Surah at-Tin 95 ~ Tafsir al-Azhar (2/2)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah at-Tin 95 ~ Tafsir al-Azhar

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ. ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِيْنَ. إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍ. فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّيْنِ. أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ

095:4. sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
095:5. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
095:6. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
095:7. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
095:8. Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?

 

Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia itu atas sebaik-baik pendirian.” (ayat 4).

Ayat inilah permulaan dari apa yang telah Allah mulaikan lebih dahulu dengan sumpah.

Yaitu, bahwasanya di antara makhluk Allah di atas permukaan bumi ini, manusialah yang diciptakan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk; bentuk lahir dan bentuk batin. Bentuk tubuh dan bentuk nyawa. Bentuk tubuhnya melebihi keindahan bentuk tubuh hewan yang lain. Tentang ukuran dirinya, tentang manis air-mukanya, sehingga dinamai basyar, artinya wajah yang mengandung gembira, sangat berbeda dengan binatang yang lain. Dan manusia diberi pula akal, bukan semata-mata nafasnya yang turun naik. Maka dengan perseimbangan sebaik-baik tubuh dan pedoman pada akalnya itu dapatlah dia hidup di permukaan bumi ini menjadi pengatur. Kemudian itu Tuhan pun mengutus pula Rasul-rasul membawakan petunjuk bagaimana caranya menjalani hidup ini supaya selamat.

Kemudian itu, Kami jatuhkan dia kepada serendah-rendah yang rendah.” (ayat 5).

Demikianlah Allah mentakdirkan kejadian manusia itu. Sesudah lahir ke dunia, dengan beransur tubuh menjadi kuat dan dapat berjalan, dan akal pun berkembang, sampai dewasa, sampai di puncak kemegahan umur. Kemudian itu beransur menurun badan tadu, beransurlah tua. Beransur badan lemah dan fikiran mulai pula lemah, tenaga mulai berkurang, sehingga mulai rontok gigi, rambut hitam berganti dengan uban, kulit yang tegang menjadi kendor, telinga pun beransur kurang pendengarannya, dan mulailah pelupa. Dan kalau umur itu masih panjang juga mulailah padam kekuatan akal itu sama-sekali, sehingga kembali seperti kanak-kanak, sudah minta belas kasihan anak dan cucu. Malahan ada yang sampai pikun tidak tahu apa-apa lagi. Inilah yang dinamai (أَرْذَلِ الْعُمُرِ) “Ardzal-il-‘umur”; tua nyanyuk. Sehingga tersebut di dalam salah satu doa yang diajarkan Nabi s.a.w. agar kita memohon juga kepada Tuhan jangan sampai dikembalikan kepada umur sangat tua (Al-Ḥarāmī) dan pikun itu.

Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih.” (pangkal ayat 6). Menurut tafsir dari Ibnu Jarīr: “Beriman dan beramal shalih di waktu badan masih muda dan sihat.” “Maka untuk mereka adalah ganjaran yang tiada putus-putus.” (ujung ayat 6).

Doa yang diajarkan Nabi s.a.w. itu ialah:

اللهُمَّ إنِّيْ اَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ وَ الْكَسَلِ وَ الْهَرَمِ وَ أَرْذَلِ الْعُمُرِ وَ عَذَابِ الْقَبْرِ وَ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ وَ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَ الْمَمَاتِ.

Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau daripada bakhil dan pemalas, dan tua dan kembali pikun dan daripada siksa kubur dan fitnah Dajjal dan fitnah hidup dan fitnah mati. (Riwayat Bukhārī daripada Anas bin Mālik)

Menurut keterangan Sayyidinā ‘Alī bin Abī Thālib kembali kepada umur tua renta ardzal-il-‘umur itu ialah tujuh lima tahun.

Di dalam al-Qur’ān umur tua renta ardzal-il-‘umur itu sampai dua kali. Yaitu ayat 70 dari Sūrat-un-Naḥl (lebah) Surat 16 dan Sūrat-ul-Ḥajj (22) ayat 5.

Ketika menafsirkan Ardzal-il-‘umur itu terdapatlah satu tafsir dari Ibnu ‘Abbās demikian bunyinya: “Asal saja dia taat kepada Allah di masa-masa mudanya, meskipun dia telah tua sehingga akalnya mulai tidak jalan lagi, namun buat dia masih tetap dituliskan amal shalihnya sebagaimana di waktu mudanya itu jua, dan tidaklah dia akan dianggap berdosa lagi atas perbuatannya di waktu akalnya tak ada lagi itu. Sebab dia adalah beriman. Dia adalah taat kepada Allah di masa mudanya.”

Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbās dan ‘Ikrimah:

مَنْ جَمَعَ الْقُرْآنَ فَلَا يَرْجِعُ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ إِنْ شَاءَ اللهُ.

Barang siapa yang mengumpulkan al-Qur’ān tidaklah akan dikembalikan kepada ardzalil-‘umur. Kepada tua pikun. In syā’ Allāh!

Tentang ini penulis tafsir ini berpengalaman. ‘Ammatī (saudara perempuan ayahku), Uaik Tuo Aisyah meninggal dalam usia 86 tahun. Sejak beberapa tahun sebelum meninggal beliau telah pekak tuli, sehingga tidak mendengar lagi apa yang kita bicarakan dekat beliau. Tetapi sejak masih gadisnya beliau menuruti ajaran ayahnya, Tuanku Syaikh Amrullah yaitu mewiridkan membaca al-Qur’ān sekhatam-sekhatam. Dan kalau tidak ada kesempatan, namun Surat-surat Yā-Sīn, al-Wāqiah, al-Kahfi, al-Mulk dan beberapa Sūrat yang lain yang beliau hafal di luar kepala. Dan Surat-surat itulah yang selalu beliau baca. Maka meskipun sudah tua dan telinga sudah pekak, namun beliau tidak sampai pikun. Kerja beliau sehari-hari hanya membaca al-Qur’ān sehingga pekaknya tidak jadi rintangan baginya. Setelah dia sakit akan meninggal, mulutnya masih berkomat-kamit membaca al-Qur’ān. Dan beberapa jam lagi akan menutup mata masih sempat dengan senyum dia berkata bahwa dia mendengarkan suara-suara yang indah merdu membaca al-Qur’ān. Lalu beliau suruh anak cucu yang mengelilingnya turut berdiam mendengarkan bacaan itu. Padahal bacaan itu tidak didengar oleh mereka.

Dan beliau pun meninggal dalam senyum, barangkali dalam suasana mendengar suara merdu membaca al-Qur’ān.

Sebaliknya ada juga saya dapati, terutama orang-orang perempuan yang telah tua, yang kira-kira usianya telah mencapai 80 atau 90 tahun menjadi amat pikun hilang sama sekali ingatannya, padahal di waktu mudanya dia pun tidak pernah meninggalkan sembahyang lima waktu. Untuk menentramkan hati kita, saya salinkan di sini sebuah Hadis:

الْمَوْلُوْدُ حَتَّى يَبْلُغَ الْحِنْثَ مَا عَمِلَ مِنْ حَسَنَةٍ كُتِبَتْ لِوَالِدِهِ أَوْ لِوَالِدَيْهِ، وَ مَا عَمِلَ مِنْ سَيِّئَةٍ لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْهِ وَ لَا عَلَى وَالِدَيْهِ. فَإِذَا بَلَغَ الْحِنْثَ أَجْرِيَ اللهُ عَلَيْهِ الْقَلَمَ أَمَرَ الْمَلِكَانِ اللَّذَانِ كَانَا مَعَهُ أَنْ يَحْفَظَا وَ أَنْ يُشَدَّدَا. فَإِذَا بَلَغَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً فِي الْإِسْلَامِ أَمَّنَهُ اللهُ مِنَ الْبَلَايَا الثَّلَاثَ: الْجُنُوْنَ وَ الْجَذَامَ وَ الْبَرَصَ. فَإِذَا بَلَغَ الْخَمْسِيْنَ خَفَّقَ اللهُ حِسَابَهُ. فَإِذَا بَلَغَ السِّتِّيْنَ رَزَقَهُ اللهُ الْإِنَابَةَ إِلَيْهِ بِمَا يُحِبُّ. فَإِذَا بَلَغَ السَّبْعِيْنَ أَحَبَّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ. فَإِذَا بَلَغَ الثَّمَانِيْنَ كَتَبَ اللهُ حَسَنَاتِهِ وَ تَجَاوَزَ عَنْ سَيِّئَاتِهِ. فَإِذَا بَلَغَ التِّسْعِيْنَ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَ مَا تَأَخَّرَ وَ شَفَعَهُ فِيْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَ كُتِبَ أَمِيْنُ اللهِ وَ كَانَ أَسِيْرُ اللهِ فِيْ أَرْضِهِ فَإِذَا بَلَغَ أَرْذَلَ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ بَعْدَ عِلْمٍ شَيْئًا كَتَبَ اللهُ مِثْلَ مَا كَانَ يَعْمَلُ فِيْ صِحَّتِهِ مِنَ الْخَيْرِ فَإِذَا عَمِلَ سَيِّئَةً لَمْ تُكْتَبْ لَهُ.

Seorang anak yang dilahirkan apabila telah mulai bertumbuh pengertiannya, jika dia bekerja yang baik, ditulislah pahala untuk ayahnya atau kedua orang tuanya. Dan jika dia berbuat salah, tidaklah ditulis untuk dirinya dan tidak untuk orang tuanya. Apabila dia telah berkesadaran, mulailah berjalan Qalam Tuhan, diperintah Tuhan dua malaikat yang selalu menyertainya agar anak itu dijaga baik-baik dan diawasi. Apabila telah mencapai empat puluh tahun dalam Islam, diamankan Allahlah dia daripada bala bencana yang tiga macam: (1) gila, (2) penyakit kusta, (3) penyakit balak. Apabila dia telah mencapai lima puluh tahun, diringankan Allah-lah ḥisāb (perhitungannya). Apabila telah mencapai enam puluh tahun diberi Allahlah dia kesukaan kembali kepada Allah (Inābah) dengan amalan-amalan yang disukai Allah. Apabila dia telah mencapai tujuh puluh tahun, jatuh cintalah kepadanya seluruh isi langit. Apabila dia telah mencapai delapan puluh tahun, dituliskan Allahlah segala kebaikannya dan dilampaui Tuhan saja kesalahan-kesalahannya. Apabila dia telah mencapai sembilan puluh tahun diampuni Allahlah dosa-dosanya, yang terdahulu dan yang terkemudian, dan menjadi syafa’atlah dia pada kalangan ahli rumahnya dan ditulislah dia sebagai Amīnullāh (Kepercayaan Allah) dan adalah dia tawanan Allah di muka bumi-Nya. Apabila telah mencapai dahulunya, akan dituliskan Allah tentang dirinya yang baik-baik saja, sebagaimana yang diamalkannya di waktu sihatnya dahulu, dan kalau dia berbuat salah, tidaklah dituliskan apa-apa.(Riwayat Abū Ya‘lā dari Hadis Anas bin Mālik)

Maka terpulanglah kepada Tuhan Allah sendiri, berapa umur yang akan Dia berikan kepada kita; entah mati muda atau sampai mencapai usia lanjut, asal kita sendiri mematuhi perintah-perintah Allah sejak masih muda remaja, sehingga tetap menjadi modal hidup di hari tua. Dan kita pun tetap memohon jangan kiranya kita sampai jadi tua pikun yang sampai memberati kepada anak cucu. Amin!

Maka apakah sesuatu yang akan mendustakan kamu tentang agama?” (ayat 7).

Artinya: Kalau sudah demikian halnya, yaitu bahwa Allah telah menciptakan engkau, hai Insān demikian rupa, dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan setelah lanjut umur kamu akan jatuh menjadi serendah-rendahnya kalau tidak ada pendidikan dan asuhan beragama semenjak kecil, apa lagikah alasan bagi kamu akan mendustakan agama? Bukankah ajaran agama itu yang akan memberikan pegangan bagi kamu menempuh hidup ini, sejak mudamu sampai kepada hari tuamu? Bagaimanalah jadinya nasib kamu menempuh hidup ini kalau kamu tidak hidup beragama? Dan kalaupun ada, tetapi tidak kamu pegang dengan baik?

Bukankah Allah itu yang paling adil di antara segala yang menghukum?” (ayat 8).

Kalau seseorang yang setia memegang ajaran agama untuk pedoman hidupnya, lalu hidupnya selamat sampai hari tuanya, bukankah itu suatu akibat yang adil dari hukum kebijaksanaan Ilahi? Dan kalau seseorang sebelum tua sudah kehilangan pedoman, dan setelah tua menjadi orang tua yang jadi beban berat kepada anak-cucu karena jiwa kosong dari pegangan, putus hubungan dengan alam, bukankah itu pun satu keputusan yang adil dari Allah?

Itu pun masih saja di dunia. Bagaimana kalau kemelaratan, kehancuran hidup sampai rendah serendah-rendahnya di dunia dan di akhirat. Melarat masuk neraka, tidakkah semuanya itu akibat yang wajar jua dari orang yang tidak mau memperdulikan petunjuk yang telah disampaikan Allah dengan perantaraan Nabi-nabi?

Maka segala petunjuk yang dibawa oleh Nabi-nabi, baik yang dilambangkan oleh buah tīn dan zaitūn yang tumbuh di pegunungan Jerusalem (Palestina) yang berupa kitab Injil, atau yang diturunkan di Jabal Thūrsīna di semenanjung Sinai, tempat Taurat diberikan kepada Mūsā, atau kitab penutup yang dibawa oleh Khātim-ul-Anbiyā’ wal-Mursalīn, Al-Qur’ān yang dibawa Muḥammad, yang mula diturunkan di negeri yang aman, Makkah al-Mukarramah, semuanya itu adalah satu maksudnya, yaitu Ad-Dīn: Agama untuk muslihat hidup manusia sejak datang ke dunia ini sampai pulangnya ke akhirat esok.

Maka tersebutlah dalam sebuah Hadis dirawikan Tirmidzī dari Abū Hurairah, Nabi menganjurkan Imām sampai pada penutup ayat ini, pada sembahyang jahar, (Alaisallāhu bi aḥkam-il-Ḥākimīn), kita ma’mun sunnat membaca:

بَلَى، وَ أَنَا عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ

Benar itu! Dan aku sendiri atas yang demikian itu turut menyaksikan.

2 Komentar

  1. Eddy Sukarsa Rukman berkata:

    Terima kasih atas tautan tafsir dari sura At-Tin, 95: 1-8. telah disebarkan dengan bacaan mulia dari tulisan Buya Hamka. ‘In sys Allah merupakan ladang bagi almarum dan bagi yang membacanya dan mengamalkan dari isi kandungan Syurat At-Tin ini. Aamiin yaa Rabbal’alamiin.

    1. Muslim Administrator berkata:

      Alhamdulillah, terima kasih banyak atas doanya. Aamiiinx3 YRA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *