Surah at-Tin 95 ~ Tafsir Ibni Katsir

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

SŪRAT-UT-TĪN
(Buah Tin)

Makkiyyah, 8 ayat
Turun sesudah Sūrat-ul-Burūj

Mālik dan Syu‘bah telah meriwayatkan dari ‘Adiy ibnu Tsābit, dari al-Barrā’ ibnu ‘Āzib, bahwa Nabi s.a.w. acapkali membaca surat Wat-Tīni waz-Zaitūn dalam salat perjalanannya, dan aku belum pernah mendengar seseorang yang lebih indah suara dan bacaannya daripada beliau s.a.w.

Hadis diketengahkan oleh Jamaah di dalam kitabnya masing-masing.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

At-Tīn, ayat: 1-8

وَ التِّيْنِ وَ الزَّيْتُوْنِ. وَ طُوْرِ سِيْنِيْنَ. وَ هذَا الْبَلَدِ الْأَمِيْنِ. لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ. ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِيْنَ. إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍ. فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّيْنِ. أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ

095:1. Demi (buah) Tīn dan (buah) Zaitūn,
095:2. dan demi bukit Sinai,
095:3. dan demi kota (Makkah) ini yang aman,
095:4. sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
095:5. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
095:6. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
095:7. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
095:8. Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?

 

Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan tafsir surat ini, ada beberapa pendapat yang cukup banyak di kalangan mereka mengenainya. Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan tīn adalah sebuah masjid di kota Dimasyq. Menurut pendapat yang lainnya adalah buah tīn. Dan menurut pendapat yang lainnya lagi adalah nama sebuah gunung penuh dengan buah tīn.

Al-Qurthubī mengatakan bahwa tīn adalah nama masjid ashḥāb-ul-Kahfi. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās oleh Al-‘Aufī, bahwa tīn di sini adalah masjid Nabi Nūḥ yang ada di puncak Bukit al-Jūdī. Mujāhid mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah pohon tin kalian ini.

Sedangkan mengenai zaitūn – menurut Ka‘b-ul-Aḥbār, Qatādah, Ibnu Zaid, dan yang lainnya – hal ini adalah nama sebuah masjid yang terletak di kota Yerussalem (Bait-ul-Maqdis). Mujāhid dan ‘Ikrimah mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah buah zaitun yang kalian peras ini.

وَ طُوْرِ سِيْنِيْنَ

Dan demi Bukit Sinai (at-Tīn: 2)

Ka‘b-ul-Aḥbār dan yang lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ini adalah nama bukit yang di tempat itu Allah berbicara langsung kepada Mūsā a.s.

وَ هذَا الْبَلَدِ الْأَمِيْنِ

Dan demi kota (Makkah) ini yang aman. (at-Tīn: 3)

Makna yang dimaksud adalah kota Makkah, menurut Ibnu ‘Abbās, Mujāhid, ‘Ikrimah, al-Ḥasan, Ibrāhīm an-Nakha‘ī, Ibnu Zaid, dan Ka‘b-ul-Aḥbār; tiada perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam hal ini.

Sebagian para imam mengatakan bahwa ketiganya merupakan nama tiga tempat yang pada masing-masingnya Allah telah mengutus seorang nabi dari kalangan Ulul-‘Azmi para pemilik syariat-syariat yang besar.

Yang pertama ialah tempat yang dipenuhi dengan tīn dan zaitūn, yaitu Bait-ul-Maqdis, Allah telah mengutus ‘Īsā putra Maryam padanya. Yang kedua adalah Thūr Sinai, yakni nama bukit yang padanya Allah berbicara langsung kepada Mūsā ibnu ‘Imrān. Dan yang ketiga ialah Makkah alias kota yang aman; yang barang siapa memasukinya, pasti dia dalam keadaan aman; di tempat inilah Allah s.w.t. mengutus Nabi Muḥammad s.a.w.

Mereka mengatakan bahwa pada akhir kitab Taurat nama ketiga tempat ini disebutkan: “Allah datang dari Bukit Sinai – yakni tempat yang padanya Allah berbicara langsung kepada Mūsā a.s. ibnu ‘Imrān – . Dan muncul di Sa‘ir, nama sebuah bukit di Bait-ul-Maqdis, yang padanya Allah mengutus ‘Īsā. Dan tampak di bukit-bukit Faran, yakni bukit-bukit Makkah yang darinya Allah s.w.t. mengutus Nabi Muḥammad s.a.w.

Maka Allah s.w.t. menyebutkan nama-nama ketiga tempat itu seraya memberitahukan tentang mereka yang diutus-Nya secara tertib dan menurut urutan zamannya. Untuk itulah hal ini berarti Allah bersumpah dengan menyebut yang mulia, lalu yang lebih mulia darinya, kemudian yang lebih mulia dari keseluruhannya.

Firman Allah s.w.t.:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tīn: 4)

Dan inilah subjek sumpahnya, yaitu bahwa Allah s.w.t. telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dan rupa yang paling sempurna, tegak jalannya dan sempurna, lagi baik semua anggota tubuhnya.

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِيْنَ

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (at-Tīn: 5)

Yakni mereka, menurut Mujāhid, Abul-‘Aliyah, al-Ḥasan, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya. Yakni kemudian sesudah penciptaan yang paling baik lagi paling indah itu, tempat kembali mereka adalah ke neraka, jika mereka tidak taat kepada Allah dan tidak mengikuti rasul-rasulNya. Untuk itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:

إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. (at-Tīn: 6)

Sebagian ulama ada yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِيْنَ

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (at-Tīn: 5)

Yaitu kepada usia yang paling hina. Hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, dan ‘Ikrimah, sehingga Ikrimah mengatakan bahwa barang siapa yang hafal al-Qur’ān seluruhnya, maka ia tidak akan memasuki usia yang paling hina. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarīr.

Seandainya hal itulah yang dimaksud oleh makna ayat, niscaya tidaklah menjadi indah pujian bagi kaum mu’min, mengingat sebagian dari mereka adalah yang mengalami usia pikun. Dan sesungguhnya makna yang dimaksud hanyalah sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, yakni ke neraka, bukan ke usia yang paling hina alias pikun. Dan ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَ الْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ.

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. (al-‘Ashr: 1-3)

Ada pun firman Allah s.w.t.:

فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍ

Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (at-Tīn: 6)

Yakni tiada habis-habisnya, sebagaimana yang sering diterangkan sebelumnya. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya:

فَمَا يُكَذِّبُكَ

Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan. (at-Tīn: 7)

Hai anak Ādam.

بَعْدُ بِالدِّيْنِ

(hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (at-Tīn: 7)

Maksudnya, pembalasan di hari kemudian. Sesungguhnya kamu telah mengetahui permulaan kejadianmu dan telah mengetahui bahwa Tuhan yang mampu menciptakan dari semula berkuasa pula untuk mengembalikannya jadi hidup, bahkan itu lebih mudah bagi-Nya. Maka apakah yang mendorongmu mendustakan adanya hari pembalasan, pada hal engkau telah mengetahui hal tersebut?

Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aḥmad Ibnu Sinān, telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ur-Raḥmān, dari Sufyān, dari Manshūr yang mengatakan bahwa aku pernah bertanya kepada Mujāhid mengenai makna firman-Nya:

فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّيْنِ

Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (at-Tīn: 7)

Apakah yang dimaksud adalah Nabi s.a.w.? Maka Mujāhid menjawab: “Ma‘adzallāh, makna yang dimaksud adalah manusia” Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah dan lain-lainnya.

Firman Allah s.w.t.:

أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ

Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? (at-Tīn: 8)

Yakni bukankah Dia Hakim yang paling adil, yang tidak melampaui batas dan tidak aniaya terhadap seseorang pun. Dan termasuk dari sifat adil-Nya adalah Dia mengadakan hari kiamat, lalu orang yang dianiaya di dunia dapat membalas kepada orang yang pernah berbuat aniaya kepadanya di hari itu. Dalam pembahasan yang lalu telah kami terangkan melalui hadis Abū Hurairah secara marfū‘:

فَإِذَا قَرَأَ أَحَدُكُمْ وَ التِّيْنِ وَ الزَّيْتُوْنِ فَأَتَى عَلَى آخِرِهَا (أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ) فَلْيَقُلْ: بَلَى، وَ أَنَا عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ.

Apabila seseorang di antara kamu membaca Wat-tīni waz-zaitūn (sūrat-ut-Tīn), lalu sampai pada ayat terakhirnya, yaitu firman Allah s.w.t.: “Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya,” maka hendaklah ia mengucapkan: “Benar, dan aku termasuk orang-orang yang menjadi saksi atas hal tersebut.”

Demikianlah akhir tafsir sūrat-ut-Tīn, dan segala puji bagi Allah atas limpahan karunia-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *