“BUAH ARA”
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang
وَ التِّيْنِ وَ الزَّيْتُوْنِ
Menurut tradisi, pohon ara melambangkan pohon Nabi Ādam dan pohon zaitun melambangkan pohon Nabi Ibrāhīm. Juga, pohon ara menunjuk kepada masjid Nabi Ilyās di Palestina, sementara pohon zaitun menunjuk kepada masjid Nabi Mūsā. Thūr Sīnīn juga masjid Mūsā dan al-balad-ul-amīn pada ayat berikutnya adalah masjid Ka‘bah, masjid kaum Muslim. Maka ‘negeri yang dijadikan aman’ dari ayat ketiga juga masjid Nabi Ibrāhīm.
Pohon zaitun pada dasarnya merupakan buah atau produk dari taman (surga), dan dalam pengertian inilah pohon-pohon tersebut dibicarakan. Karena berasal dari Taman Agung yang turun ke taman dunia, pohon-pohon tersebut melambangkan tempat-tempat di mana berbagai ramalan besar terjadi, itulah mengapa kita mengatakan bahwa mereka berasal dari surga. Namun tidak berarti bahwa pohon-pohon tersebut secara ajaib muncul dari surga. Yang benar adalah bahwa wilayah tempat munculnya para nabi ini dan kultur kaumnya berlandaskan pada pohon-pohon ini. Apabila kita meneliti fungsi buahnya, termasuk buah kurma, maka kita menemukan ternyata pohon-pohon tersebut merupakan suatu rangkaian yang menghubungkan berbagai kultur di sepanjang zaman. Meskipun berbagai peradaban datang dan pergi, namun pohon-pohon ini terus bertahan. Daya tahan mereka memungkinkannya untuk hidup selama ratusan tahun dan secara terus-menerus menghasilkan buah, meskipun mereka mungkin mengkerut dan tua. Mereka bagaikan gaung kebenaran yang menghubungkan dari zaman ke zaman. Bala tentara boleh saling membunuh dalam pertempuran, namun sang pohon tetap tegak bertahan.
وَ طُوْرِ سِيْنِيْنَ
Di tempat inilah Mūsā berkenalan dengan Allah dan berhadap-hadapan dengan Realitas. Di sinilah tempat hatinya terbuka, tempat ia melihat kebenaran. Juga tempat ia kemudian mengajak empat puluh pengikut terdekatnya untuk merasakan sendiri kebenaran.
وَ هذَا الْبَلَدِ الْأَمِيْنِ
Di antara mereka yang berada di jalan kebenaran itu berkata bahwa inilah jantung dari ‘ārif billāh (mengenal Allah). Dalam bahasa jalan tersebut, mereka menyebut jantung yang seperti itu sebagai ‘kota damai’. Secara lahiriah maka yang dimaksud kota damai adalah kota Makkah.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ
Menurut keterangan ini, manusia telah diciptakan dengan sangat pas, dalam bentuk yang paling serasi dan simetris, dan paling potensial. Inilah yang dikehendaki Sang Pencipta pada manusia.
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِيْنَ
Secara lahiriah, setiap yang berwarna hijau dan berair akhirnya akan menguning dan kering, tandus dan buram. Segala sesuatu yang diciptakan akan hancur. Begitu pula manusia, kita melihatnya tumbuh dalam bentuk yang terbaik, dalam simetri yang paling tegak dan sempurna—muda, kuat, aktif dan sehat—namun kemudian kita akan melihatnya bungkuk dan posturnya kembali meliuk, seakan-akan ia sedang kembali ke masa kanak-kanaknya. Bisa berarti juga bahwa secara batiniah jika manusia menuju ke ujung ekstrem dari spektrum nafs-nya maka ia akan menjadi lebih buruk dari binatang.
إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍ
Sifat manusia yang luhur adalah sifat ilahiah, tapi kadang manusia membiarkan dirinya condong ke bawah. Bagi mereka yang percaya dan beriman, manusia diciptakan di sini agar dadanya berkembang, agar mengenal apa yang sudah ada di dekatnya. Memang tidak cukup dengan hanya mempercayai hal yang abstrak, tapi kita pun harus beramal menurut kepercayaan itu dan dengan demikian kita mengaktualisasikannya. Jika tidak kita lakukan, berarti kita dibiarkan hanyut dalam pengetahuan teoretis belaka atau, kalau tidak, dengan ritus keagamaan yang hampa. Ritus tanpa filosofi hanyalah dongengan bodoh, dan filosofi tanpa ritus hanyalah latihan inteleklual semata; salah satunya saja tidaklah ada artinya. Keduanya harus dikombinasikan melalui manusia sebab manusia adalah satu, dan ia adalah pemersatu.
Pahala bagi orang beriman mengalir tiada henti karena pahala mereka adalah keadaan mereka yang sesungguhnya, dan keadaan jiwa yang terbebas pun tiada henti dan tanpa batas.
فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّيْنِ
Setelah bukti-bukti nyata ini, taman-taman, pepohonan, pohon pengetahuan lahir dan batin yang disampaikan melalui pesan kenabian yang berulang-ulang—setelah semua ini—bagaimana kita dapat mengingkari beban utang kita? Bagaimana kita dapat mengingkari bahwa eksistensi kita di sini hanyalah untuk membebaskan diri dari beban utang kepada sang Pencipta, untuk melunasi utang janji kita kepada Allah sepenuh-penuhnya? Bagaimana kita bisa mengingkari kebenaran ini?
أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ
Apakah sang Pencipta bukan Hakim yang paling adil, yang paling tegas dalam keputusan?
Tidakkah keseluruhan penciptaan ini mewujudkan keadilan yang sesungguhnya? Jika kita tidak bertindak sesuai dengan keadilan itu dan tidak mengenal tanda-tandanya, maka kita akan terus menggelepar-gelepar tanpa petunjuk, yang menyebabkan kerugian dan kerusakan besar pada diri kita.