Hati Senang

Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah (3/3)

Tafsir Juz ‘Amma
(Judul Asli: Beams of Illumination)
Oleh: Syaikh Fadhlallah Haeri

عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا أَحْضَرَتْ

  1. Tiap-tiap jiwa akan tahu apa yang telah ia bawa.

Kita mungkin tidak bisa menyaksikan akhir zaman dalam kita hidup, tapi sepanjang menyangkut kita, ketika saat akhir kita tiba, maka saat akhir kita adalah akhir dari kosmos. Kita tidak peduli dengan banyak atau sedikitnya bintang di atas sana. Manusia yang berakal mengerti bahwa ia memahami penciptaan menurut interpretasinya sendiri: ia adalah pusat penciptaan. Dari sudut pandang yang rasional, ia juga mengetahui bahwa akhir ini tidak berarti akhir dari kosmos secara keseluruhan. Tapi itu tetap merupakan akhir dari kosmosnya, akhir dari apa yang ia jalani.

Bila kita ingat bahwa akhir zaman bisa datang setiap saat dan bahwa kita tergantung di udara (satu kata yang sekaitan dengan nafs [diri] adalah nafas [napas]) maka kita akan menjadi lebih manusiawi. Nabi berkata, “Manusia sedang dalam keadaan tidur; ketika mereka mati maka barulah bangun.” Pencari sejati mencari kematian dikala sedang bangun—kesunyian batin total. Semua praktik para wali Allah dari zaman dahulu menggiring manusia, si pencari, ke kematian batin selagi masih hidup. Jika, selagi masih sadar, paham dan gemerlap dengan kehidupan, kita dapat memasuki keadaan penyerahan diri, maka kita akan mengerti apa itu kematian batin. Jika kita tidak dapat mencapai keadaan ini, maka kita akan tetap berada dalam kebingungan sa‘i, yakni, lari kesana-kemari, seperti disimbolkan dengan lari antara Shafā dan Marwah, suatu ritus haji yang dilaksanakan di Makkah. Pada hakikatnya tidak ada yang salah dengan gerakan kesana-kemari ini karena kita dibuat seperti itu; manusia dilahirkan dalam kabad (kesukaran, penderitaan). Jika ia menyadari realitas ini, maka kabad tersebut akan menjadi seperti sebuah permainan, dan akan sangat bermanfaat. Kata kabd, dari akar kata yang sama, artinya ‘hati’, yakni organ manusia paling penting yang merupakan pembersih darah. Hati memeriksa setiap potensi kesukaran yang bisa dialami oleh tubuh akibat penambahan toksin.

Ketika seseorang tertimpa suatu bencana, hendaklah ia mengucapkan al-ḥamdu lillāh (segala puji bagi Allah). Orang semacam itu sudah berada dalam taman: ia sedang tertawa sebagaimana orang yang berpengetahuan. Manusia hanya memenuhi syarat untuk tertawa setelah ia menangis; ia hanya memenuhi syarat untuk hidup setelah ia mati. Sebelum ia dilahirkan, ia mati, dan yang dinamakan ‘aku’ tidak memiliki kehidupan. Manusia berasal dari kematian; maka, agar supaya mengetahui esensi dirinya, ia harus mati pancaindera dan mengungkapkan makna dari seluruh pengalaman penciptaan yang memancar dari kesunyian (kematian) tersebut.

Belakangan ini, berbagai kajian dilakukan mengenai orang-orang mati yang kemudian bangkit lagi. Konon, saat menjelang mati, mereka dapat melihat seluruh kehidupan mereka secara cepat. Segala sesuatu yang pernah mereka lakukan dengan serta-merta muncul di hadapan mereka. Ketika memasuki gerbang kematian, kita membawa serta apa yang telah diperoleh dalam kehidupan ini oleh entitas yang disebut nafs (diri). Segala sesuatu selalu sesuai Dengan keadaan akhirnya, itulah sebabnya mengapa al-Qur’an selalu membicarakan alam akhirat. Karena alasan itu pulalah maka kita ingin mendidik para pemuda kita untuk melakukan hal-hal yang memberikan dampak postitif di alam akhirat. Dari segi material, kita ingin mereka berinvestasi dalam sesuatu yang menguntungkan. Dari segi hubungan, kita menasihatkan mereka agar menjaga persahabatan dengan orang-orang yang bersikap baik kepada mereka, dan sebaliknya. Dengan kata lain, mereka hendaknya berinvestasi pada sesuatu yang berguna.

Kita semua merindukan hari akhir karena kita menginginkan kehidupan yang lebih baik pada hari akhir, dan demi kehidupan yang lebih baik ini kita siap untuk bersabar menghadapi segala ketidaksenangan. Al-Qur’an mengatakan bahwa setiap diri tahu apa yang dibawanya dalam kematian karena kita sendiri tahu apa yang kita bawa yang ada di dalam hati dan jiwa kita. Bahkan sekarang pun kita sedang mempersiapkan diri untuk menyongsong hari akhir.

Hanya bila kematian menimpa nafs-lah maka ‘setiap diri akan tahu apa yang telah dibawanya’. Jika matahari, sang ‘aku’, dipadamkan, dan kita dibinasakan (fanā’), maka kita akan benar-benar tahu ketiadaapa-apaan kita sekarang. Kita akan tahu bahwa apa pun yang kita perbuat adalah berasal dari kebodohan kita, dan bahwa, yang paling baik adalah, kita telah berperilaku sebagai manusia yang sopan dan berhati-hati. Begitu kita melepaskan kekuasaan untuk bertindak barulah kita memenuhi syarat untuk melakukan tindakan itu.

فَلَا أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ

  1. Tapi tidak! Aku bersumpah demi bintang.

الْجَوَارِ الْكُنَّسِ

  1. Yang beredar dan terbenam.

Surah ini sekarang memasuki fase lain. Uqsimu artinya ‘Aku bersumpah demi (sesuatu)’. di sini sebenarnya artikel negatif yang menekankan dan, secara positif, menegaskan kata yang mengikutinya. Yang ditegaskan di sini adalah bukti tentang khunnās (bintang secara umum). Para pakar al-Qur’an juga mengartikan khunnās sebagai lima planet yang paling dekat ke bumi. Jawār adalah jama‘ dari jāriyah, artinya ‘kapal, bahtera’, dan dahulu diartikan ‘berjalan, mengalir’, akar kata kerjanya adalah jarā, yang berarti ‘mengalir, lari, terjadi’, dan di sini berarti bintang-bintang yang mengitari orbitnya.

Kunnās adalah nama yang diberikan kepada bintang-bintang, khususnya kepada planet-planet yang kadang-kadang menyembunyikan diri dalam sinar matahari, karena mereka begitu dekat ke matahari. Akar kata kerja kunnās adalah kanasa (bersembunyi menunggu). Hubungan antara khunnās dan kunnās terjadi karena semua planet bergerak mundur dan langsung. Maksudnya di sini adalah bahwa bintang-bintang atau planet-planet ini tersembunyi dalam kegelapan. Planet yang paling dekat kepada kita kebanyakan tidak terlihat tapi mereka ada di sana (di tempatnya). Ayat ini secara tidak langsung menyuruh kita untuk berpandangan terbuka dan sedikit lebih imajinatif; karena kita dapat melihat planet-planet ini sewaktu-waktu, maka berarti kita tahu bahwa mereka ada di tempatnya pada saat kita tidak dapat melihatnya. Dengan demikian mereka dalam keadaan gaib (tidak terlihat).

وَ اللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ

  1. Dan malam tatkala ia mengelam.

وَ الصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ

  1. Dan pagi tatkala ia bersinar.

Kemudian ketika malam tiba, dengan kegelapan dan kesunyiannya yang sangat, kita tidak dapat melihat apa pun. Malam menunjukkan kesunyian dan pengeraman, kegelapan dan hibernasi (tidur panjang). Kemudian dikatakan, ‘Dan tatkala pagi bersinar’, karena setelah hibernasi kita mulai ‘memasukkan’ (kehidupan—peny.) dengan cara menarik napas. Yang dimaksud di sini adalah siklus yang dimulai dari keheningan yang sepi ke kehidupan dan aktivitas. Penjajaran dua ayat ini menunjukkan dualitas eksistensi: kelembaman (inersia) dan gerakan.

Untuk mencapai makna batin dari ayat ini kita juga bisa membandingkan dengan keterangan terdahulu mengenai matahari dan bintang yang menyatakan, “Tapi tidak! Aku bersumpah demi bintang’. Keterangan ini berkenaan dengan beberapa aspek dalam diri kita, yakni gemintang dalam diri kita, yang tiba-tiba muncul setelah tersembunyi. Kilauan dalam diri kita, kemurahan hati, belas kasih, dan sifat sepi ing pamrih yang tidak terlihat sebelumnya, tiba-tiba muncul, bagaikan gemintang yang menyala terbakar panas matahari, yakni roh. Malam bagaikan kegelapan yang menyelimuti kita, dan siang bagaikan melepas selimut itu, sehingga kita pun dalam keadaan terang dan gembira. Alam makrokosmos, yang diterangkan dalam al-Qur’an, terefleksi dalam alam mikrokosmos, yakni diri kita sendiri.

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ

  1. Sesungguhnya itu adalah sabda seorang utusan yang mulia.

ذِيْ قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِيْنٍ

  1. Yang mempunyai kekuatan, yang tegak di sisi Tuhan Yang mempunyai Singgasana.

مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِيْنٍ

  1. Seorang [yang harus] ditaati, dan dipercaya.

Yang dimaksud ayat ini adalah ucapan Rasul yang mulia, yang memiliki kekuatan besar, dan kekuatan tersebut berasal dari Pemilik Kekuatan, Dia Yang dalam Kemahakuasaan-Nya kokoh berdiam di atas ‘arsy (singgasana, fondasi, sanggaan). Namun kemudian Nabi tidak ditaati, dan kita bisa bertanya apakah sekarang pun beliau ditaati. Maksud ayat ini adalah bahwa apa yang diucapkan Nabi adalah kebenaran mutlak. Ia ditaati karena kebenaran, karena hakikat kebenaran itu sendiri. Ia disatukan dengan takdir, dengan ketetapan mutlak. Ia ditaati oleh orkestra dari seluruh eksistensi. Jika kita tidak selaras dengan orkestra ini dan hanya mendengarkan suara hiruk-pikuk batin kita sendiri, maka berarti kita tidak taat.

Pada saat surah-surah ini diturunkan, Nabi hanya mempunyai beberapa gelintir pengikut. Al-Qur’an menyatakan hal ini: ‘Sejumlah besar dari golongan permulaan dan sejumlah kecil dari golongan kemudian (Q.S.56:13-14). Al-Qur’an selalu berbicara tentang yang sejumlah kecil itu. Ia berbicara tentang kualitas bukan kuantitas. Ini adalah hukum alam. Dari sudut syar‘i (hukum lahiriah), dari sudut penciptaan, inilah kebenaran.

وَ مَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُوْنٍ

  1. Dan kawan kamu tidaklah gila.

Mā bi-majnūn artinya, ‘Ia tidak kesurupan. Pikirannya tidak tertutupi’. Allah berfirman, Itu tiada lain hanyalah peringatan dan bacaan yang terang (Q.S.36:69). Tidak ada aspek intelek Nabi yang tersembunyi. Majnūn (dari janna, menutupi, menyelubungi, menyembunyikan) dalam bahasa ‘Arab berarti ‘orang gila’, tapi alasan diartikan ‘orang gila’ adalah karena berkenaan dengan seseorang yang inteleknya disembunyikan, di mana kualitas yang membedakannya tidak dikembangkan tapi ditutupi dan diselubungi dan tidak mengungkapkan diri secara lahiriah dalam bentuk aql (rasionalitas, intelek). Majnūn juga berarti orang yang dirasuki, karena korban yang kerasukan (kesurupan) menunjukkan gejala-gejala yang sama dengan orang gila (etimologi dari jinn, entitas yang tidak dapat dilihat, roh); jadi majnūn adalah seseorang yang dirasuki oleh jin.

Ayat ini meyakinkan kita bahwa Nabi tidaklah gila. Kita butuh penegasan kembali karena kita telah menanamkan hal ini dalam sistem pemahaman kita, dan bila ada orang mengatakan kepada kita bahwa kita tidak memiliki apa pun, bahwa kita tidak ada apa-apanya, bahwa kita tidak berasal dari mana pun dan akan kembali entah ke mana, dan bahwa kita harus melepaskan segala sesuatu, maka tentu saja kita akan menyatakan orang ini tidak waras.

وَ لَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِيْنِ

  1. Dan sesungguhnya, ia melihat dirinya ada di cakrawala yang terang.

وَ مَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِيْنٍ

  1. Dan ia tidak kikir terhadap yang gaib.

Makna lahir dari ayat 23 adalah berkenaan dengan Nabi melihat malaikat Jibril di Gunung Hira. Nabi melihat kebenaran, melihat pesan yang datang kepadanya, bagaikan cakrawala yang mendatangi manusia dari kejauhan, dari sisi lain hatinya, sebagaimana dilukiskan dalam surah Yā Sīn: “Dan dari bagian kota yang jauh, datanglah seorang pria (yakni, nabi) sambil berlari (Q.S.36:20). Ini karena jika kebenaran telah dekat, maka kebenaran itu juga akan jelas sejak permulaan. Implikasinya adalah bahwa ketika pesan datang, maka ia pasti datang dari jauh sekali. Kerahiman Tuhan menunjukkan Jibril kepada Nabi dalam bentuk yang dapat dilihat sehingga ia tidak akan dibingungkan dengan ‘suara batin’ dan ‘penglihatan batin’, yang dapat membawa kepada berbagai ekses dan keniskalaan. Nabi selalu mendapat tanda-tanda lahir yang langsung—dalam bentuk seorang laki-laki, Jibril—yang muncul kepadanya, karena ia berada dalam keadaan kesatuan (tauḥīd).

وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَيْطَانٍ رَجِيْمٍ

  1. Dan itu bukanlah perkataan setan yang terkutuk.

فَأَيْنَ تَذْهَبُوْنَ

  1. Lalu kemanakah kamu akan pergi?

Kata syaithān (setan) berasal dari kata kerja syathana, yang berarti ‘keras kepala, suka menentang, berbelok jalan, menjauh’. Rajīm artinya ‘dilempari batu, dihujani batu, diusir dengan lemparan batu’, dan ‘celaka, terkutuk’. Kemudian ayat ini menanyakan, ‘Kemanakah kamu akan pergi?’ Karena berasal dari kandungan dan berangkat menuju kuburan, maka kita tercegat dalam interval waktu antara kandungan dan kuburan ini. Kita hanyalah seutas benang yang bergetar di antara awal dan akhir tersebut; tiada tempat untuk dituju selain mengakui adanya Allah di balik semua wujud.

Inilah makna penyerahan—makna Islam—yakni berserah diri kepada realitas yang ada dalam hati kita. Kita hanya bisa berusaha semampu kita, sedia setiap saat, setiap detik, dan siap menaburi wajah kita dengan debu tanah yang merupakan asal kita dan ke situ pula kita akan kembali.

Andaikan kita mencapai keadaan berserah diri, maka kita akan semakin merasakan nikmatnya nyanyian al-Qur’an, dan semuanya akan lebih jelas kepada kita. Namun, kita dapat menyentuh [kedalaman] al-Qur’an hanya jika kita bersih, maksudnya bersih hati, tidak punya pamrih (pengharapan). Penderitaan dan kesengsaraan kita adalah akibat dari pamrih-pamrih kita. Kita percaya bahwa hal-hal tertentu akan terjadi, dan bila tidak, kita pun menderita lalu menyalahkan orang lain. Tak ada yang harus disalahkan selain diri kita sendiri karena kita telah menomorsatukan pamrih-pamrih itu. Jika kita datang tanpa pamrih, maka seluruh drama kehidupan akan menjadi sepenggal sandiwara yang indah. Kita menikmatinya, berbuat semampu kita, dan memainkan peran kita. Kita tidak dapat mengalami keindahan seperti itu kecuali dalam keadaan bersih, karena itu kita harus mulai membersihkan diri secara lahir maupun batin, dan lahiriah merupakan tempat yang lebih mudah untuk kita memulai.

إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِيْنَ

  1. Itu tiada lain hanyalah peringatan bagi seluruh alam.

Tujuan penciptaan adalah untuk menemukan Sang Pencipta. Pada tahap awal penyingkapan rohani kita mulai melihat makna di balik berbagai peristiwa. Latihan ingatan kita bergerak dari yang kasar ke yang halus. Bila ingatan sudah terlampaui, Realitas yang sangat agung dari kekuatan dan kehadiran Sang Pencipta akan menggeser seluruh ingatan terhadap urusan duniawi. Inilah transformasi yang dapat dihasilkan oleh ketundukkan dan peringatan al-Qur’an bagi orang-orang yang benar, tulus, dan lurus (mustaqīm, lihat ayat selanjutnya). Bersikap mustaqīm menunjukkan keikhlasan dan kejujuran dan memerlukan kesabaran sena keteguhan hati.

لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيْمَ

  1. Bagi siapa di antara kamu yang hendak berjalan di jalan yang lurus.

Mustaqīm berarti ‘benar, tulus, lurus’, dari istaqāma (bertindak jujur). Akar dari bentuk kata kerjanya adalah qāma yang berarti ‘berdiri teguh atau kokoh’. Beberapa kata penting berasal dari akar kata ini seperti al-qiyāmah, yang berarti ‘Kebangkitan’. Qum, juga dari akar kata yang sama, berarti ‘berdiri, bersiap-siap’, dan merupakan nama yang sekarang dikenal sebagai kota ulama di Iran. Kata yang sekaitan dengan qāma berarti stabilitas; jika kita stabil, maka kita akan siap-siaga. Kesiap-siagaan tidak akan datang bila kepala kita berat, tumpul dan kosong, tapi lebih baik kalau kita berdiri lurus dengan kepala tegak, memiliki loyalitas, kesabaran dan kepastian. Karena alasan itulah maka ketika kita berzikir punggung kita harus lurus dan kepala kita harus tetap dalam posisi paling tegak.

وَ مَا تَشَاؤُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ

  1. Dan kamu tidak menerima apa yang Allah kehendaki, Tuhan semesta alam.

Manusia tidak dapat mengharapkan sesuatu selain dari apa yang telah dikehendaki oleh Sang Pencipta. Hukum Sang Pencipta menyatakan bahwa manusia mempunyai suatu pilihan: ” Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan kepadanya; ia boleh berterimakasih atau tidak berterimakasih (Q.S.76:3). Jika manusia dalam keadaan bersyukur maka ia puas dan bahagia, dan jika bahagia maka ia berdayaguna dan penuh energi, siap, mabuk dengan kesenangan batin. Inilah ibadat manusia bebas yang bebas karena menjadi hamba yang sejati. Kita tidak bisa memiliki satu hal tanpa hal lainnya. Akar kebebasan terletak pada penghambaan.

Tapi barangsiapa dalam keadaan kufur (menutup hati, ingkar, tidak bersyukur) maka sadar dan bertobatlah karena tidak beramal sekarang. Ia tidak menyadari bahwa setiap detik itu bertuah dan setiap tarikan napas adalah berkah. Jika kita menganggap setiap tarikan napas sebagai tarikan terakhir, maka semua utang akan dilunasi, kita akan berkelakuan dengan benar, kita tidak akan sangsi, dan kita akan bermurah hati. Kita senantiasa akan menyenangkan orang lain. Jika kita tidak punya pamrih, kita tidak akan berbicara kepada orang yang tidak ingin mendengarkan. Kita akan seperti burung yang hanya bernyanyi untuk lagunya. Burung yang bebas tidak punya pamrih; ia bernyanyi baik kita beri makan ataupun tidak karena begitulah sifatnya, misinya, realitasnya.

Rabb adalah entitas yang mengangkat setiap sistem sampai mencapai potensi penuhnya. Rabb adalah ‘Tuhan’. Dia memberi kepada mahluk haknya agar tumbuh dan berkembang penuh. Ketika kita sembahyang, maka kita berserah diri kepada entitas itu, kepada daya atau kekuatan yang membesarkan siapa pun hingga potensi penuhnya, dan potensi penuh itu adalah jiwār-ur-Rabb (kedekatan dengan Tuhan).

Allah berfirman dalam al-Qur’an, Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (Q.S.50:l6). Lantas di mana kita? Apakah kita dalam jiwār (kedekatan, kekariban), atau apakah kita telah memisahkan diri dari-Nya? Allah ada dimana-mana; tidak ada sesuatu selain Allah. Karena hal ini adalah benar, mengapa kita tidak diliputi dan diambilalih oleh Realitas itu? Jawabnya adalah karena kita telah mengidentifikasi diri dengan apa yang disebut ‘Aku’. Al-Qur’an hadir hanya untuk mengingatkan kita bahwa yang disebut ‘Aku’ hanya datang untuk mati dan bahwa kita harus menyerahkannya dengan sengaja dan masuk ke dalam kenikmatan Ketuhanan. Melalui pengagungan Tuhan (tasbīḥ), manusia masuk ke dalam kebenaran yang meliputi semua, dan tanzīh (beribadat tanpa menyekutukan dengan makhluk atau benda antropomorfis) adalah sesuatu yang murni di luar imajinasi, sama sekali tak bernoda. Manusia harus membawa dirinya ke keadaan itu dan bertahan di dalamnya, dan itulah makna dari kedekatan. Dengan menjalani kehidupan duniawi sepenuhnya menurut kaidah perilaku (syariat), jujur dengan perkataannya, maka ia akan mencapai realitas (hakikat) batin.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.