(Juz XXX, dari an-Naba’ s.d. an-Nas)
SURAH AN-NAS
Diturunkan di Mekah
Jumlah Ayat : 6
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ. مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
114-1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia,
114-2. Raja manusia,
114-3. Sembahan manusia,
114-4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
114-5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
114-6. Dari (golongan) jin dan manusia.”
Permohonan perlindungan di sini adalah kepada Tuhan yang memelihara dan menguasai manusia, Raja manusia, Sembahan manusia. Sedangkan, yang dimohonkan perlindungan darinya ialah kejahatan bisikan setan yang biasa bersembunyi, yang biasa membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia, dari golongan jin adan manusia.
Memohon perlindungan kepada Tuhan, Raja, Sembahan, menghadirkan sifat-sifat Allah s.w.t. untuk menolak semua kejahatan secara umum, dan kejahatan bisikan setan yang biasa bersembunyi, secara khusus.
Ar-Rabb adalah Tuhan Yang memelihara, Yang mengarahkan, Yang menjaga, dan Yang melindungi. Al-Malik adalah Tuhan Yang berkuasa, Yang menentukan keputusan, Yang mengambil tindakan. Dan Al-Ilāh adalah Tuhan Yang Maha Tinggi, Yang Mengungguli, Yang mengurusi, Yang berkuasa. Sifat-sifat ini mengandung perlindungan dari kejahatan yang masuk ke dalam dada, sedang yang bersangkutan tidak mengetahui bagaimana cara menolaknya karena ia tersembunyi.
Allah adalah Rabb bagi segala sesuatu, Malik bagi segala sesuatu, Ilāh bagi segala sesuatu. Akan tetapi, pengkhususan penyebutannya di sini bagi manusia adalah untuk menjadikan mereka supaya merasakan kedekatannya pada waktu meminta perlindungan dan pemeliharaan.
Allah s.w.t. memberikan pengarahan kepada Rasulullah s.a.w. dan umat beliau untuk memohon perlindungan kepada-Nya, dengan meresapkan makna-makna sifat-sifatNya ini, yakni berlindung dari kejahatan yang tersembunyi, tetapi terus merayap, yang tidak dapat dihadapi dan ditolak kecuali dengan pertolongan dari Rabb, Malik, dan Ilāh. Karena, Dialah yang dapat mencegahnya sedang mereka tidak merasakan, dan Dia dapat pula mendatangi mereka tanpa mereka perhitungkan. Dan waswasah berarti suara yang halus; khanus berarti bersembunyi dan kembali lagi; dan khannās adalah mempunyai tabiat sering bersembunyi dan kembali lagi.
Pertama-tama nash ini menyebutkan secara mutlak tentang “al-waswās-ul-khannas”. Lalu, dibatasi aktivitasnya dengan “al-ladzī yuwaswisu fī shudūr-in-nās” “yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia.” Kemudian dibatasi esendinya dengan “min-al-jinnati wan-nās” “dari golongan jin dan manusia.” Urutan ini menimbulkan kesadaran dalam hati untuk mengetahui bisikan setan yang biasa bersembunyi, sesudah disebutkan secara mutlak pada awal pembicaraan. Juga untuk mengetahui cara kerjanya dalam mewujudkan kejahatannya, agar yang bersangkutan menolak atau mengawasinya.
Jiwa manusia ketika mengetahui, setelah disadarkan dan dibangunkan, bahwa setan yang biasa bersembunyi itu menyampaikan bisikan-bisikan yang halus dan rahasia ke dalam hati manusia; bahwa yang berbisik itu adalah jin yang tersembunyi, dan bisa juga golongan manusia yang membisikkan ke dalam dada sebagaimana golongan jin itu; maka ia berusaha untuk menolaknya. Ia pun tahu tempat persembunyiannya, tempat masuk dan jalannya.
Bisikan jin itu tidak kita ketahui bagaimana terjadinya, tetapi dapat kita jumpai bekas-bekas dan pengaruhnya dalam realitas jiwa dan kehidupan nyata. Kita mengetahui bahwa peperangan antara Adam dan Iblis sudah ada sejak dulu. Setan menyulut peperangan karena masalah penciptaan manusia, karena kesombongan, kedengkian dan dendam Iblis terhadap manusia. Iblis melakukan permusuhan ini juga sudah mendapat izin dari Allah. Allah mengizinkannya itu tentulah ada hikmah yang Dia ketahui dan Dia tidak membiarkan manusia tanpa persiapa. Maka, Dia menjadikan baginya iman sebagai perisai, zikir sebagai perbekalan, dan isti‘ādzah “permohonan perlindungan” sebagai senjata. Apabila manusia melupakan perisai, perbekalan, dan senjatanya, dia menjadi tercela.
Ibnu ‘Abbas r.a. mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
الشَّيْطَانُ جَاثِمٌ عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ، فَإِذَا ذَكَرَ اللهَ تَعَالَى خَنَسَ، وَ إِذَا غَفَلَ وَسْوَسَ
“Setan itu tetap berada di hati anak Adam. Apabila dia mengingat Allah ta‘ala, setan itu bersembunyi. Dan, apabila dia lalai, setan itu membisikinya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu‘allaq/tanpa menyebutkan rentetan sanad-nya).
Adapun mengenai manusia, kita mengetahui banyak tentang bisikan mereka. Kita mengetahui pula bahwa di antara bisikannya itu ada yang lebih berat daripada bisikan setan.
Kawan yang jahat, membisikkan kejahatan ke dalam hati dan pikiran kawannya tanpa perhitungan dan tanpa berhati-hati, karena dia adalah kawan terpercaya.
Ajudan membisikkan kepada penguasa sehingga ia terus merajalela dan sewenang-wenang berbuat kerusakan di muka bumi. Ia merusak tanaman dan keturunan, ekonomi dan kaum wanita.
Provokator menghiasi perkataannya sedemikian rupa, sehingga tampak seolah-olah apa yang dikatakannya itu adalah kebenaran yang nyata, yang tidak perlu diragukan lagi.
Penjaja syahwat mengembuskan bisikan lewat jendela insting untuk merayu. Hal ini tidak dapat ditolak kecuali dengan kesadaran hati dan pertolongan Allah.
Juga berpuluh-puluh pembisik yang bersembunyi, yang memasang jaring dan perangkap dengan sembunyi-sembunyi dan memasukkannya lewat jendela hati yang samar, yang mereka ketahui dan mereka rasakan. Mereka ini lebih jahat daripada golongan jin dan lebih samar merayapnya.
Manusia tidak mampu menolak bisikan yang halus itu. Karena itu, Allah menunjukkan kepadanya persiapan, perisai, dan senjatanya di dalam melakukan peperangan yang sengit ini.
Di sana terdapat sesuatu yang perlu diperhatikan, yang memiliki tujuan tertentu, ketika menerangkan bahwa setan pembisik itu memiliki sifat khannās “biasa bersembunyi”. Sifat ini dari satu segi menunjukkan bahwa ia bersembunyi. Sehingga, apabila mendapatkan kesempatan yang tepat, ia pun beraksi dan menyampaikan bisikan. Dari satu sisi menunjukkan kelemahan setan menghadapi orang yang menyadari tipu dayanya dan menjaga jalan-jalan masuknya ke dadanya. Maka, setan itu – baik dari golongan jin maupun manusia – apabila dihadapi, akan mundur dan kembali ke mana dia tadi datang, terengah-engah dan bersembunyi. Atau, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah s.a.w. di dalam melukiskannya dengan gambaran yang halus: “Apabila yang bersangkutan mengingat Allah ta‘ala, maka ia bersembunyi. Dan, apabila lupa, maka ia membisiki.”
Keterangan ini akan menguatkan hati dan menyemangatkannya di dalam menghadapi bisikan setan. Maka, setan itu bersembunyi dan lemah menghadapi persiapan orang mukmin di dalam peperangan dengannya.
Akan tetapi, dari sisi lain, peperangan itu berkepanjangan dan tak pernah berakhir. Maka, selamanya ia bersembunyi dan mengintai kelengahan manusia. Karena itu, manusia harus selalu menyadari, bukan Cuma sekali dan sesaat saja. Peperangan akan berlangsung hingga hari kiamat, sebagaimana dilukiskan al-Qur’an dalam beberapa tempat. Di antaranya di dalam surah al-Isra’ dengan lukisannya yang menakjubkan:
“Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu semua kepada Adam,” lalu mereka sujud kecuali Iblis. Dia berkata: “Apalah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?” Dia (Iblis) berkata: “Terangkanlah kepadaku, inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya, jika Engkau membari tangguh kepadaku sampai hari kiamat niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya kecuali sebagian kecil.” Tuhan berfirman: “Pergilah, barang siapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka sesungguhnya neraka Jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup. Dan hasutlah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka. Sesungguhnya hamba-hambaKu, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Penjaga.” (al-Isrā’: 61-65)
Lukisan tentang tabiat peperangan dan dorongan-dorongan kejahatan padanya – baik lewat setan secara langsung maupun lewat pegawi-pegawinya yang berupa manusia – dapat menyadarkan manusia bahwa dia tidak akan dikalahkan oleh setan dalam peperangan ini, karena Rabb-nya, Malik-nya, dan Ilāh-nya itu mahakuasa atas semua makhluk. Apabila Dia yang memberi izin kepada Iblis untuk melancarkan peperangan, maka Dia juga yang memegang ubun-ubunnya. Dia tidak akan memberi kekuasaan kepada Iblis kecuali terhadap orang-orang yang lupa kepada Rabb-nya, Malik-nya, dan Ilāh-nya. Adapun orang-orang yang selalu ingat kepada-Nya, maka mereka akan selamat dari kejahatan dan ajakan-ajakannya yang halus.
Maka, sikap yang paling baik ialah bersandar kepada kekuatan yang tidak ada kekuatan yang sebenarnya selain kekuatan-Nya. Juga kepada hakikat yang tidak ada hakikat yang sebenarnya selain hakikat-Nya, bersandar kepada ar-Rabb, al-Malik, al-Ilāh. Sedang kejahatan bersandar kepada bisikan setan yang biasa bersembunyi, yang lemah kalau berhadapan, yang mundur dan bersembunyi bila bertemu, dan bertekuk lutut menghadapi perlindungan Allah.
Inilah gambaran yang paling lengkap mengenai hakikat yang sebenarnya tentang kebaikan dan kejahatan. Ini juga merupakan pola pandang yang paling utama untuk melindungi hati dari kekalahan dan mengisinya dengan kekuatan, kepercayaan, dan ketenangan.
Segala puji kepunyaan Allah sejak awal hingga akhir. Kepada-Nyalah kita menaruh kepercayaan dan mengharapkan pertolongan. Dialah tempat memohon pertolongan dan Maha Penolong.
Dengan memanjatkan puji kepada Allah Yang Maha Tinggi, juz ketiga puluh ini selesai.
Dengan demikian, selesailah Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān ini.