diblokir, dan dibendung dengan tawakkul wa qana’ah (percaya dengan sepenuh hati [kepada Allah] dan merasa puas).
Sungai lainnya adalah amal, yang berarti ‘pengharapan’. Sungai ini, pun, dapat dibendung dengan zikir yang terus-menerus. Harapan kita untuk mendapatkan berbagai hal dari dunia ini dapat dihentikan dengan ingat (zikir) bahwa setiap hembusan napas mungkin saja merupakan napas terakhir kita. Keingatan ini akan memotong aliran sungai, yang menyuburkan si pembisik yang menuangkan berbagai sugesti yang merusak ke dalam telinga kita.
Sungai ketiga adalah syahawat al-dunya, atau ‘nafsu duniawi’. Nafsu-nafsu ini dapat dibunuh dengan ingat bahwa segala nikmat akhirnya akan meninggalkan kita, dan bahwa akan diadakan hisab (perhitungan). Kita akan harus bertanggung jawab terhadap cara kita menghabiskan nikmat dan kebaikan yang diberikan kepada kita. Perhitungannya akan panjang—kita diberitahu 50.000 tahun— di mana setiap hal kecil akan ditinjau ulang dan diperiksa, dan, sekecil apa pun, dapat menjadi saksi yang menguntungkan atau merugikan kita.
Sungai keempat, atau sumber, dari waswas adalah tahshil, yang berarti ‘pendapatan’. Arus sungai ini dapat dihentikan dengan mengusahakan keadilan dari keadaan setiap orang. Apa yang didapat seseorang muncul dari keadilan keadaannya sendiri. Kita tidak dapat mengubahnya.
Sungai kelima adalah bala’, ‘kesusahan’. Arus sungai ini dapat di alirkan dengan tidak melihat kesusahan dalam suatu keadaan, tapi malah dengan melihat kebaikan di dalamnya.
Sungai keenam adalah kibr atau ‘rasa bangga’, yang dapat dilawan dengan kerendahan hati. Bilamana kibr timbul pada kita, kita harus segera mendatangi kerendahan hati yang terdapat di dalam diri kita, sehingga kita mematahkan pengaruh kibr pada kita.
Sungai ketujuh adalah tahqir, yang membujuk kita untuk meremehkan posisi terhormat kaum beriman, dan juga apa saja yang dimiliki orang beriman, apa saja yang ada dalam kekuasaannya, dan yang halal baginya dan haram bagi orang lain. Arus sungai ini dapat dihentikan dengan menganggap kehormatan mereka sebagai kemuliaan dan dengan menghormatinya.
Sumber kedelapan dari waswas adalah cinta dunia (hubb-ud-dunia), termasuk hasrat untuk diakui dan dipuji oleh orang lain. Cinta dan hasrat ini dapat dilucuti dengan membawa diri seseorang ke dalam kerendahan diri.
Sumber kesembilan dari waswas yang mendorong setan adalah pemisahan dan kekikiran (bukhl). Ini dapat diperangi dengan kedermawanan. Sakha’ berarti ‘memberi sesuai dengan tuntutan kejadian’; jud berarti ‘memberi tanpa diminta’; dan karam adalah ‘memberi apa saja yang diminta’. Ini adalah tiga Sifat Allah. Jenis keempat adalah itsar, ‘memberikan apa yang ia sendiri butuhkan’, dan ini adalah sifat yang hanya dapat dimiliki manusia. Sifat ini tidak bisa dianggap berasal dari Allah, karena Allah tidak membutuhkan apa pun. Maka kita dapat menyandang sifat terakhir ini, yakni suatu pertolongan besar bagi gerak naik batin kita menuju kemuliaan yang pas untuk kita sebagai khalifah Allah.
ِالَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ
5. Yang membisikkan dalam hati manusia,
Shadr (jamak: shudur) adalah ‘dada’, bagian dari kita yang berhadapan dengan apa yang ada di hadapan kita. Itulah tempat berlangsungnya pertempuran dan drama. Harus diingat bahwa setiap drama tercipta sendiri. Setiap peran yang berganti-ganti dalam dada manusia: sebagai raja, raja lalim, orang menderita, pencemburu, orang kuat, peragu, dan pengeluh. Kita harus berlindung dari semua ini, berlindung kepada Allah Yang kerahimannya membawa kita ke pengakuan bahwa segala sesuatu yang terjadi, nampak dan tidak nampak, terjadi sesuai dengan sistem yang adil, sesuai dengan hukum yang sempurna yang mengatur perjalanan ini, perjalanan melalui penciptaan. Hukum dalam eksistensi ini berjalan sendiri, tidak perlu pengawas.
مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
6. Dari jin dan manusia.
Jinnah adalah sinonim dengan jinn (jin), artinya ‘kekuatan tersembunyi dan tak terlihat’. Jannah (taman) berasal dari akar yang sama dan menunjuk kepada tempat yang paling diidamkan, taman, yang dalam budaya bangsa Arab gurun pasir di mana temperatur rata-ratanya 100 derajat Fahrenheit, adalah sebuah tempat istirahat dan melepas lelah dari kerasnya kehidupan gurun pasir. Sebaliknya, lebat dan teduhnya taman begitu subur sehingga tanahnya tidak terlihat karena tertutup daun-daun pepohonan yang tebal. Serupa dengan tanah yang ‘ditutupi’ oleh tetumbuhan yang lebat, sehingga menunjuk kepada suatu keadaan tersembunyi, jin juga tertutupi, terbatas keadaannya sebagaimana manusia.
Oleh karena itu, kita meminta perlindungan, perlindungan dari setiap energi yang alamnya tidak kita mengerti, dan yang penciptaannya tidak nampak atau tidak terlihat oleh kita.