Surah an-Nas 114 ~ Tafsir al-Qurthubi

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Dari Buku:

Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

 

SŪRAT-UN-NĀS

Surah ini tidak jauh berbeda dengan surah sebelumnya (yaitu sūrat-ul-Falaq), karena surah ini adalah salah satu dari mu‘awwidzatain.

At-Tirmidzi meriwayatkan, dari ‘Uqbah bin ‘Amir-il-Juhani, ia berkata: bahwasanya Nabi s.a.w. pernah bersabda: “Allah s.w.t. telah menurunkan kepadaku beberapa ayat yang belum pernah ada yang sepertinya, yaitu sūrat-un-Nās, dan sūrat-ul-Falaq.” (8521) At-Tirmidzi mengomentari: hadits ini termasuk hadits ḥasan shaḥīḥ. Dan hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ

114:1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia, 114:2. Raja manusia, 114:3. Sembahan manusia,”
(Sūrat-un-Nās [114]: 1-3).


Untuk ketiga ayat ini hanya dibahas satu masalah saja, yaitu:

Firman Allah s.w.t.: (قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ) “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.” Yakni, manusia berlindung kepada pemilik dan pengatur segala urusan mereka.

Adapun penyebutan manusia secara khusus, walaupun Allah s.w.t. adalah Tuhan bagi seluruh makhluk di semesta alam ini, ada dua alasan. (8532).

  1. Karena manusia itu lebih mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya, oleh karena itu Allah mengingatkan mereka bahwa Ia adalah Tuhan mereka walaupun seberapa pun mulianya kedudukan mereka.
  2. Karena manusia diperintahkan untuk memohon perlindungan dari segala keburukan yang datang dari jenis mereka sendiri, dengan menyebutkan mereka secara khusus Allah memberitahukan bahwa yang berhak untuk mereka mintai perlindungan hanyalah Allah saja tidak yang lainnya.

Adapun penyebutan dua ayat setelahnya, yaitu: (مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ) “Raja manusia, Sembahan manusia” Yakni karena di antara mereka ada yang menjadi raja-raja, namun Allah adalah raja yang sebenarnya. Dan karena di antara mereka ada yang menyembah Tuhan selain-Nya, oleh sebab itu Allah mengingatkan mereka bahwa Ia adalah Tuhan mereka, Ia adalah sesembahan mereka, Ia adalah satu-satunya yang berhak untuk dimintai perlindungan dan bermohon, bukan kepada raja-raja atau penguasa dari jenis mereka sendiri.

Firman Allah:

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ
114:4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi.”
(Sūrat-un-Nās [114]: 4).

Untuk ayat ini juga hanya dibahas satu masalah saja, yaitu: (مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ) “Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi.” Yakni, dari kejahatan yang suka membisikkan (dzul-waswās). Dengan makna seperti ini maka dapat diprediksi bahwa mudhāf yang seharusnya disebutkan sebelum kata (الْوَسْوَاسِ) dihilangkan. Penafsiran ini disampaikan oleh al-Farra’.

Kata: (الْوَسْوَاسِ) sendiri menggunakan ḥarakat fatḥah pada huruf wau yang memiliki makna isim, yaitu kata muwaswis (pembisik). Sedangkan bentuk mashdar dari kata ini adalah wiswas (menggunakan harakat kasrah pada huruf wau), yang maknanya adalah bisikan. Kedua bentuk ini sama seperti kata zilzāl (guncangan) dengan zalzāh (pengguncang).

Kata: (الْوَسْوَاسِ) diambil dari ungkapan: waswasat ilaihi nafsuhu waswasatan wa wiswasatan, yang artinya bisikan jiwa. Kata: (الْوَسْوَاسِ) ini juga sering digunakan untuk seorang pemburu atau anjing pemburu yang berbicara dengan cara berbisik-bisik, atau juga suara gemerincing yang keluar dari perhiasan wanita.

Diriwayatkan, bahwa (الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ) adalah nama salah satu dari anak Iblis. Dia-lah anak yang dibawa oleh Iblis kepada Hawa dan menyerahkan anak itu untuk digendongnya, lalu Iblis berkata: “Asuhlah anak ini.” Setelah Iblis pergi, datanglah Nabi Adam, dan ketika Nabi Adam melihat anak itu, ia berkata: “Wahai Hawa, apa-apa ini?” Hawa menjawab: “Musuh kita yang menitipkan anak ini, ia memintaku untuk mengasuhnya.” Lalu Nabi Adam berkata: “Bukankah aku telah memberitahukan kepadamu janganlah kamu sekali-kali menuruti permintaannya, dialah yang menjebak kita dalam perbuatan maksiat yang kita lakukan sebelumnya.” Lalu dengan geram Nabi Adam meraih anak tersebut dan memotong-motongnya hingga empat bagian, dan setiap bagiannya ia gantungkan pada satu pohon.

Ketika keesokan harinya Iblis datang kepada Hawa dan menanyakan tentang anaknya, Hawa pun menjelaskan apa yang terjadi pada hari sebelumnya dan memberitahukan apa yang dilakukan oleh Nabi Adam terhadap anaknya. Lalu Iblis berteriak memanggil anaknya: “Wahai Khannās!” maka anak itu pun hidup kembali dan menjawab panggilan ayahnya. Setelah itu Iblis menyerahkan anak itu lagi kepada Hawa, dan berpesan: “Asuhlah anak ini.”

Ketika Nabi Adam kembali ke rumahnya dan lagi-lagi menemui anak itu, tanpa bertanya kepada Hawa ia langsung membakar anak itu di atas gungukan kayu yang dibakarnya, kemudian ia membawa abu bekas pembakaran ke laut dan menebarkannya di sana.

Keesokan harinya Iblis pun datang kembali untuk melihat anaknya yang dititipkan pada Hawa, Iblis berkata: “Wahai Hawa, di manakah anakku?” lalu Hawa pun memberitahukan kembali apa yang telah dilakukan oleh Nabi Adam terhadap anak Iblis, dan Iblis pun segera meluncur ke laut dan berteriak memanggil anaknya: “Wahai Khannās!” maka anak itu pun hidup kembali dan menjawab panggilan ayahnya. Dan untuk ketiga kalinya anak itu diserahkan kepada Hawa, Iblis menekankan: “Asuhlah anakku ini.”

Nabi Adam pun naik pitam ketika melihat kembali anak itu di rumahnya, ia segera menyembelihnya dan memanggangnya, lalu ia meminta siti Hawa untuk menemaninya memakan panggangan anak Iblis itu hingga habis tak tersisa.

Pada hari selanjutnya Iblis pun datang kembali untuk melihat keadaan anaknya, namun ia tidak melihat anaknya di rumah itu, dan ia kembali bertanya kepada Hawa tentang keberadaan anaknya, dan Hawa langsung menceritakan secara mendetail apa yang telah terjadi. Lagi-lagi Iblis berteriak untuk memanggil anaknya: “Wahai Khannās! Bagian-bagian anak itu pun keluar dari perut Nabi Adam dan perut Hawa, ia hidup kembali dan menjawab panggilan ayahnya.” Anak Iblis tiba-tiba berkata: “Biarkanlah aku di situ.” Lalu Iblis pun mengizinkannya, ia berkata: “Kalau memang itu yang kamu inginkan, maka itulah tempat tinggalmu dari sekarang, yaitu di dalam dada Adam dan semua keturunannya.”

Khannās pun menetap di hati anak cucu Adam untuk mempengaruhi mereka selama mereka lengah, namun apabila mereka berdzikir kepada Allah maka ia akan lari bersembunyi.

Riwayat ini disampaikan oleh at-Tirmidzi al-Hakim dalam kitab Nawādir-ul-Ushūl, dari Wahab bin Munabbih. Namun aku tidak yakin riwayat ini benar adanya. Wallāhu a‘lam.

Adapun penamaan khunnas (teks: الْخَنَّاسِ , S.H.) itu dikarenakan ia sering bersembunyi, dan makna ini sesuai dengan makna bahasanya. Kata ini juga disebutkan pada firman Allah s.w.t.: (فَلَا أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ) “Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang.” (8543) Dan alasan bintang-bintang disebut dengan khunnas (teks: الْخَنَّاسِ , S.H.) karena sering tersembunyi dan tidak terlihat.

Beberapa ulama berpendapat, bahwa makna dari kata khunnas (teks: يَخْنِسُ ,S.H.) adalah mundur, karena ia selalu mundur tatkala seorang hamba berdzikir kepada Allah.

Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Sesungguhnya syaithan itu akan selalu menetap di hati anak cucu Adam, apabila mereka lengah maka ia akan membisik-bisikkannya, namun apabila mereka berdzikir kepada Allah maka ia akan mundur.”

Qatadah meriwayatkan, khunnas (teks: الْخَنَّاسِ , S.H.) itu adalah syaithan yang memiliki hidung yang sama dengan hidung anjing, hanya saja syaithan itu mendengus di dalam dada manusia, apabila manusia itu lengah maka ia akan membisik-bisikkannya, namun jika mereka mengingat Tuhan maka ia akan melarikan diri.

Sebuah riwayat dari Anas menyebutkan, bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda: “Sesungguhnya syaithan meletakkan hidungnya di dalam qalbu anak cucu Adam, apabila mereka mengingat Allah maka ia akan mundur, namun jika mereka melupakan Allah maka ia akan menggenggam qalbu mereka dan membisikkannya.” (8554).

Ibnu ‘Abbas mengatakan: Apabila seorang hamba mengingat Allah di dalam hatinya maka syaithan itu akan pergi, namun jika ia lalai maka syaithan akan menyerang hatinya dengan membisikkannya dan memberinya angan-angan yang indah.

Ibrahim-ut-Taimi meriwayatkan, bahwa yang pertama kali terpengaruh oleh bisikan syaithan adalah mengenai wudhu’ (apakah ia masih memiliki wudhu’ atau sudah terbatalkan).

Lalu beberapa ulama lain juga ada yang berpendapat, bahwa kata khannas bermakna kembali, karena syaithan itu akan kembali ke dalam hati seorang hamba yang lalai dari mengingat Allah. Seperti yang diriwayatkan Ibnu Jubair dari Ibnu ‘Abbas, bahwa akibat dari bisikan khannas itu ada dua bentuk (8565), yang pertama: membuat seseorang berpaling dari hidayah. Dan yang kedua: membuat seseorang dipenuhi keragu-raguan.

Firman Allah:

الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ
114:5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.”
(Sūrat-un-Nās [114]: 5).

Untuk ayat ini juga hanya dibahas satu masalah saja, yaitu:

Firman Allah s.w.t.: (الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ) “Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” Muqatil menafsirkan: sesungguhnya syaithan yang berbentuk seperti seekor babi dapat berlari-larian di aliran darah manusia di setiap ruas urat yang mereka miliki, dari kaki hingga kepala, dan yang menjadi pusat kediaman mereka adalah di qalbu manusia.

Penafsiran ini sesuai dengan hadits Nabi s.a.w. yang disebutkan dalam kitab shaḥīḥ, yaitu sabda beliau:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِيْ مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ

Sesungguhnya syaithan itu mengalir di aliran darah setiap anak cucu Adam.” (8576).

Syahr bin Hausyab meriwayatkan, dari Abu Tsa‘labat-il-Khusyni, ia berkata: Aku pernah meminta kepada Allah untuk memperlihatkan kepadaku bentuk syaithan dan tempat tinggalnya di dalam diri manusia. Ternyata permintaanku dikabulkan, dan aku dapat melihatnya, kedua tangannya berada di kedua tangan manusia, begitu pula dengan kedua kakinya dan seluruh tubuhnya, hanya saja hidungnya lebih mirip dengan hidung anjing. Apabila manusia yang ditempati olehnya mengingat Allah maka syaithan akan mundur dan membalikannya badannya, dan jika manusia tersebut tidak mengingat Allah maka syaithan akan menggenggam qalbu mereka.

Artinya, menurut Abu Tsa’labah, syaithan itu menempati seluruh tubuh manusia, menjadi bagian di dalamnya, pada setiap anggota tubuh mereka.

Diriwayatkan, dari ‘Abd-ur-Rahman bin al-Aswad, atau mungkin juga yang lainnya dari golongan tabiin yang seusia dengannya (yakni sudah tua), ia berkata: “Syaithan akan melekat di alat vital setiap pria yang melakukan perbuatan zina, lalu mengokohkannya.

Dari perkataan ini dapat juga diambil kesimpulan yang sama, yaitu bahwa syaithan menempati setiap bagian dari tubuh manusia. Pendapat ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Muqatil.

Adapun hakikat bisikan syaithan adalah ajakan untuk taat kepadanya dengan ucapan yang tersembunyi, ajakan itu akan masuk ke dalam qalbu setiap manusia tanpa dapat didengar olehnya.

Firman Allah:

مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

114:6. Dari (golongan) jin dan manusia.”
(Sūrat-un-Nās [114]: 6).

Untuk ayat ini juga hanya dibahas satu masalah saja, yaitu:

Pada ayat ini Allah s.w.t. memberitahukan, bahwa bisikan-bisikan itu juga dapat berasal dari golongan manusia.

Al-Hasan mengatakan bahwa kedua golongan itu dapat menjadi syaithan, adapun bisikan syaithan dari golongan jin disampaikan ke dalam dada manusia, sedangkan bisikan syaithan dari golongan manusia disampaikan secara terang-terangan. (8587).

Qatadah mengatakan bahwa dari golongan jin itu terdapat syaithan, dan begitu juga dari golongan manusia, oleh karena itu pada saat meminta perlindungan kepada Allah maka mintalah untuk dilindungi dari syaithan dari golongan jin sekaligus syaithan dari golongan manusia.

Diriwayatkan, dari Abu Dzarr, bahwa ia pernah berkata kepada seseorang: “Apakah kamu sudah meminta perlindungan kepada Allah dari syaithan yang berbentuk manusia?” orang tersebut balik bertanya: “Apakah ada syaithan yang berasal dari golongan manusia?” ia menjawab: “Tentu, bukankah Allah berfirman: (وَ كَذلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ الْإِنْسِ وَ الْجِنِّ) “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaithan-syaithan (dari jenis) manusia (dan jenis) jin.” (8598).

Namun sebagai kalangan berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kata an-Nās pada ayat ini bukanlah manusia, tapi juga jin, sama seperti yang disebutkan pada kata sebelumnya. Mereka terkadang disebut dengan sebutan “manusia” sebagaimana mereka juga terkadang disebut dengan sebutan “laki-laki”, seperti yang terdapat pada firman Allah s.w.t.: (وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ) “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin.” (8609). Sebagaimana mereka juga terkadang disebut dengan sebutan sekelompok atau serombongan ataupun yang lainnya. (86110).

Dengan demikian, maka kata an-Nās pada ayat ini adalah ‘athaf dari kata al-jinnah, namun hanya pengulangan dengan lafazh yang berbeda.

Beberapa masyarakat ‘Arab pernah juga menyampaikan, bahwa ketika mereka sedang berbincang-bincang, salah satu dari mereka bercerita: “…Lalu datanglah beberapa orang dari kalangan jin, namun setelah itu mereka berdiri membisu….” kemudian ketika mereka ditanya: “Siapakah kalian?” mereka menjawab: “Kami adalah sekelompok orang dari golongan jin.”

Makna yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh al-Farra’ (86211).

Lalu beberapa ulama lainnya berpendapat, bahwa makna dari kata (الْوَسْوَاسِ) adalah syaithan, kemudian pada ayat ini diterangkan bahwa syaithan itu dari golongan jin, sedangkan kata an-nās adalah ‘athaf dari kata (الْوَسْوَاسِ). Yakni, katakanlah: aku berlindung kepada Tuhan manusia, dari kejahatan syaithan yang berasal dari bangsa jin, dan dari kejahatan manusia.

Dengan penafsiran seperti ini, maka yang diperintahkan oleh ayat ini adalah memohon perlindungan dari kejahatan yang diperbuat oleh bangsa jin dan kejahatan yang diperbuat oleh sesama manusia.

Kata (الْجِنَّةِ) sendiri adalah bentuk jama‘ dari kata jinni, seperti halnya kata insun dengan kata insi. Sedangkan huruf tā’ marbūthah yang ada di akhir dari kata tersebut adalah huruf untuk menandakan bentuk mu’annats dari suatu jama‘.

Kemudian ada juga beberapa ulama yang berpendapat, bahwa Iblis itu juga membisikkan ke dalam dada bangsa jin, sama seperti bisikan yang ia dengungkan di dalam dada manusia.

Dengan penafsiran seperti ini, maka makna ayat sebelumnya bersifat umum, yakni: (الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ) “Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” Juga ke dalam dada bangsa jin. Sedangkan ayat yang terakhir ini menjelaskan tentang apa yang dibisikkan di dalam hati mereka.

Beberapa ulama berpendapat, bahwa makna dari kata (الْوَسْوَاسِ) adalah bisikan jiwa, yaitu bisikan yang berasal dari diri manusia dan bangsa jin sendiri. Dan sebuah hadits shaḥīḥ yang diriwayatkan dari Abu Hurairah menyebutkan, bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِيْ عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَكَلَّمْ بِهِ

“Sesungguhnya Allah akan mengampuni apa yang terbesit di dalam hati umatku, sebelum mereka melakukannya ataupun membicarakannya.” (86312) H.R. Muslim. Wallāhu a‘lam.

الحمد لله
Telah selesai
Tafsir-ul-Qurthubi Edisi Terjemah Indonesia.

Catatan:


  1. 852). H.R. Muslim pada pembahasan tentang tata cara shalat musafir, bab: Keutamaan Membaca Mu‘awwidzatain (1/558). Hadis ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi pada pembahasan tentang tafsir (5/453, nomor 3367).
  2. 853). Kedua alasan ini disebutkan oleh Mawardi dalam tafsirnya (6/378), al-Qurthubi sepertinya hanya menukilkan uraiannya saja tanpa menyinggung bahwa keduanya disebutkan oleh al-Mawardi.
  3. 854). At-Takwīr [81]: 15.
  4. 855). Riwayat ini disampaikan oleh as-Suyuthi dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (6/420), yang dinukilkan dari Ibnu Abi Dunia pada pembahasan tentang tipu daya syaithan, juga dari Abu Ya‘la, juga dari Ibnu Syahin pada pembahasa tentang anjuran untuk selalu berdzikir, juga dari Baihaqi pada pembahasan tentang ranting keimanan, yang diriwayatkannya dari Anas, juga dari Ibnu Katsir dalam tafsir (4/475), yang diriwayatkan dari Abu Ya‘la. Ibnu Katsir mengatakan: hadits ini termasuk hadits gharīb. Dan riwayat ini juga disebutkan oleh asy-Syaukani dalam Fatḥ-ul-Qadīr (5/764).
  5. 856). Kedua bentuk ini disebutkan oleh al-Mawardi dalam tafsirnya (6/379).
  6. 857). H.R. al-Bukhari pada pembahasan tentang hukum, bagian nomor 21, juga disebutkan pada pembahasan tentang awal mula penciptaan, bagian nomor 11. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud pada pembahasan tentang puasa, bagian nomor 78. Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah pada pembahasan tentang puasa, bagian nomor 65. Juga diriwayatkan oleh Darimi pada pembahasan tentang pembebasan hamba sahaya, bagian nomor 66. Diriwayatkan pula oleh Ahmad dalam al-Musnad (6/156).
  7. 858). Lih. Tafsīr-ul-Ḥasan-il-Bashrī (2/477).
  8. 859). Al-An‘ām [6]: 112.
  9. 860). Al-Jinn [72]: 6.
  10. 861). Pada surah al-Aḥqāf disebutkan (وَ إِذَا صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُوْنَ الْقُرْآنَ) “Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Qur’an.” (al-Aḥqāf [46]: 29).
  11. 862). Lih. Ma‘ān-il-Qur’ān (3/302).
  12. 863). H.R. Muslim pada pembahasan tentang keimanan, bab: Pengampunan Allah atas bisik hati.

Unduh Rujukan:

  • [download id="12707"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *