فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ فَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ وَ أَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنْكُمْ وَ أَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ للهِ ذلِكُمْ يُوْعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَّهُ مَخْرَجًا. وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَ مَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا.
“Apabila mereka telah mendekati akhir ‘iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik. Dan, persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (ath-Thalāq: 2-3)
Inilah periode kedua dan inilah hukumnya. Dengan tibanya puncak waktu yang ditetapkan, maka berakhirlah masa ‘iddah. Bagi suami selama istrinya yang diceraikannya belum keluar dari masa ‘iddah, maka ia boleh merujuk istrinya sehingga kembali ke dalam tanggung jawabnya setelah pernyataan rujuknya itu. Inilah yang dimaksudkan dengan memegangnya kembali. Atau, sebaliknya suami membiarkan masa ‘iddah itu berlalu. Sehingga, istrinya menjadi bebas darinya dan tidak halal lagi baginya melainkan dengan akad nikah yang baru sebagaimana istri yang baru dinikahi.
Sama saja bagi seorang suami baik dia merujuk istrinya maupun berpisah dengannya, maka dia diperintahkan berlaku baik dan makruf dalam kedua keadaan itu. Seorang suami sangat dilarang merujuk istrinya untuk membahayakannya, seperti dia merujuknya sebelum masa ‘iddah habis. Kemudian dia kembali menceraikannya untuk kedua kalinya atau ketiga kalinya agar masa penantian istrinya menjadi lama tanpa bisa menikah dengan lelaki lain. Atau, seorang suami merujuk istrinya kembali dengan maksud membiarkannya menggantung dan melakukan tipu daya kepadanya agar istrinya mau menebus dirinya kepadanya dengan sejumlah harta benda.
Kedua kondisi itu terjadi ketika surah ini turun pada zaman sahabat. Dan, hingga saat ini kondisi itu akan terus terjadi setiap jiwa manusia menyimpang dari takwa kepada Allah. Dan, ketakwaan kepada Allah merupakan jaminan pertama bagi kelestarian hukum-hukum-Nya dalam hubungan suami istri dan juga perceraian.
Demikian pula seorang suami dilarang membahayakan istrinya dalam perceraian dengan hardikan, celaan, hinaan dalam ungkapan, dan dengan kemarahan. Pasalnya, ikatan perkawinan dibangun dengan kebaikan dan diakhiri pula dengan kebaikan untuk mengekalkan cinta dan kasih sayang yang ada dalam hati. Karena bisa jadi setelah perceraian itu mereka kembali berhubungan sebagai suami istri. Sehingga, kenangan-kenangan buruk tidak mengganggu mereka disebabkan oleh kalimat kotor, ejekan yang menusuk atau menyinggung kemurnian perasaan ketika mereka kembali rujuk lagi. Kemudian yang lebih penting adalah ia merupakan adab Islami yang sejati di mana Islam menganjurkan untuk berhias dengannya dalam lisan dan hati.
Dalam dua keadaan itu baik perceraian maupun rujuk, dibutuhkan kesaksian dua orang yang adil. Orang-orang yang mengetahui telah ada perceraian dan tidak mengetahui adanya rujuk, sehingga mereka menyebarkan isu macam-macam dan berkata yang tidak-tidak. Sedangkan, Islam menghendaki kemurnian dan kesucian dalam hubungan-hubungan dan ikatan-ikatan itu baik di dalam hati manusia maupun di dalam lisan mereka. Rujuk dan perceraian bisa terjadi tanpa persaksian menurut sebagian ulama. Namun, menurut sebagian ulama lainnya, kedua perkara itu baru sah bila ada persaksian dalam keduanya. Namun, setelah itu terjadi ijmak ulama bahwa persaksian harus ada baik dalam perceraian maupun rujuk.
Setelah penjelasan tentang hukum itu, muncullah sentuhan dan arahan yang berlanjut,
“…Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah…”
Jadi, persoalan ini adalah persoalan Allah dan persaksian di dalamnya adalah untuk Allah. Dialah yang memerintahkan hal itu. Dia yang mengawasi pelaksanaannya. Dan, Dia pula yang membalas ganjaran atasnya. Interaksi dalam hal itu adalah dengan Allah, bukan dengan suami atau istri ataupun manusia.
“…Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat…”
Orang-orang yang menjadi objek dari seruan hukum-hukum ini adalah orang-orang beriman yang meyakini hari akhirat. Allah menyatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya Dia menasihati mereka tentang urusan mereka. Bila mereka benar- benar jujur dalam keimanan kepada-Nya dan kepada hari Kiamat, maka mereka seharusnya menuruti nasihat dan mengambil pelajaran. Inilah tuntutan iman mereka dan inilah standar kebenaran pengakuan mereka dalam keimanan.
“...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (ath-Thalāq: 2)
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya….”
Yaitu, jalan keluar dari kesempitan dan kesulitan di dunia dan di akhirat. Juga diberikan rezeki yang tidak pernah dibayangkannya dan dinantikannya. Ia merupakan ketetapan umum dan hakikat abadi. Namun, kelekatannya di sini dengan hukum-hukum talak mengisyaratkan ketelitian realisasinya ketika orang-orang yang bertakwa benar-benar menjaga ketakwaannya kepada Allah dalam hal ini secara khusus. Ia merupakan urusan di mana standar yang paling sensitif dan paling teliti selain daripada standar perasaan dan standar nurani. Permainan dan bermain-main dalam persoalan ini sangat luas medannya. Dan, tidak ada yang dapat menghentikannya melainkan ketakwaan kepada Allah dan perasaan yang sensitif dalam nurani.
“…Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya…”
Ruang konspirasi dan tipu daya sangat luas dalam hubungan perkawinan ini. Jalur-jalurnya sangat banyak. Kadang kala tipu daya dibalas dengan tipu daya yang lain untuk melindungi diri darinya. Di sini terdapat isyarat agar tindakan tipu daya ini, beralih kepada sikap tawakal kepada Allah karena Dia pasti menjamin segala kecukupan orang-orang yang bertawakal kepada-Nya dan Dia pasti menyempurnakan segala urusan-Nya.
Apa yang ditakdirkan oleh Allah pasti terjadi, dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Maka, sikap bertawakal kepada Allah adalah sikap bergantung dan berserah diri kepada kekuasaan Tuhan Yang Mahakuasa dan kekuatan Yang Mahaperkasa, Yang Maha Berkehendak atas apa yang diinginkan-Nya, Yang Maha Menyempurnakan atas apa yang dikehendaki-Nya.
Nash ayat ini kandungannya umum. Yang dimaksudkan dengannya adalah pembentukan pandangan iman yang benar dalam hati, sesuai dengan kehendak Allah dan takdir-Nya. Namun, kemunculannya di sini berkenaan dengan hukum-hukum talak memiliki sentuhannya dan efeknya tersendiri dalam masalah ini.
“…Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (ath-Thalāq: 3)
Jadi, setiap sesuatu telah ditentukan sesuai dengan ukurannya, waktunya, tempatnya, kandungan-kandungannya, hasil-hasilnya, dan sebab-sebabnya. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi secara kebetulan dan tidak ada sesuatu pun yang sia-sia dalam seluruh alam semesta ini dan dalam jiwa manusia dan kehidupannya. Ia merupakan hakikat yang agung di mana aspek yang besar dari pandangan keimanan terbangun di atasnya.
Kami telah menjelaskan bahasan ini secara terperinci ketika kami memaparkan bahasan tentang firman Allah,
“…Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (al-Furqān: 2)
Dan, ketika kami membahas ayat,
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar: 49)
Namun, Allah menyebutkan kembali hakikat umum ini di sini, untuk mengikatkan dengan takdir-Nya tentang talak dan masa berlakunya, tentang ‘iddah dan periode berakhirnya, serta tentang persaksian dan penegakkannya. Allah menentukan karakter hukum-hukum talak ini dengan karakter sunnah-Nya yang pasti terlaksana dan hukum-Nya yang umum. Juga meletakkan dalam gambaran perasaan bahwa urusan talak ini adalah urusan yang serius dan sungguh-sungguh yang terambil dari sistem alam semesta yang ditentukan dalam setiap ciptaan Allah.
وَ اللَّائِيْ يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَ اللَّائِيْ لَمْ يَحِضْنَ وَ أُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا. ذلِكَ أَمْرُ اللهِ أَنْزَلَهُ إِلَيْكُمْ وَ مَنْ يَتَّقِ اللهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا.
“Dan wanita-wanita yang tidak haid lagi (monopause) di antara wanita-wanitamu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula) wanita-wanita yang tidak haid. Dan wanita-wanita yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (ath-Thalāq: 4-5)
Ini merupakan batasan periode masa ‘iddah bagi wanita-wanita cerai yang tidak aktif haidnya dan tidak dalam keadaan hamil. Ia meliputi wanita-wanita menopause dan wanita-wanita yang belum pernah haid baik karena masih kecil dan belum cukup umur maupun disebabkan oleh suatu penyakit. Hal itu dikarenakan masa ‘iddah yang telah dijelaskan dalam surah al-Baqarah sebelumnya adalah berlaku bagi wanita-wanita yang masih haid. Yaitu, selama tiga masa haid atau tiga masa suci sesuai dengan perbedaan fiqih dalam masalah ini.
Sedangkan, bagi wanita-wanita yang tidak lagi aktif haidnya dan wanita-wanita yang belum pernah haid sama sekali, maka hukumnya masih membingungkan, yaitu bagaimana mereka menghitung masa ‘iddahnya? Maka, turunlah ayat ini yang menjelaskan dan menghilangkan kebingungan dan keraguan, dan menentukan bahwa ‘iddah kedua kelompok wanita itu adalah tiga bulan, karena kedua kelompok wanita itu sama-sama tidak haid. Sedangkan, wanita hamil masa ‘iddahnya adalah masa kelahiran bayinya, baik waktunya lama maupun cepat. Walaupun setelah itu sebetulnya ada empat puluh hari menanti masa suci dari nifas, karena kesucian rahim pada saat itu telah benar-benar meyakinkan, sehingga tidak dibutuhkan lagi kepada masa penantian habis masa nifas.
Adapun wanita cerai yang hamil menjadi terlepas secara mutlak dari mantan suaminya setelah melahirkan, sehingga tidak ada hikmah apa-apa dalam penantian masa ‘iddah baginya setelah itu. Selanjutnya wanita itu tidak boleh dirujuk lagi oleh mantan suaminya melainkan dengan akad nikah yang baru. Dan, Allah telah menentukan segala perkara tentang ketentuan-ketentuannya, dan tidak ada satu hukum pun melainkan di baliknya terdapat hikmah.
Itulah penjelasan tentang hukum, kemudian muncullah penjelasan tentang sentuhan-sentuhan dan komentar-komentar,
“…Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (ath-Thalāq: 4)
Kemudahan dalam urusan merupakan puncak yang diharapkan dan dicita-citakan oleh setiap manusia. Sesungguhnya merupakan kenikmatan yang sangat besar bila Allah menjadikan segala urusan menjadi mudah bagi hamba-hamba-Nya, sehingga tidak ada lagi kelelahan, kesulitan, kerumitan, dan kesempitan. Para hamba Allah akan menyelesaikan segala urusan dengan mudah dalam perasaan dan takdirnya. Mereka dapat meraihnya dengan mudah dalam gerakan dan amalnya. Mereka pun merasa puas karena kemudahan mendapatkan hasil dan nilainya. Dan, mereka pun hidup dalam segala kemudahan hingga menemui Allah. Sesungguhnya Allah menganjurkan kemudahan dalam perkara talak dengan menjanjikan balasan dan gantinya berupa kemudahan di dalam seluruh aspek kehidupan.
“Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu,….”
Ini merupakan sentuhan lain dalam bidang dan segi yang lain. Suatu sentuhan yang sungguh-sungguh dan menarik perhatian kepada sumber perintah. Allah yang telah menurunkan perintah itu, yang diturunkan bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Jadi ketaatan kepada Allah merupakan realisasi nyata dari iman dan realisasi hakikat hubungan antara mereka dengan Allah.
Kemudian redaksi kembali kepada takwa yang digugah secara terus-menerus dalam ruang paragraf ini,
“…Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (ath-Thalāq: 5)
Balasan pertama bagi sikap takwa adalah kemudahan dalam segala urusan. Dan, balasan kedua adalah Allah menghapus dosa-dosa dan memperbesar pahala setelah penghapusan dosa. Itu merupakan rangsangan dan tawaran yang sangat menggiurkan. Ia merupakan hukum umum dan keadilan yang meliputi segalanya. Namun, ia mencabut segala nuansa dan naungan tema talak lalu memenuhi hati dengan perasaan akan kehadiran Allah dan anugerah-Nya yang umum. Oleh karena itu, orang yang demikian tidak akan mendapatkan kesulitan dan kerumitan karena Allah memenuhinya dengan segala kemudahan, ampunan, dan pahala yang besar.
أَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُجْدِكُمْ وَ لَا تُضَارُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّ وَ إِنْ كُنَّ أُوْلَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ وَ أْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍ وَ إِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى. لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهِ وَ مَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا.
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan, jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Kemudian Jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik. Dan, jika kamu menemui kesulitan, maka wanita lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan, orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (ath-Thalāq: 6-7)
Ini adalah penjelasan terakhir tentang perincian tempat tinggal istri di rumah, dan pemberian infak dalam masa ‘iddah sesuai dengan masanya yang berbeda-beda. Jadi yang diperintahkan adalah memberikan tempat tinggal sesuai dengan kemampuan suami, tidak boleh rendah dari tempat tinggal suami atau lebih rendah dari ukuran kemampuan dan kekayaannya. Para suami tidak boleh sengaja membahayakan istri-istrinya dengan menekan mereka dalam ukuran tempat tinggal, atau tingkat kelayakannya, atau dalam bermuamalah dengannya.
Allah mengkhususkan penjelasan nafkah bagi istri-istri yang hamil, (padahal semua wanita cerai wajib dinafkahi) karena lamanya waktu kehamilan bisa jadi dipahami oleh orang bahwa kewajiban memberi nafkah hanya sebagian masa waktu hamil saja, dan tidak usah disempurnakan sisanya. Atau, masa pemberian nafkah harus ditambah dan diperpanjang karena masa hamilnya sangat pendek dan waktu melahirkan telah begitu dekat setelah perceraian itu. Sehingga, Allah pun mewajibkan nafkah hingga selesai melahirkan dan ia merupakan masa berakhirnya periode ‘iddah untuk tambahan penjelasan syariatnya.