Sesungguhnya ia memiliki banyak petunjuk dan arahan yang semuanya terhimpun dalam kemuliaan agama ini. Juga kesungguhan dan kemunculannya dari sumber yang secara pasti bukan dari manusia, hingga walaupun di sana tidak ada petunjuk lain selain petunjuk yang terdapat dalam surah ini.
Petunjuk pertama. Sesungguhnya ia menunjukkan pentingnya urusan keluarga dalam sistem kehidupan yang islami.
Sesungguhnya Islam mengatur sistem keluarga. Dalam pandangan Islam, rumah merupakan tempat tinggal dan istirahat. Di dalamnya setiap jiwa harus mendapatkan kasih sayang, rahmat, cinta, tirai penutup, perhiasan, penjagaan, dan kesucian. Dalam naungan rumah itu, anak-anak tumbuh dan generasi baru berangsur-angsur mencapai kesempurnaan. Dan, dari rumah itu pula ikatan-ikatan kasih dan hubungan-hubungan ketergantungan dan pengasuhan berkembang.
Oleh karena itu, Islam menggambarkan hubungan rumah tangga dengan gambaran yang halus dan lembut, yang darinya tersebar sifat kasih sayang, di dalamnya terbentang naungan, dan menyebarkan semangat dan wangi keharuman yang semerbak di dalamnya,
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang…” (ar-Rūm: 21)
“…Mereka itu adalah pakaian bagim dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka….” (al-Baqarah: 187)
Jadi, hubungan rumah tangga merupakan hubungan dan ikatan antara jiwa dengan jiwa. Ia merupakan hubungan dan ikatan antara tempat tinggal dengan kestabilan. Ia merupakan hubungan dan ikatan antara cinta dengan kasih sayang. Dan, ia merupakan hubungan dan ikatan antara tirai penutup dan perhiasan. Sesungguhnya manusia pasti merasakan cinta dan kelembutan dalam ungkapan-ungkapan, dan dari sela-selanya dia mendapatkan semangat dan naungan.
Sesungguhnya ia merupakan ungkapan sempurna tentang hakikat hubungan yang diwajibkan oleh Islam dalam membina ikatan manusia yang melekat dan kuat. Pada saat yang sama, segala maksud dan tujuan puncak dari ikatan perkawinan sangat diperhatikan dan diprioritaskan. Di antaranya, perkembangan dan penerusan keturunan. Islam memberikan porsi yang cukup terhadap segala tujuan dan maksud dengan karakter kebersihan dan kesuciannya. Juga pengakuan terhadap kesungguhan dan keseriusannya serta mengatur antara arahan dan problematikanya. Hal itu ditunjukkan ketika Allah menyatakan,
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam…” (al-Baqarah: 223)
Dalam hal ini, Allah memperhatikan makna kesuburan dan perkembangbiakan.
Islam meliputi sarang ini, atau buaian ini, atau tempat tinggal ini (maksudnya rumah tangga) dengan segala perhatian dan jaminan sebagaimana tabiat Islam demikian adanya yang memandang segala sesuatu secara totalitas. Karena sesungguhnya Islam itu tidak cukup hanya semangat-semangat ruhiah, namun ia harus diikuti dengan sistematika hukum dan jaminan syariat.
Orang yang memahami sistem keluarga dalam al-Qur’an dan hadits pada setiap persepsinya dan bagi setiap keadaannya, kemudian menyaksikan pengarahan-pengarahan yang menyertai pensyariatan itu dan penghimpunan yang jelas di sekitarnya dengan segala pengaruh dan komentar, serta dalam mengaitkan urusan rumah tangga ini dengan Allah secara langsung dalam setiap temanya, sebagaimana yang tampak dalam surah ini dan surah lainnya…, pasti dia mengetahui secara sempurna tentang agungnya urusan keluarga dalam sistem ajaran Islam. Juga betapa tingginya nilai keluarga ini di sisi Allah. Dalam hal ini dia telah menghimpun antara takwa kepada Allah dan takwa silaturahmi yang difirmankan oleh Allah di awal surah an-Nisā’,
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrimu, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak. Dan, bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (an-Nisā’: 1)
Sebagaimana Islam juga menghimpun antara persembahan ibadah kepada Allah dengan berbakti kepada kedua orang tua dalam surah al-Isrā’ dan surah lainnya,
“Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (al- Isrā’: 23)
Islam pun menjelaskan tentang kesyukuran kepada Allah dan kesyukuran kepada kedua orang tua dalam surah Luqmān,
“…Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqmān: 14)
Sesungguhnya perhatian yang sangat jauh dan mendalam tentang perkara keluarga ini seiring dengan ketentuan qadar Ilahi dalam membangun kehidupan manusia atas asas keluarga. Yaitu, ketika ketentuan qadar Allah berlaku bahwa sarang pertama yang berwujud dalam kehidupan manusia adalah keluarga Adam dan istrinya. Kemudian manusia berkembang biak dari sarang pertama ini menjadi banyak sekali. Padahal, Allah Maha Berkuasa untuk menciptakan berjuta-juta manusia sekaligus.
Namun, ketentuan qadar Allah menentukan hal ini untuk sebuah hikmah yang tersimpan dalam kewajiban dan tugas keluarga yang agung dalam kehidupan manusia. Dan, manusia dengan bekal fitrah dan potensinya mampu memenuhi segala kebutuhan kehidupan keluarga. Dalam institusi keluargalah kepribadian seorang manusia dan keistimewaan-keistimewaannya tumbuh. Dan, di sanalah dia menemukan pengaruh-pengaruh dan efek-efek yang paling mendalam pada kehidupannya.
Kemudian perhatian yang besar ini berlaku dalam sistem Islami (ia merupakan manhaj Allah yang terakhir di muka bumi) seiring dengan qadar Allah dalam penciptaan manusia secara aksioma, sebagaimana demikianlah hakikatnya terjadi keserasian dalam segala sesuatu yang bersumber dari Allah tanpa cacat dan pertentangan.
Petunjuk kedua dari arahan surah ini dan dari himpunan sistem hubungan-hubungan rumah tangga dan keluarga, dengan penghimpunan yang ada dalam seluruh al-Qur’an, adalah pengarahan sistem Islami untuk mengangkat hubungan-hubungan manusia ini ke derajat kesucian yang berhubungan dengan Allah. Lalu, mengambilnya sebagai sarana untuk pensucian ruh dan kebersihan perasaan. Bukan seperti pandangan keyakinan-keyakinan animisme atau dalam pandangan agama-agama yang menyimpang dan sangat jauh dari hakikat fitrah yang telah diciptakan oleh Allah pada diri manusia.
Sesungguhnya Islam tidak memerangi dorongan-dorongan fitrah dan tidak pula menganggapnya sebagai perkara yang kotor. Namun, Islam mengaturnya, membersihkannya, dan meninggikannya melampaui tingkat binatang. Islam meningkatkannya hingga mencapai tingkat standar di mana adab-adab pribadi dan masyarakat dapat leluasa bergerak diatasnya.
Islam membangun hubungan-hubungan lawan jenis dan seksual atas dasar perasaan manusiawi yang mulia dan tinggi. Ia mengatur pertemuan dua jenis manusia sebagai pertemuan yang menyatukan dua ruh, dua hati, dan dua jiwa. Atau, dengan ungkapan yang lebih lengkap, ia mempertemukan dua manusia yang diikat oleh kehidupan yang saling menopang, cita-cita yang saling mendukung, angan-angan yang saling membina, serta masa depan yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Mereka berdua bertemu dalam membina keturunan yang didambakan. Mereka bahu-membahu dalam membangun generasi baru, yang akan tumbuh dalam sarang yang sama, di mana kedua orang tua berfungsi sebagai penjaga di dalamnya dan keduanya tidak boleh berpisah dan berseberangan.
Islam memandang dan menganggap bahwa pernikahan merupakan sarana menuju kesucian dan ketinggian. Islam mengajak kaum muslimin untuk menikahkan laki-laki dan wanitanya yang sendirian bila harta benda menjadi penghalang untuk merealisasikan sarana yang penting ini dengan tujuan membersihkan kehidupan dan meningkatkannya,
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang wanita. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (an-Nūr: 32)
Allah menyebutkan bahwa pernikahan adalah “iḥshān” yaitu penjagaan dan perlindungan. Dan, telah tertanam kokoh dalam hati orang-orang yang beriman bahwa meneruskan kehidupan tetap dalam kesendirian tanpa perkawinan tidak akan mendapat ridha Allah.
Imam Ali segera menikah lagi setelah wafat istrinya Fatimah binti Rasulullah Ia berkata, “Aku takut menemui Allah sementara aku masih dalam keadaan sendirian.”
Maka, pernikahan dalam tradisi seorang mukmin merupakan perkara ketaatan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah Tuhannya. Dan, hubungan ini meningkat ke tempat yang suci dalam nuraninya karena ia merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah.
Petunjuk ketiga dalam arahan redaksi surah ath-Thalāq ini dan surah-surah yang semisal dengannya, adalah praktisnya dan aktualnya sistem Islami dan sistem muamalahnya dalam kehidupan dan jiwa manusia sebagaimana yang terdapat dalam fitrahnya bersama dengan usaha meningkatkannya ke tingkat yang lebih mulia lewat potensi-potensi dan pengaruh-pengaruh kehidupannya. Oleh karena itu, tidak cukup hanya mensyariatkan hukum-hukum detail dalam permasalahan yang disandarkan kepada nurani ini. Dan, tidak cukup hanya dengan mengandalkan pengarahan. Namun, ia harus memberdayakan kedua hal itu dalam menghadapi kenyataan jiwa dan kenyataan hidup.
Sesungguhnya kaidah mendasar dalam ikatan perkawinan adalah kestabilan dan kelanggengan. Islam meliputi ikatan ini dengan segala bentuk garansi yang menjamin kestabilan dan kelanggengan itu. Dalam mewujudkan tujuan puncak itu, Islam mengangkat hubungan itu kepada martabat ketaatan dan membantu pembinaannya dengan biaya negara bagi para fakir miskin baik laki-laki maupun wanita.
Islam mewajibkan adab-adab yang menghalangi orang dari berbuat tabarruj (berdandan menor dan berlebihan) dan menimbulkan fitnah seksual, agar dorongan-dorongan nafsu tetap dapat dikendalikan. Juga agar hati tidak cenderung merespon dan mempedulikan bisikan-bisikan fitnah yang bertebaran secara mencolok di pasar-pasar.
Islam mewajibkan ḥad zina dan ḥad bagi tuduhan berbuat zina (al-qadzaf). Islam juga menetapkan kehormatan rumah tangga dengan mewajibkan meminta izin kepada penghuninya sebelum memasukinya.
Selain itu, Islam mengatur ikatan-ikatan perkawinan dengan syariat yang mengikat. Juga membangun institusi rumah tangga yang berdiri di atas kepemimpinan salah satu dari pasangan (suami). Karena, dia lebih memiliki potensi untuk memimpin. Hal ini sebagai antisipasi terhadap kekacauan, benturan, dan pertentangan disertai dengan jaminan-jaminan lain. Juga bersama pengarahan-pengarahan yang diliputi dengan kasih sayang dan di atas acuan ikatan hubungan-hubungan ini dengan takwa kepada Allah dan merasakan pengawasan-Nya.
Namun, kehidupan yang nyata membuktikan bahwa di sana terdapat kondisi-kondisi di mana benturan-benturan dan pertentangan-pertentangan terjadi walaupun telah ada jaminan-jaminan dan pengarahan-pengarahan. Kondisi-kondisi itu harus pula dihadapi dengan aksi-aksi yang nyata sesuai dengan logika fakta yang nyata. Dan, hal itu tidak dapat diingkari ketika kehidupan perkawinan berada di ambang kehancuran. Pada saat seperti itu mempertahankan kehidupan rumah tangga merupakan perkara yang sia-sia dan terbangun tanpa asas.
Islam tidak segera memutuskan ikatan perkawinan tersebut dan membubarkannya secara total dan serta merta ketika ucapan talak itu keluar, dan ketika pertama kali terjadinya perselisihan. Namun, Islam malah menguatkan ikatan itu dengan kuat dan tidak membiarkannya terputus melainkan setelah usaha dan upaya yang maksimal. Setelah hal itu tidak memungkinkan dan harapan telah terputus dari mempertahankan ikatan itu, barulah Islam mengesahkannya.
Sesungguhnya Islam membisikkan kepada setiap suami,
“...Dan, bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisā’: 19)
Islam menganjurkan para suami untuk menanti dan bersabar walaupun sangat membenci istrinya, dan membuka pintu dan jalan keluar yang masih samar-samar,
“…Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisā’: 19)
Bisa jadi para suami itu belum mengetahui bahwa pada diri istri-istri yang mereka benci itu terdapat kebaikan yang berlimpah dan Allah menyimpan kebaikan itu bagi mereka. Oleh karena itu, mereka tidak boleh membuangnya dan menyia-nyiakannya.
Bila persoalan perkawinan melebihi problematika cinta dan kebencian hingga sampai kepada nusyūz dan pertentangan yang semakin jauh, maka Islam tidak menjadikan talak sebagai langkah pertama keluar dari persoalan itu. Namun, harus ada upaya dari pihak ketiga yang berusaha menyelesaikan persoalan itu,
“Jika kamu khawatirkan ada persengketaan di antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga wanita. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (an-Nisā’: 35)
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyūz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perjanjian itu lebih baik (bagi mereka) ….” (an-Nisā’: 128)
Bila penengah itu tidak mampu berbuat apa-apa, maka kehidupan rumah tangga itu telah benar-benar rusak, dan di sana tidak ada lagi yang dapat meluruskan dan membuatnya stabil. Sikap mempertahankan rumah tangga pada kondisi seperti ini merupakan usaha yang pasti gagal, dan tekanan pun semakin memperumit masalah. Maka, merupakan langkah yang bijaksana menerima kenyataan dan mengakhiri kehidupan rumah tangga itu walaupun sangat dibenci dalam Islam, karena perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.
Apabila seorang suami hendak menceraikan istrinya, maka dia tidak boleh sembarang waktu menceraikannya. Namun, menurut sunnah Nabi s.a.w., talak harus terjadi pada masa suci istrinya dan suaminya belum mencampurinya pada masa suci itu. Kemudian ada masa ‘iddah dan di dalamnya terdapat peluang untuk rujuk dan merajut kembali serpihan-serpihan yang menghancurkan ikatan perkawinan. Walaupun demikian, kadangkala perceraian itu mau tidak mau harus terjadi. Karena itu, Islam pun mengatur hukum-hukum secara detail yang menunjukkan bahwa Islam itu adalah agama yang realistis.
Petunjuk keempat yang ada dalam surah ini dan segala kandungannya yang berupa anjuran, ancaman, komentar, dan penjelasan yang rinci dan kuat, adalah bahwa Islam harus menghadapi kondisi-kondisi nyata dalam komunitas kaum muslimin yang masih mewarisi kegagalan dan kebobrokan sistem jahiliah. Juga harus menghadapi problematika yang dihadapi oleh wanita yaitu tekanan, kekerasan, dan penghinaan yang membutuhkan ketegasan, pengaruh-pengaruh yang membekas dalam jiwa, dan perincian-perincian yang detail.
Hal itu tidak terjadi di semenanjung Arabia saja, namun ia telah menjadi perilaku yang mendunia pada saat itu. Kedudukan wanita pada saat itu seperti seorang hamba atau malah lebih rendah dari seorang hamba. Di samping pandangan orang terhadap hubungan seksual adalah sangat menjijikkan dan kotor. Dan, mereka memandang bahwa wanita adalah setan yang selalu menggoda terjadinya hal itu.
Oleh karena itu, Islam mengangkat ikatan perkawinan dan kedudukan wanita ke tingkat yang tinggi seperti telah dijelaskan sebelumnya. Islam mengatur nilai, kedudukan, hak-hak, dan jaminan-jaminan bagi wanita. Dia dilahirkan dan tidak boleh dikubur hidup-hidup atau dihina. Dia dilamar dan tidak boleh dinikahi melainkan dengan izin dan kerelaannya. Dia dinikahi sebagai istri dan memiliki hak-hak yang terpelihara dengan jaminan syariat. Dan, dia diceraikan tapi dia memiliki hak-hak yang dijelaskan secara terperinci dalam surah ini, surah al-Baqarah, dan surah-surah lainnya.
Islam mensyariatkan semua itu, bukan karena wanita di semenanjung Arab dan di tempat lain merasa bahwa kedudukan mereka tidak memuaskan atau menyenangkan. Bukan pula karena perasaan laki-laki yang tidak rela dengan penghinaan terhadap wanita. Bukan pula karena gerakan persatuan wanita Arab atau wanita di dunia. Bukan pula karena wanita telah menjadi anggota parlemen atau MPR.
Sesungguhnya ia merupakan syariat dari langit agar diterapkan di bumi. Ia adalah keadilan langit bagi bumi dan kehendak langit terhadap bumi, agar kehidupan meningkat dari kubangan kehinaan ini. Juga agar hubungan perkawinan semakin suci dan agar suami istri yang merupakan satu jiwa menghormati hak-hak asasi manusia dan kehormatannya.
Inilah agama Islam yang mulia dan tinggi. Tidak seorang pun berpaling darinya melainkan orang tertutup akalnya. Tidak mencelanya melainkan orang yang kurang akalnya. Dan, tidak memeranginya melainkan orang yang tercela dan merugi. Sesungguhnya tidak mungkin berpaling dari syariat Allah kepada syariat manusia melainkan orang yang ingin kekal di bumi dan mengikuti hawa nafsunya.