Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 17.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
وَ السَّمَاءِ وَ الطَّارِقِ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ. النَّجْمُ الثَّاقِبُ. إِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ. فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ. خُلِقَ مِنْ مَّاءٍ دَافِقٍ. يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَ التَّرَائِبِ. إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ. يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ. فَمَا لَهُ مِنْ قُوَّةٍ وَ لَا نَاصِرٍ. وَ السَّمَاءِ ذَاتِ الرَّجْعِ. وَ الْأَرْضِ ذَاتِ الصَّدْعِ. إِنَّهُ لَقَوْلٌ فَصْلٌ. وَ مَا هُوَ بِالْهَزْلِ. إِنَّهُمْ يَكِيْدُوْنَ كَيْدًا. وَ أَكِيْدُ كَيْدًا. فَمَهِّلِ الْكَافِرِيْنَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا
086: 1. Demi langit dan yang datang pada malam hari.
086: 2. Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?
086: 3. (Yaitu) bintang yang cahayanya menembus.
086: 4. Tidak ada suatu jiwa (diri) pun melainkan ada penjaganya.
086: 5. Maka, hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?
086: 6. Dia diciptakan dari air yang terpancar,
086: 7. yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.
086: 8. Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).
086: 9. Pada hari ditampakkan segala rahasia,
086: 10. maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatan pun dan tidak (pula) seorang penolong.
086: 11. Demi langit yang mengandung hujan,
086: 12. dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan,
086: 13. sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bāthil,
086: 14. dan sekali-kali bukanlah dia senda-gurau.
086: 15. Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu-daya yang jahat dengan sebenar-benarnya.
086: 16. Dan Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.
086: 17. Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar.
Dalam mukaddimah juz ini telah kami kemukakan bahwa surah-surah dalam juz ini menggambarkan ketukan-ketukan yang berturut-turut untuk mengetuk perasaan manusia; jalan-jalan yang keras, kuat, dan tinggi; dan teriakan-teriakan yang menggugah orang-orang yang terlelap dalam tidur. Ketukan-ketukan dan teriakan-teriakan itu terus-menerus mengetuk perasaan mereka dengan kesan yang sama, dan juru peringatan yang sama. “Bangunlah! Sadarlah! Lihatlah! Perhatikanlah! Pikirkanlah! Renungkanlah bahwa di sana ada Tuhan, rancangan, dan pengaturan! Tetapi, di sana juga ada ujian, tanggung-jawab, hisab atau pemeriksaan dan pembalasan, serta ‘adzāb yang pedih dan ni‘mat yang besar!”
Surah ini adalah salah satu contoh yang jelas bagi kekhususan-kekhususan itu. Kesannya tajam, seiring dengan jenis pemandangannya, jenis nuansa musikalnya, bunyi lafalnya, dan isyārat ma‘na-ma‘nanya.
Di antara pemandangan-pemandangan ialah sesuatu yang datang pada waktu malam, bintang yang cahayanya menembus, air yang terpancar, hujan, dan tumbuh-tumbuhan. Dan, di antara ma‘ānī-nya “aspek immateriilnya” adalah penjagaan terhadap setiap jiwa (ath-Thāriq: 4), tiadanya kekuatan dan penolong (ath-Thāriq: 9-10), kesungguhan dan keseriusan (ath-Thāriq: 13-14) dan ancaman di dalamnya yang sesuai dengan tabiat mereka (ath-Thāriq: 15-17).
Hampir-hampir surah ini mengandung apa saja yang diisyāratkan di dalam mukaddimah juz ini, bahwa “di sana ada Tuhan, pemberi peringatan, taqdīr, ujian, pertanggungjawaban, hisab dan pembalasan, dan sebagainya.”
Di antara pemandangan-pemandangan alam dan hakikat-hakikat tema surah ini, juga terdapat keserasian yang mutlak dan lembut serta memerlukan perhatian. Semuanya tampak jelas dalam untaian surah dengan susunan Qur’āninyah yang indah.
وَ السَّمَاءِ وَ الطَّارِقِ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ. النَّجْمُ الثَّاقِبُ. إِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ.
“Demi langit dan yang datang pada malam hari. Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (Yaitu) bintang yang cahayanya menembus. Tidak ada suatu jiwa (diri) pun melainkan ada penjaganya.” (ath-Thāriq: 1-4).
Sumpah ini meliputi pemandangan alam dan hakikat keimanan. Ia dimulai dengan menyebut langit dan bintang yang datang pada malam hari. Kemudian diulang lagi dengan menggunakan kata tanya sebagaimana yang biasa dipergunakan dalam ungkapan al-Qur’ān: “Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?” Seakan-akan ia adalah suatu urusan tersendiri di balik pemikiran dan pengetahuan. Kemudian dibatasinya pada bintang tertentu. Akan tetapi, tidak ada jalan untuk menentukan jenis bintang itu dalam nash ini, dan tidak penting pula untuk menentukan batasannya. Bahkan, penyampaian secara mutlak itu lebih utama bagi ma‘nanya,
Demi langit dan bintangnya yang cahayanya menembus kegelapan, yang menembus dari balik dinding yang menutupi segala sesuatu. Isyārat ini menunjukkan seputar hakikat surah dan seputar pemandangan-pemandangan yang lain, sebagaimana akan dibicarakan.
Allah bersumpah dengan langit dan bintang yang cahayanya menembus, bahwa setiap jiwa memiliki penjaga yang diperintahkan Allah untuk mengawasinya.
“Tidak ada suatu jiwa (diri) pun melainkan ada penjaganya.” (ath-Thāriq: 4).
Ungkapan dengan redaksi semacam ini memiliki ma‘na penegasan yang sungguh-sungguh, bahwa tidak ada satu pun jiwa melainkan pasti ada penjaganya yang mengawasi, menghitung, dan menjaganya. Penjaga yang diserahi tugas-tugas itu atas perintah Allah, dan untuk membantu jiwa. Karena, ia merupakan tempat penyimpanan rahasia-rahasia dan pemikiran-pemikiran. Juga karena semua ‘amal dan pembalasan tergantung pada jiwa ini.
Dengan demikian, di sana tidak ada kekacauan dan kotoran. Manusia tidaklah dibiarkan bebas tanpa pengawas. Mereka tidak dibiarkan melakukan apa saja dengan anggota-anggota fisiknya tanpa penjagaan, dan tidak dibiarkan berbuat apa saja tanpa pengawas. Akan tetapi, ia disertai dengan pengawasan dan penilaian yang amat cermat secara langsung. Ia akan dihisab sesuai dengan pengawasan yang cermat dan langsung ini.
Nash ini juga memberikan kesan yang menakutkan karena setiap jiwa merasa bahwa dia tidak sendirian, meskipun jauh dari orang lain. Karena, di sana ada yang menjaga dan mengawasinya ketika dia sedang sendirian dan terlepas dari pengawas (manusia), tersembunyi dari semua mata, dan aman dari semua ketukan. Di sana ada penjaga yang membelah semua tutup dan menembus semua tabir, sebagaimana bintang yang cahayanya menembus tirai malam yang menutupi. Ya, ciptaan Allah ini satu jua modelnya, dan sangat serasi dalam jiwa dan alam semesta.
Selesai memberikan sentuhan semesta kepada jiwa ini, dilanjutkan dengan sentuhan lain yang menguatkan hakikat taqdir dan pengaturan Ilahi, yang Dia bersumpah atasnya dengan langit dan bintang yang datang pada waktu malam. Maka, inilah kejadian pertama manusia yang menunjukkan hakikat itu. Juga yang memberi isyārat dan kesan bahwa manusia tidak dibiarkan tersia-sia, tidak dibiarkan terabaikan:
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ. خُلِقَ مِنْ مَّاءٍ دَافِقٍ. يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَ التَّرَائِبِ.
“Maka, hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada” (ath-Thāriq: 5-7).
Hendaklah manusia memperhatikan, dari apa dia diciptakan dan ke mana dia akan kembali. Dia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari tulang sulbi dan tulang dada. Dia diciptakan dari air yang memancar dari tulang sulbi laki-laki – yaitu dari tulang-tulang punggungnya – dan tulang-tulang dada wanita sebelah atas. Sesungguhnya ini merupakan rahasia tersembunyi dalam ‘ilmu Allah yang tidak diketahui oleh manusia.
Namun, setengah abad terakhir dengan adanya penyelidikan ‘ilmu pengetahuan modern yang menyingkap hakikat ini dengan metodenya, barulah diketahui bahwa di tulang-tulang belakang lelaki inilah terbentuknya sperma laki-laki, dan di tulang-tulang dada sebelah atas itu terbentuk air mani wanita. Keduanya bertemu dalam tempat yang kokoh (rahim) yang dari situ kemudian tercipta manusia.
Jarak yang jauh antara tempat penciptaan dan tempat kembali, antara air yang memancar dari sulbi laki-laki dan tulang dada wanita, dengan manusia yang mengerti dan memikirkan serta merenungkan susunan anggota tubuh, saraf, pikiran, dan jiwanya, diungkapkan dengan air yang memancar kepada manusia yang berpikir. Hal ini memberi kesan bahwa di sana, di luar diri manusia, terdapat tangan yang mendorong benda cair (sperma) yang tidak berarti, tidak punya kehendak, dan tidak memiliki kekuasaan apa pun, untuk melalui tahapan yang panjang dan mengagumkan. Sehingga, sampai menjadi makhlūq yang ideal seperti ini.
Selain itu, juga memberikan isyārat bahwa di sana ada penjaga yang dengan perintah Allah bertugas menjaga nuthfah “sperma dan ovum” yang belum berbentuk, belum berakal, belum berkehendak, dan belum berkemampuan apa-apa, dalam tahapan perjalanannya yang panjang dan mengagumkan. Semua ini mengandung keajaiban-keajaiban berkali lipat daripada keajaiban yang dialami manusia setelah kelahiran hingga kematiannya.
Sebuah sel yang dibuahi yang hampir-hampir tidak terlihat dengan mikroskop sekalipun, tiba-tiba ia mengembangkan berjuta-juta sel dalam sekali perjalanannya. Makhlūq yang tidak berharga, tidak berakal, tidak berkemampuan, dan tidak berkehendak ini, keadaannya dimulai dengan semata-mata ditetapkan keberadaannya di dalam rahim dalam suatu sistem kerja tanpa berbekal makanan apa-apa. Ia dibekali oleh tangan penjaga dengan makanan khusus dengan cara mengubah dinding rahim dan sekitarnya menjadi kolam darah yang terus mengalir dan menyediakan makanan yang segar. Hanya dengan semata-mata berkonsentrasi pada makanannya itu, ia mulai melakukan aktivitas baru. Yaitu, aktivitas pembelahan yang terus-menerus untuk membuat sel-sel darinya.
Makhlūq sederhana yang belum punyai nilai, pikiran, kemampuan, dan kehendak ini sudah mengerti apa yang harus ia perbuat dan kehendaki. Karena, ia dibekali oleh “tangan pembimbing” dengan petunjuk, pengetahuan, kemampuan, dan kehendak yang dengan begitu ia mengetahui jalan yang harus ditempuhnya (dalam perkembangannya). Ia ditugasi untuk melakukan spesialisasi terhadap masing-masing himpunan sel-sel yang baru ini untuk membangun sebuah pilar dari pilar-pilar bangunan yang besar, bangunan fisik manusia. Maka, himpunan sel yang ini bekerja membuat bangunan tulang-tulang, himpunan yang itu bekerja membuat sarana otot-otot. Kelompok ini membangun perangkat saraf, kelompok sel itu membangun perangkat limpa dan seterusnya dalam membuat pilar-pilar pokok bangunan manusia!
Akan tetapi, kerja ini tidak sesederhana itu saja. Karena, di balik itu masih ada pengkhususan yang lebih lembut lagi, dan setiap tulang dari tulang-tulang itu, setiap otot dari otot-otot itu, dan setiap saraf dari saraf-saraf itu tidak sama dengan yang lain. Karena bangunan itu amat lembut ciptaannya, amat mengagumkan kejadiannya, dan beraneka macam tugasnya. Dari sana, masing-masing kelompok saraf yang bebas belajar membangun pilar bangunan, dengan melakukan pembagian tugas secara khusus. Masing-masing kelompok melaksanakan tugasnya sesuai dengan bidang kerjanya dalam membangun pilar khusus bagi bangunan besar itu.
Setiap sel yang kecil itu mengetahui jalan yang harus ditempuhnya. Ia tahu ke mana ia pergi dan apa yang ditugaskan padanya untuk dilakukan. Tidak ada satu pun sel yang salah jalan dalam bangunan yang tinggi dan besar ini. Karena itu, sel yang bertugas membuat mata, maka ia tahu bahwa mata itu harus diletakkan di wajah, tidak boleh di perut, kaki, atau bahu. Setiap tempat dari tempat-tempat itu pun layak menjadi tempat pertumbuhan mata. Seandainya sel pertama yang ditugasi membuat mata ini berada di suatu tempat pada tubuh, niscaya ia akan membuat mata di sana. Tetapi, ia sendiri ternyata tidak mau pergi kecuali ke tempat yang khusus untuk mata dalam bangunan fisik manusia.
Maka, siapakah gerangan yang telah berkata kepadanya: “Sesungguhnya perangkat ini membutuhkan mata di tempat ini, bukan di tempat lainnya?”
Dia adalaah Allah. Dialah penjaga Yang Maha Tinggi yang memelihara, mengarahkan, dan menunjukkannya kepada jalannya di padang luas yang tidak ada yang dapat memberikan petunjuk padanya kecuali Allah.
Semua sel itu, masing-masing atau kolektif, bekerja dalam bingkai yang ditentukan untuknya dengan sejumlah sel tertentu yang merupakan kelompoknya, yang tersembunyi di dalamnya. Yaitu, kesatuan-kesatuan yang turun-temurun, yang memelihara kelangsungan jenis dan kekhususan-kekhususan pendahulunya. Maka, sel mata terbagi dan berkembang banyak untuk membentuk mata. Di dalam kerjanya, sel itu berusaha membentuk mata khusus untuk mata manusia, bukan mata binatang atau makhlūq hidup lainnya. Manusia dengan para pendahulunya memiliki bentuk mata tertentu dan kekhususan-kekhususannya. Sedikit saja penyimpangan dari ketentuan baku mata ini, baik dari segi bentuknya maupun segi-segi lainnya, akan membuatnya menyimpang dari garis yang sudah ditentukan.
Maka, siapakah gerangan yang telah memberi sel ini kemampuan seperti itu, dan mengajarinya sedemikian rapa? Padahal dia hanya sebuah sel sederhana yang tidak punya akal, pengetahuan, kehendak, dan kekuatan? Sesungguhnya yang memberikan semua itu adalah Allah. Dia mengajarkan kepadanya apa yang tidak dapat dilakukan oleh seluruh manusia untuk membuat sebutir mata atau sebagiannya saja. Sedangkan, sebuah sel atau sejumlah sel yang sederhana dapat melakukan pekerjaan yang besar ini.
Di balik gambaran sepintas kilas tentang gambaran-gambaran perjalanan yang panjang dan mengagumkan antara air yang memancar dan manusia yang berpikir ini, tersimpan sejumlah keajaiban dan keanehan yang tidak terhitung dalam perangkat-perangkat dan anggota-anggota yang istimewa, yang tidak dapat dihitung jumlahnya dalam tafsir azh-Zhilāl ini. Semua hal itu menjadi saksi atas adanya ketentuan dan pengaturan Ilahi. Juga menunjukkan adanya tangan yang memelihara, yang memberi petunjuk dan pertolongan. Hal itu dikuatkan dengan hakikat pertama yang Allah bersumpah dengan langit dan bintang yang datang pada waktu malam, sebagaimana hal ini juga sebagai pengantar bagi hakikat yang kedua. Yaitu, hakikat penciptaan terakhir (di akhirat) yang tidak dibenarkan oleh kaum musyrikīn, orang-orang yang pertama kali diajak bicara dalam surah ini.