Surah an-Nas 114 ~ Tafsir Ibni Katsir

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Sūrat-un-Nās
(Manusia)

Makkiyyah atau Madaniyyah, 6 ayat
Turun sesudah Sūrat-ul-Falaq

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

An-Nās, ayat 1-6

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ. مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

[114:1]. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
[114:2]. Raja manusia.
[114:3]. Sembahan manusia.
[114:4]. dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi,
[114:5]. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
[114:6]. dari (golongan) jin dan manusia.

Ketiga ayat yang pertama merupakan sebagian dari sifat-sifat Allah s.w.t. yaitu sifat Rubūbiyyah (Tuhan), sifat al-Malik (Raja), dan sifat Ulūhiyyah (Yang disembah). Dia adalah Tuhan segala sesuatu. Yang memilikinya dan Yang disembah oleh semuanya. Maka segala sesuatu adalah makhluk yang diciptakan-Nya dan milik-Nya serta menjadi hamba-Nya.

Orang yang memohon perlindungan diperintahkan agar dalam permohonannya itu menyebutkan sifat-sifat tersebut agar dihindarkan dari kejahatan godaan yang bersembunyi, yaitu setan yang selalu mendampingi manusia. Karena sesungguhnya tiada seorang manusia pun melainkan mempunyai qarīn (pendamping)-nya dari kalangan setan yang menghiasi perbuatan-perbuatan fāḥisyah hingga kelihatan bagus olehnya. Setan itu juga tidak segan-segan mencurahkan segala kemampuannya untuk menyesatkannya melalui bisikan dan godaannya, dan orang yang terhindar dari bisikannya hanyalah orang dipelihara oleh Allah s.w.t.

Di dalam kitab shaḥīḥ disebutkan bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ قَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِيْنُهُ

Tiada seorang pun dari kamu melainkan telah ditugaskan terhadapnya qarin (teman setan) yang mendampinginya.

Mereka bertanya, “Juga termasuk engkau, ya Rasulullah?” Beliau s.a.w. menjawab:

نَعَمْ، إِلاَّ أَنَّ اللهَ أَعَانَنِيْ عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ، فَلاَ يَأْمُرُنِيْ إِلاَّ بِخَيْرٍ

Ya, hanya saja Allah membantuku dalam menghadapinya; akhirnya ia masuk Islam, maka ia tidak memerintahkan kepadaku kecuali hanya kebaikan.

Dan di dalam kitab Shaḥīḥain disebutkan dari Anas tentang kisah kunjungan Shafiyyah kepada Nabi s.a.w. yang saat itu sedang i‘tikaf, lalu beliau keluar bersamanya di malam hari untuk menghantarkannya pulang ke rumahnya. Kemudian Nabi s.a.w. bersua dengan dua orang laki-laki dari kalangan Anshar. Di saat melihat Nabi s.a.w., bergegaslah keduanya pergi dengan cepat. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda:

عَلَى رِسْلِكُمَا، إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتِ حُيَيٍّ

Perlahan-lahanlah kamu berdua, sesungguhnya ia adalah Shafiyyah binti Huyayyin.

Maka keduanya berkata, “Subhanallah, ya Rasulallah.” Rasulullah s.a.w. bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِيْ مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ، وَ إِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ يَقْذِفَ فِيْ قُلُوْبِكُمَا شَيْئًا ـ أَوْ قَالَ: شَرًّا

Sesungguhnya setan itu mengalir ke dalam tubuh anak Adam melalui aliran darahnya. Dan sesungguhnya aku merasa khawatir bila dilemparkan sesuatu (atau prasangka buruk) ke dalam hati kamu berdua.

Al-Hafizh Abu Ya‘la al-Maushuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bahr, telah menceritakan kepada kami ‘Addiy ibnu Abu Imarah, telah menceritakan kepada kami Ziyad an-Namairi, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ وَاضِعٌ خَطْمَهُ عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ، فَإِنْ ذَكَرَ اللهَ خَنَسَ، وَ إِنْ نَسِيَ، إِلْتَقَمَ قَلْبَهُ، فَذلِكَ الْوَسْوَاسُ الْخَنَّاسُ

Sesungguhnya setan itu meletakkan belalainya di hati anak Adam. Jika anak Adam mengingat Allah, maka bersembunyi; dan jika ia lupa kepada Allah, maka setan menelan hatinya; maka itulah yang dimaksud dengan bisikan setan yang tersembunyi.

Hadits ini berpredikat gharīb.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja‘far, telah menceritakan kepada kami Syu‘bah, dari ‘Ashim, bahwa ia pernah mendengar Abu Tamimah yang menceritakan hadits berikut dari orang yang pernah dibonceng oleh Nabi s.a.w.. Ia mengatakan bahwa di suatu ketika keledai yang dikendarai oleh Nabi s.a.w. tersandung, maka aku berkata, “Celakalah setan itu.” Maka Nabi s.a.w. bersabda:

لاَ تَقُلْ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ؛ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ، تَعَاظَمَ وَ قَالَ: بِقُوَّتِيْ صَرَعْتُهُ، وَ إِذَا قُلْتَ: بِاسْمِ اللهِ، تَصَاغَرَ حَتَّى يَصِيْرَ مِثْلَ الذُّبَابِ، وَ غُلِبَ

Janganlah engkau katakan, “Celakalah setan.” Karena sesungguhnya jika engkau katakan, “Celakalah setan,” maka ia menjadi bertambah besar, lalu mengatakan, “Dengan kekuatanku, aku kalahkan dia.” Tetapi jika engkau katakan, “Bismillāh,” maka mengecillah ia hingga menjadi sekecil lalat (atau dikuasai).

Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sanadnya jayyid lagi kuat. Dan di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan bahwa hati itu manakala ingat kepada Allah, setan menjadi mengecil dan terkalahkan. Tetapi jika ia tidak ingat kepada Allah, maka setan membesar dan dapat mengalahkannya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar al-Hanafi, telah menceritakan kepada kami adh-Dhahhak ibnu ‘Utsman, dari Sa‘id al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا كَانَ فِي الْمَسْجِدِ، جَاءَهُ الشَّيْطَانُ، فَأَبَسَ بِهِ كَمَا يَبِسَ الرَّجُلُ بِدَابَّتِهِ، فَإِذَا سَكَنَ لَهُ، زَنَقَهُ، أَوْ: أَلْجَمَهُ

Sesungguhnya seseorang di antara kamu apabila berada di dalam masjid, lalu setan datang, lalu setan diikat olehnya sebagaimana seseorang mengikat hewan kendaraannya. Dan jika ia diam (tidak berzikir kepada Allah), maka setan berbalik mengikat dan mengekangnya.

Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa beliau dapat menyaksikan hal tersebut. Adapun yang dimaksud dengan maznūq yakni orang yang diikat pada lehernya, maka engkau lihat dia condong seperti ini tidak berzikir kepada Allah. Adapun orang yang dikekang, maka ia kelihatan membuka mulutnya dan tidak mengingat Allah s.w.t. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.

Sa‘id ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:

الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ

Setan yang biasa bersembunyi (an-Nās: 4)

Bahwa setan bercokol (bersarang, bertempat tinggal – para penjahat dsb.) di atas hati anak Adam. Maka apabila ia lupa dan lalai kepada Allah setan menggodanya, dan apabila ia ingat kepada Allah maka setan itu bersembunyi. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan Qatadah.

Al-Mu’tamir ibnu Sulaiman telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa pernah diceritakan kepadanya, sesungguhnya setan yang banyak menggoda itu selalu meniup hati anak Adam manakala ia sedang bersedih hati dan juga manakala sedang senang hati. Tetapi apabila ia sedang ingat kepada Allah, maka setan bersembunyi ketakutan.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, al-waswas, bahwa makna yang dimaksud ialah setan yang membisikkan godaannya; apabila yang digodanya taat kepada Allah, maka setan bersembunyi.

Firman Allah s.w.t.:

الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ

Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (an-Nās: 5)

Apakah makna ayat ini khusus menyangkut Bani Adam saja sebagaimana yang ditunjukkan oleh makna lahiriah ayat, ataukah lebih menyeluruh dari itu menyangkut Bani Adam dan jin? Ada pendapat mengenainya, yang berarti makhluk jin pun termasuk ke dalam pengertian lafaz an-nās secara prioritas. Ibnu Jari mengatakan bahwa adakalanya digunakan lafaz rijālun minal jinn (laki-laki dari kalangan jin) ditujukan terhadap mereka, maka tidaklah heran bila mereka (jin) dikatakan dengan istilah an-nās.

Firman Allah s.w.t.:

مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

Dari (golongan) jin dan manusia. (an-Nās: 6)

Apakah ayat ini merupakan rincian dari firman-Nya:

الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ

Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. (an-Nās: 5)

Kemudian dijelaskan oleh firman berikutnya:

مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

Dari (golongan) jin dan manusia. (an-Nās: 6)

Hal ini menguatkan pendapat yang kedua. Dan menurut pendapat yang lainnya, firman-Nya berikut ini:

مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

Dari (golongan) jin dan manusia. (an-Nās: 6)

Merupakan tafsir dari yang selalu membisikkan godaannya terhadap manusia, yaitu dari kalangan setan manusia dan setan jin. Sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

وَ كَذلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ ٱلإِنْسِ وَ ٱلْجِنِّ يُوْحِيْ بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ ٱلْقَوْلِ غُرُوْرًا

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (al-An‘ām: 112)

Dan semakna dengan apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad, bahwa telah menceritakan kepada kami Waki‘, telah menceritakan kepada kami al-Mas‘udi, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Umar ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid al-Khasykhasy, dari Abu Dzarr yang telah menceritakan bahwa ia datang kepada Rasulullah s.a.w. yang saat itu berada di dalam masjid, lalu ia duduk, maka Rasulullah s.a.w. bertanya, “Hai Abu Dzarr, apakah engkau telah salat?” Aku (Abu Dzarr) menjawab, “Belum.” Rasulullah s.a.w. bersabda, “Berdirilah dan salatlah kamu!”

Maka aku berdiri dan salat, setelah itu aku duduk lagi dan beliau s.a.w. bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ تَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْ شَرِّ شَيَاطِيْنِ الإِنْسِ وَ الْجِنِّ

Hai Abu Dzarr, mohonlah perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan setan jin.

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah setan manusia itu ada?” Beliau s.a.w. menjawab, “Ya, ada.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan salat?” Rasulullah s.a.w. menjawab:

خَيْرُ مَوْضُوْعٍ، مَنْ شَاءَ أَقَلَّ، وَ مَنْ شَاءَ أَكْثَرَ

Salat adalah sebaik-baik pekerjaan; barang siapa yang ingin mempersedikitkannya atau memperbanyakkannya (hendaklah ia melakukan apa yang disukainya – dari salatnya itu – ).

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan puasa?” Rasulullah s.a.w. menjawab:

فَرْضٌ مُجْزِئٌ، وَ عِنْدَ اللهِ مَزِيْدٌ

Amal fardhu yang berpahala dan di sisi Allah ada tambahannya.

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan sedekah?” Rasulullah s.a.w. menjawab,

أَضْعَافٌ مُضَاعَفَةٌ

Pahalanya dilipatgandakan dengan kelipatan yang banyak.

Aku bertanya, “Manakah sedekah yang terbaik, wahai Rasulullah?” Rasulullah s.a.w. menjawab:

جَهْدٌ مِنْ مُقِلٍّ أَوْ سِرٍّ إِلَى فَقِيْرٍ

Hasil jerih payah dari orang yang merasa sedikit atau yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi kepada orang yang fakir.

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, nabi manakah yang paling pertama?” Beliau menjawab, “Adam.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah dia seorang nabi?” Nabi s.a.w. menjawab, “Ya, dia seorang nabi dan juga orang yang pernah diajak bicara langsung oleh Allah s.w.t.”

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, ada berapakah para rasul itu?” Rasulullah s.a.w. menjawab, “Tiga ratus belasan orang, jumlah yang cukup banyak.” Di lain kesempatan beliau s.a.w. bersabda, “Tiga ratus lima belas orang rasul.”

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, wahyu apakah yang paling besar yang pernah diturunkan kepada engkau?” Rasulullah s.a.w. menjawab:

آيَةُ الْكُرْسِيِّ: { ٱللهُ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّوْمُ }

Ayat kursi, yaitu, “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (al-Baqarah: 255)

Imam Nasai meriwayatkan hadis ini melalui Abu ‘Umar ad-Dimasyqi dengan sanad yang sama. Hadis ini telah diriwayatkan dengan sangat panjang lebar oleh Imam Abu Hatim ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui jalur lain dan lafaz lain yang panjang sekali; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki‘ dari Sufyan, dari Manshur, dari Dzarr ibnu ‘Abdullah al-Hamdani, dari ‘Abdullah ibnu Syaddad, dari Ibnu ‘Abbas yang mengatakan bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi s.a.w., lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dalam hatiku timbul suatu pertanyaan yang tidak berani aku mengatakannya. Lebih aku sukai jikalau aku dijatuhkan dari atas langit daripada mengutarakannya.”

Ibnu ‘Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Nabi s.a.w. bersabda:

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ رَدَّ كَيْدَهُ إِلَى الْوَسْوَسَةِ

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan sehingga hanya sampai batas bisikan (belaka).

Imam Abu Daud dan Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui hadis Manshur, sedangkan menurut riwayat Imam Nasai ditambahkan al-A‘masy, keduanya dari Dzarr dengan sanad yang sama.

Demikianlah akhir tafsir kitab Ibnu Katsīr, segala puji bagi Allah atas limpahan karunia-Nya, dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Unduh Rujukan:

  • [download id="12739"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *