“YANG DATANG Dl WAKTU MALAM”
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang.
Ada lima bagian dalam surah ini. Bagian pertama mencakup segala hal dan alam semesta, berkenaan dengan kosmos bagian luar dan bagian dalam. Surah ini dimulai dengan bersumpah demi fakta-fakta langit luar dan langit dalam. Kemudian bagian kedua dimulai dengan memfokuskan secara khusus pada unsur manusia yang terisolasi, insan, dan menggambarkan bagaimana kejadiannya. Lalu bergerak ke kehidupan berikutnya, yang merupakan bagian ketiga. Pada bagian keempat kita lagi-lagi diingatkan tentang kesalingberhubungan antara lahir dengan batin, langit dan bumi. Bagian kelima berbicara tentang alur realitas dan pengawasan Allah atas ciptaan-Nya, yang menggambarkan bagaimana segala sesuatu dibentuk menjadi suatu kesatuan yang harmonis seluruhnya.
وَ السَّمَاءِ وَ الطَّارِقِ
Demi luasnya langit, dan bagian tertentu langit yang dapat dilihat! Demi keagungan langit yang tiada batas dan bintang yang bersinar cemerlang, yang menunjukkan diri dengan terang. Demi langit batinmu dan pancaran cahaya yang tiba-tiba bersinar dalam dirimu! Demi Keluasan yang tak terukur hingga engkau menjumpai sesuatu yang membimbingmu! Semua ini adalah cara untuk menjelaskan ayat pertama dengan gaya ayat itu sendiri.
Tharaqa, akar kata dari mana thāriq berasal, artinya ‘mengetuk (pintu), menemukan, mencapai’ dan ‘datang menjelang malam’. Ia juga bermakna orang yang bepergian di malam hari. Biasanya pintu-pintu sebuah rumah terbuka pada siang hari, dan hanya pada malam harilah syariat (hukum lahir) menyuruh agar segala sesuatu ditutup. Maka orang yang bepergian di malam hari harus mengetuk pintu untuk memberitahukan kedatangannya. Luasnya langit dan kemudian spesifikasi yang lebih sempit tentang pendatang di malam hari, pertama menunjukkan ketakterukuran dan kemudian menunjukkan sesuatu yang bisa diukur dan kita dapat berhubungan dengannya.
وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ
Apa yang kita ketahui tentang ketukan itu? Apa yang kita tahu tentang yang datang menjelang malam? Malam ketidaktahuan hanya dapat dipecahkan dengan thāriq, dengan ketukan pengetahuan. Pengetahuan kita tentang thāriq ini datang tiba-tiba dari keluasan tak terbatas yang sebelumnya tak terukur, tidak nyata dan tidak dapat ditakar.
النَّجْمُ الثَّاقِبُ
Bintang yang sinarnya menembus mempunyai kejelasan dan arah yang menjadikan kemunculannya sebagai sebuah peristiwa. Ia menembus apa yang nampaknya tak dapat ditembus. Sebagian orang mengartikan ini sebagai sinar laser. Sinar laser adalah percikan yang mampu menembus bahan paling tebal sekalipun tanpa berubah, seperti benang yang menjahit kain, dan menyatukan satu sisi dengan sisi lainnya.
إِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ
Seakan-akan ayat ini memberitahu kita bahwa di dalam setiap jiwa ada bintang yang menembus, sebuah mercusuar yang terus-menerus menyorotkan cahaya yang akan menembus setiap selubung yang berusaha kita kenakan atas diri kita. Makna batinnya adalah menunjukkan bahwa setiap orang ada penjaga pribadinya, seorang ḥāfizh (penjaga, pengawas, pemelihara). Ada malaikat penjaga yang menyimpan catatan tentang setiap perbuatan seseorang dan yang berniat akan dilakukannya, yang kemudian akan dikembalikan kepadanya di akhir zaman. Semua perbuatan dan niatnya dicatat dalam satu-satunya catatan, yakni dirinya. Dari catatan ini tidak ada peluang untuk mengelak.
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ
Jika manusia mengira ia terpisah dari semua ini, jika ia mengira bahwa persoalan tentang langit dan bintang, lahir dan batin, dan segala sesuatu yang diciptakan merupakan suatu hal yang luar biasa, maka hendaklah ia memperhatikan komposisi fisiknya sendiri. Ia harus kembali ke realitas ini dan memulai dari tempat asalnya, dari lapisan lahiriah tubuhnya. Ia akan melihat di dalamnya bagaimana keseluruhan penciptaan terjadi. Penelitian seperti itu akan menyalakan obor penerang sehingga ia dapat menembus seluruh kondisi penciptaan. Tapi untuk menembusnya ia harus melihat dahulu dari apa ia diciptakan, secara lahiriah dan secara harfiah.
خُلِقَ مِنْ مَّاءٍ دَافِقٍ
Secara fisik, unsur utama tubuh manusia adalah air. Dāfiq artinya ‘memancar, menuang, meluap’. Eksistensi tidak dapat dilihat kalau tidak menjelma kedalam bentuk yang berwujud. Tidak ada wujud padat pada eksistensi, karena wujud didasarkan pada fluiditas (ketidakstabilan), pada air. Karena itulah maka, sama halnya, penciptaan manusia pun didasarkan pada fluiditas: tidak ada yang tetap. Segala sesuatu dalam keadaan meluap: pikirannya, kehidupan sehari-harinya, kesusahan dan kecemasannya; semuanya dalam keadaan yang terus berubah secara dinamis. Tapi karena manusia mencari keamanan maka ia mewujudkan kebutuhannya yang inheren ini menjadi sesuatu yang solid, dan itulah keruntuhannya. Ia mengira bahwa keamanan terletak pada soliditas, pada tembok dan gedung-gedung, pada pemilikan, karena pada dasarnya ia sedang mencari satu-satunya basis yang aman dan kokoh yang menjadi sumber kelemahannya yang nampak. Tapi keamanan seperti itu tidaklah mungkin, karena segala sesuatu mengikuti sunah atau polanya yang tertentu.
يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَ التَّرَائِبِ
Ini berkenaan dengan dua hal yang berlawanan. Makna harfiah dari shulb adalah ‘keras, kaku, sulit’, dan juga berarti ‘pinggang’ dan ‘punggung’. Kata tarā’ib berarti ‘tulang dada, iga’, dan berasal dari kata kerja tariba yang berarti ‘berdebu, tertutup debu’. Dari kata tersebut juga muncul tarib (sezaman, setara, sesuai, sebanding). Manusia lahir dari pertemuan antara dua hal berlawanan, yang satu padat dan yang lain cair.
إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ
Pada ayat-ayat sebelumnya kita diberitahukan, ‘Lihatlah dirimu! Dari lelangit kosong yang luas, tiba-tiba muncul bintang. Dari kebodohan muncullah keterangan. Dari kebingungan hati muncullah percikan pengetahuan di dalamnya. Wahai manusia, engkau yang berada dalam perubahan terus-menerus dan dinamis, engkau telah dijadikan dari zat cair yang keluar dari antara tengah-tengah seorang laki-laki dan perempuan.’
Kemudian Allah berkata, ” Sesungguhnya Ia berkuasa untuk mengembalikannya“‘, maksudnya bahwa apa pun yang diciptakan di sini dalam kehidupan ini, Allah dapat dengan mudah menciptakan dalam bentuk lain. Oleh karena itu, sebagaimana malam yang sunyi dapat terganggu oleh pejalan malam yang ‘mengetuk pintu, apa yang hidup dalam suatu bentuk dapat kembali ke keadaannya sebelum dibentuk. Ayat ini menggiring kita pada kesimpulan yang sesuai dengan topik: untuk setiap ciptaan ada lawannya, dan, dengan kata lain, mesti ada ciptaan lainnya. Ciptaan ini ternoda oleh apa yang memproteksinya, yakni gagasan diri atau ego. Ciptaan berikutnya harus merupakan bayangan terbalik dari ciptaan ini.
يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ
Bala berarti ‘menguji, mencoba, menimpai’. Bali berarti ‘usang, tua, jompo, busuk, bobrok’. Dan balā’ berarti ‘kemalangan, kesukaran, siksaan’. Kemalangan dari sebuah rahasia adalah bila ia diketahui umum. Surr, berasal dari akar kata yang sama dengan sarā’ir (rahasia), artinya ‘tali pusar’, dan masarrah berarti ‘kenikmatan, kesenangan, kegembiraan, kebahagiaan’. Ia menunjukkan bahwa anak yang baru lahir mengumandangkan kegembiraannya karena tidak tergantung pada ibunya, dan hanya tergantung pada Allah semata, meskipun dalam kenyataannya ia selalu tergantung hanya pada Allah.
Kita akan ditimpai kesusahan untuk menguji apakah kita benar-benar yakin kepada Allah, dan itu akan menjadi ujian yang mutlak berat. Pada hari itu, dalam situasi itu, rahasia yang kita sembunyikan sekarang akan sungguh-sungguh diungkapkan: itulah makna dari diuji. Maksud dari ujian bukan untuk mengetahui apakah kita akan mencapai suatu tanda tertentu, tapi untuk menunjukkan realitas kita, tingkat kesucian, ketulusan hati dan ketauhidan kita, derajat kemunafikan atau ketidakmunafikan kita. Kita tidak mengetahui hal ini sekarang mungkin karena kita telah mengelabui diri kita sendiri, tapi pada waktu itu kita akan mengetahui seberapa besar ketergantungan kita pada Allah dan seberapa besar kepada selain Allah.
فَمَا لَهُ مِنْ قُوَّةٍ وَ لَا نَاصِرٍ
Kita dipaksa untuk kembali ke situasi kita dan memulai dari tempat di mana kita berada, dengan mengenali segala kelemahan dan kemunafikan kita, mengenali dualitas dari mana kita berasal, dan mengenali bahwa tujuan kedatangan kita adalah untuk mengetahui makna Allah, Sumber Pokok kekuatan, Yang Maha Penolong.
وَ السَّمَاءِ ذَاتِ الرَّجْعِ
Kita harus merenungkan penciptaan langit dan bumi, dan cara turunnya hujan yang berulang-ulang mengikuti musim. Dari satu sudut pandang, bisa diartikan bahwa lelangit akan kembali ke hakikatnya, ke ketiadaannya semula.
وَ الْأَرْضِ ذَاتِ الصَّدْعِ
Bumi juga akan retak dan hancur kembali ke ketiadaannya semula. Makna dari shad‘ adalah ‘belahan, atau retakan’, dan di sini menunjuk kepada bumi yang terbelah karena timbulnya semaian-semaian tanaman.
Kita juga dapat menganggap dua ayat ini (11 dan 12) sebagai simbolisasi langit batin kita dan bumi batin kita. Maka bumi berarti dada dan hati yang ada di dalam dada, dan langit menunjuk kepada pengetahuan yang senantiasa kembali kepada kita pada tahap-tahap pembukaan yang berbeda.
Tidak ada di langit maupun di bumi yang tidak mengingat, atau mengagungkan Allah. Ini adalah zikir langit dan bumi. Dari sudut pandang manusia, zikir yang berulang-ulang adalah laksana hujan yang menghanyutkan polusi lahir dan batin kita, dan bumi, sang hati, meresponnya.
إِنَّهُ لَقَوْلٌ فَصْلٌ
Perkataan—dekrit Tuhan—yang ditunjukkan kepada kita dalam ayat ini adalah pemisah antara kebodohan dengan pengetahuan dan antara dunia sekarang dengan dunia akan datang. Selanjutnya, perkataan tersebut juga membedakan antara mereka yang telah hidup di jalan tauhid dalam kehidupan ini dan mereka yang tidak. Ada garis yang jelas dan pasti yang membedakan dengan tepat, itulah Al-Quran. Sebagaimana pada awal surah, ketika langit yang luas tampak bersih dan kosong, dan tiba-tiba muncul bersitan cahaya bintang, manusia juga terlahir dengan sifat suka membeda-bedakan. Kekuatan diskriminasi, perbedaan yang tajam antara kebenaran dan kesalahan, berasal dari satu-satunya Tuhan Yang Mahakuat Yang menciptakan dan menghancurkan segala sesuatu bil-ḥaqq (dengan kebenaran).
وَ مَا هُوَ بِالْهَزْلِ
Hazala berarti ‘menjadi kurus, tipis’, dan hazila adalah ‘berkelakar, bersendagurau’. Hazl adalah ‘kelakar, hiburan’. Kita tidak boleh memperolok-olokkan karena penciptaan ini sangatlah serius.
Biasanya kita menertawakan atau memperolokkan sesuatu karena kita tidak memahaminya. Kita ingin membenarkan sesuatu yang tidak nyata sehingga menerima sikap yang sinis. Sinisme menunjukkan tiadanya energi dan merupakan salah satu watak paling buruk yang dapat dimiliki seseorang. Kita mencari perlindungan pada pemahaman atau sistem tertentu, dan ketika kita dihadapkan pada sesuatu yang menentangnya dan yang tidak dapat kita pertanggungjawabkan, kita menjadi sinis. Itulah mekanisme pelarian diri; sinisme adalah sebuah saluran. Nifāq (munafik, pura-pura) dikaitkan pada nafaq (saluran, jalan terusan bawah tanah). Jadi kemunafikan merupakan jalan keluar, pelarian diri, sebagaimana memperolok-olok. Pilihannya adalah: kita berhubungan dengan hal yang bertentangan dengan kita lalu menerimanya, atau, kalau tidak, kita menjadi sinis. Dengan cara demikian kita membebaskan diri dari setiap pencampur-bauran yang serius.
إِنَّهُمْ يَكِيْدُوْنَ كَيْدًا
Pesan ayat ini ditujukan kepada Nabi Muḥammad dan kepada kaum beriman, kepada mereka yang menegakkan kebenaran dan para pembawa pesan. Kayd (komplotan, tipu-daya, rencana) berarti merencanakan dengan diam-diam, baik secara patut atau tidak patut. Karena itu ayat ini bisa diartikan bahwa seseorang berkomplot melawan dirinya sendiri melalui kebodohannya, atau seseorang berkomplot menentang Nabi. Orang-orang yang menyangkal realitas karena kebodohannya akan berkomplot secara sembarangan, tidak berarti bahwa mereka akan secara sengaja sembunyi-sembunyi laksana maling yang bersekongkol untuk merampok sebuah bank. Yang benar adalah, mereka melakukan persekongkolan batin karena hati mereka akan bersekongkol melawan kebenaran.
وَ أَكِيْدُ كَيْدًا
فَمَهِّلِ الْكَافِرِيْنَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا
Tapi Allah juga punya rencana. Dia adalah pembuat rencana yang terbaik; rencana-Nya akan selalu berlaku. Dia meliputi semua, Dia adalah Pencipta semua. Sementara, manusia hanyalah perencana tangan kedua, maka rencana-Nya akan selalu berlaku. Akhirnya mereka membuktikan keimanan mereka kepada-Nya melalui kematian mereka; melalui kematian fisik merekalah maka mereka membuktikan loyalitasnya kepada Allah, karena saat itu mereka kembali kepada-Nya, suka atau tidak suka.
Mahhala berarti memberikan tangguh. Mahala, bentuk akar, adalah mengerjakan suatu hal secara diam-diam dan dengan lemah-lembut, sementara amhala, dari akar kata yang sama, artinya bertindak dengan lemah-lembut terhadap seseorang atau sesuatu. Kita semua diberi peluang untuk menemukan keberanian sejati kita. Kerahiman yang dituliskan kepada ciptaan Allah sedemikian rupa sehingga selalu ada pilihan untuk bangun (sadar) dan tetap bangun, yang merupakan tujuan dari penciptaan kita.
Pilihan satu-satunya yang dihadapi manusia adalah mengetahui bahwa ia berada di jalan yang benar. Setiap orang berada dalam Islām; setiap orang tunduk pada hukum yang mengatur eksistensi, suka atau tidak suka. Setiap orang adalah muslim baik itu pilihan dia atau bukan, baik ia mengucapkan syahadat atau tidak, baik ia ruku dan sujud atau tidak. Setiap orang tunduk pada hukum yang mengatur keberadaannya. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa sebagian orang telah memilih untuk mengakui hukum ini, mempersatukan kehendak dan niat mereka dengan kehendak Allah.