Surah ath-Thalaq 65 ~ Tafsir Sayyid Quthb (3/5)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah ath-Thalaq 65 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Beberapa Ketentuan tentang Talak dan Iddah

Sekarang kami paparkan hukum-hukum yang ada dalam arahan surah ini. Hukum-hukum yang ada dalam surah ini adalah hukum lain, bukan hukum-hukum yang dijelaskan secara ringkas dalam bahasan sebelumnya. Ia adalah sesuatu yang hidup, di dalamnya terdapat ruh, di dalamnya terdapat gerakan, di dalamnya terdapat kehidupan, di dalamnya terdapat isyarat, dan ia memiliki pengaruh yang membekas. Inilah perbedaan yang mencolok antara studi hukum dalam al-Qur’ān dengan studi hukum dalam kitab-kitab fiqih dan usul fiqih.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَ أَحْصُوا الْعِدَّةَ وَ اتَّقُوا اللهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْ بُيُوْتِهِنَّ وَ لَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَ تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ وَ مَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِيْ لَعَلَّ اللهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذلِكَ أَمْرًا.

Hai nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.” (ath-Thalāq: 1)

Inilah periode pertama dan hukum pertama yang diserukan oleh arahan Allah kepada Rasulullah,

Hai nabi,….

Kemudian tampak bahwa hukum itu dikhususkan bagi semua orang yang beriman, bukan untuk Rasulullah secara pribadi,

Apabila kamu menceraikan istri-istrimu….

Susunan ungkapan ini mengisyaratkan apa yang ada di baliknya, yaitu membangkitkan perhatian serta menggambarkan kesungguhan dan keseriusan. Jadi ia merupakan urusan yang penting, di mana Allah menyeru nabi-Nya secara pribadi untuk membebankan perintah-Nya kepadanya sebagaimana Dia menyampaikannya bagi orang-orang setelahnya. Ia merupakan isyarat dan sentuhan kejiwaan yang sangat jelas terhadap apa yang dimaksudkan dan diinginkan untuk dimeriahkan dan disambut dengan gembira.

…Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar)…

Mengenai batasan dari nash ini telah disebutkan sebuah riwayat hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari. Lafazhnya berbunyi, “Kami diberitahukan hadits oleh Yahya bin Bukair, dari al-Laits, dari Ugail, dari Ibnu Syihab, dari Salim bahwa sesungguhnya Abdullah bin Umar menceraikan istrinya ketika dia sedang haid. Kemudian Umar r.a. mengabarkan hal itu kepada Rasulullah, maka Rasulullah pun marah kemudian bersabda,

Hendaklah dia rujuk kepadanya, lalu tetap mempergaulinya sebagai istri hingga istrinya bersih dari haidnya. Kemudian istrinya haid lagi dan menjadi suci lagi. Dan, bila dia tetap ingin menceraikannya, maka hendaklah dia menceraikannya pada saat istrinya dalam keadaan suci dan sebelum dia menyetubuhinya. Itulah iddah yang dengannya diperintahkan oleh Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahatinggi.” (HR Bukhari)

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dengan lafazh,

Itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk menceraikan wanita.

Oleh karena itu, haruslah ditetapkan waktu tertentu untuk menjatuhkan talak. Seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya sesuka hatinya kapan saja, melainkan istrinya harus berada dalam keadaan suci dari haidnya, dan pada keadaan suci di antara keduanya belum terjadi persetubuhan (jima). Beberapa riwayat atsar yang lain menentukan bahwa di sana terdapat waktu lain yang kedua di mana seorang suami boleh menjatuhkan talak kepada istrinya, yaitu bila istri sedang hamil dan kehamilannya jelas tampak.

Hikmah dalam penentuan waktu ini adalah bahwa diharapkan jatuhnya talak tersebut mundur hingga setelah waktu yang biasanya jiwa pada saat itu sering mengarah kepada talak. Dan, dorongan itu bisa mereda bila keinginan menjatuhkan talak tersebut muncul tiba-tiba, dan jiwa seseorang pun kembali tenang dan stabil.

Sebagaimana di dalamnya terdapat hikmah untuk mengecek ada atau tidaknya kehamilan sebelum terjadinya perceraian. Dan, bisa jadi seorang suami tidak jadi menjatuhkan talak, bila dia tahu bahwa istrinya sedang hamil. Namun, bila dia terus maju untuk mentalak istrinya, walaupun istrinya telah jelas-jelas hamil, berarti dia telah benar-benar ingin menceraikan istrinya. Jadi, pensyaratan istri dalam keadaan suci tanpa terjadi jima pada saat itu, untuk memastikan kekosongan rahim dan tidak adanya kehamilan. Sedangkan, persyaratan kejelasan terjadinya kehamilan dimaksudkan agar urusan ini terang dan jelas.

Ini merupakan usaha pertama untuk membangun keseriusan dalam membina rumah tangga, dan usaha mencegah rintangan dan halangan dari pembangunan rumah tangga itu. Hal ini bukanlah dimaksudkan bahwa talak itu tidak boleh terjadi melainkan hanya dalam periode waktu yang ditetapkan itu. Talak itu terjadi kapan saja ketika seorang menceraikan istrinya. (11) Namun, jatuhnya talak dalam periode selain waktu yang ditetapkan itu adalah suatu yang dibenci oleh Allah dan dilaknat oleh Rasulullah. Hukum ini sudah cukup bagi seorang mukmin untuk berpegang kepadanya hingga tibanya waktu yang ditetapkan oleh Allah. Maka, Allah menetapkan sesuatu yang dikehendaki-Nya dalam masalah ini.

...Dan hitunglah waktu iddah itu…

Hal itu dimaksudkan agar tidak ada perpanjangan waktu bagi wanita yang diceraikan disebabkan tidak adanya perhitungan ‘iddah. Dan, akhirnya menjadi suatu yang berbahaya baginya karena hal itu dapat mencegahnya dari pernikahan dengan lelaki lain setelah habisnya masa ‘iddahnya. Atau, bisa jadi terjadi kekurangan masa ‘iddah sehingga maksud yang diinginkan dari tenggang waktu masa ‘iddah itu tidak tercapai. Yaitu, meyakinkan bahwa rahim wanita yang diceraikan sedang dalam keadaan suci dari kehamilan untuk menjaga agar nasab tidak bercampur baur. Kemudian hal itu mengisyaratkan adanya perhitungan yang teliti yang menunjukkan betapa pentingnya urusan ini. Juga adanya pengawasan dari langit untuknya, dan seruan kepada orang-orang yang terkait agar teliti di dalamnya.

Serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan Janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang….

Ini merupakan peringatan pertama. Ia merupakan peringatan pertama dari Allah dan pengutamaan ketakwaan terhadap-Nya, sebelum urusan larangan mengeluarkan istri-istri dari rumah-rumah mereka. Yaitu, rumah-rumah suami mereka. Namun, Allah menyebutnya sebagai rumah-rumah istri-istri mereka sebagai penguat dan penegasan tentang hak istri-istri itu dalam menempati dan tinggal di dalamnya selama periode masa ‘iddah.

Mereka tidak boleh dikeluarkan darinya dan mereka pun tidak boleh keluar dengan kemauan sendiri, kecuali dalam kondisi mereka melakukan perbuatan keji yang jelas dari mereka. Telah disebutkan bahwa perbuatan keji itu berupa zina sehingga wanita itu harus keluar untuk menerima hukuman ḥad. Bisa juga berupa penyiksaan dan perbuatan zalimnya kepada keluarga suaminya. Bisa juga berupa perbuatan nusyūz (pembangkangan) terhadap suami walaupun dia telah menceraikannya, dan berupa perbuatan yang menyakitinya.

Hal itu disebabkan hikmah dari menetapnya istri yang diceraikan di rumah suaminya itu adalah memberikan kesempatan untuk rujuk kembali, membangkitkan gelora-gelora cinta dan kasih sayang, dan mengungkit kenangan-kenangan hidup bersama di antara mereka berdua. Bisa saja dengan disebabkan perceraian istri menjadi jauh, namun dia tetap dekat di mata suaminya di rumahnya. Sehingga, kondisi akan berpengaruh terhadap keduanya.

Namun, bila istri itu melakukan zina padahal dia berada di rumah suaminya, atau dia mengganggu keluarganya, atau dia melakukan nusyūz terhadapnya, maka tidak ada peluang dan kesempatan lagi untuk membangkitkan perasaan-perasaan dan kenangan-kenangan yang baik, atau menghidupkan kembali perasaan cinta dan kasih sayang yang terpendam. Dengan demikian, tidak diperlukan lagi meminta istri untuk tetap tinggal dalam periode ‘iddah itu. Pasalnya, kedekatan suami dengan istrinya pada kondisi demikian malah semakin memutuskan ikatan-ikatan dan menjauhkan, sama sekali tidak menghidupkan dan membangkitkannya kembali.

Itulah hukum-hukum Allah…

Inilah peringatan yang kedua. Jadi penjaga dan pemelihara atas hukum ini adalah Allah. Lantas siapa di antara orang-orang beriman yang berani menantang hukuman ḥad yang dijaga oleh Allah? Sesungguhnya hal itu merupakan kebinasaan dan kehancuran.

Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri…

Dia telah menzalimi dirinya sendiri karena keberaniannya menantang Allah seperti itu. Dengan perlakuan itu, dia telah menzalimi dirinya dengan menzalimi suaminya. Padahal, dia dan suaminya berasal dari jiwa yang satu. Jadi, kalau dia menzalimi suaminya, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri dengan pertimbangan itu.

...Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengada- kan sesudah itu suatu hal yang baru.” (ath-Thalāq: 1)

Ayat ini merupakan sentuhan yang membekas. Siapa yang mengetahui kegaiban yang disimpan oleh Allah, qadar-Nya yang tersembunyi di belakang perintah-Nya untuk menghitung masa ‘iddah, dan perintah-Nya agar wanita yang dicerai tetap tinggal di rumah suaminya selama masa ‘iddah. Sesungguhnya di sana terdapat harapan dan ia membangkitkan cita-cita. Mungkin semuanya adalah kebaikan. Mungkin juga keadaan berubah dan berganti menjadi kepuasan dan keridhaan. Pasalnya, qadar Allah itu bergerak terus, berganti terus, dan kejadian-kejadian terjadi terus-menerus. Sikap menyerahkan segala urusan kepada Allah itulah perkara yang utama dan terbaik. Menjaga hubungan dengan-Nya adalah lebih tertuntun dan terarah. Di dalam ketakwaan dan merasakan pengawasan-Nya terdapat segala kebaikan.

Jiwa manusia bisa dikuasai oleh keadaan yang sedang terjadi dengan segala kondisi dan sentuhan yang ada di dalamnya. Bisa jadi segala jalan keluar menuju masa depan tertutup. Sehingga, jiwa menjalani hidup dalam penjara situasi dan kondisi yang terjadi. Dan, ia merasakan bahwa situasi itu gelap selamanya, dan bahwa segala kondisi dan keadaan yang terjadi akan selalu menyertainya dan mengusirnya. Ini merupakan penjara jiwa yang mengunci dan merusak otot-otot dalam banyak hal.

Namun, bukan itu hakikatnya, karena qadar Allah selalu bekerja, selalu berganti, dan selalu berubah. Juga selalu menciptakan sesuatu yang tidak terlintas dalam perhitungan manusia berkenaan keadaan dan situasi. Yaitu, jalan keluar dan keluasan setelah mengalami kesempitan, kemudahan setelah kesulitan, dan kelapangan setelah mengalami kesukaran rezeki. Allah dalam setiap hari selalu sibuk dengan segala urusan. Dia akan menampakkannya bagi makhluk setelah hal itu tertutup dari mereka.

Allah menghendaki agar hakikat ini tertanam kokoh dalam diri manusia. Sehingga, mereka selalu berharap terhadap apa yang diperbuat oleh Allah dalam segala urusan yang selalu diperbaharui-Nya dan pintu-pintu harapan selalu terbuka terhadap perubahan situasi dan kondisi yang dialami. Juga agar jiwa-jiwa mereka selalu dinamis dengan harapan-harapan, optimis dengan cita-cita, dan tidak terbentur dengan pintu-pintu jalan keluar yang terkunci. Dan, ia tidak hidup dalam penjara situasi dan kondisi yang terjadi. Situasi dan kondisi yang akan datang bisa jadi membawa sesuatu yang tidak pernah terbayangkan.

...Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.” (ath-Thalāq: 1)

Catatan:

  1. 1). Ini adalah pendapat paling kuat dari pendapat ahli fiqih. Di sana ada pendapat bahwa talak itu tidak terjadi melainkan hanya dalam periode waktu yang ditetapkan itu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *