Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir Sayyid Quthb (4/4)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Dilambai-lambaikannya pemandangan-pemandangan alam yang sarat dengan kehidupan dan dihubungkannya ruh manusia dengan ruh-ruh dalam semesta dari celah-celah pengungkapan yang hidup dan indah, bertujuan untuk meresapkan rahasia-rahasianya ke dalam jiwa manusia, dan memadukannya dengan kekuasaan yang ada di belakangnya. Juga untuk berbicara kepada jiwa-jiwa ini tentang kebenaran hakikat imaniah yang diserukannya. Setelah itu disebutkannyalah hakikat ini dalam suasana yang sangat tepat untuk disebutkan dan diterima,

Sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibrīl), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arasy, dan ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya” (at-Takwīr: 19-21).

Al-Qur’ān dan penjelasan tentang hari akhir ini adalah benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia, yaitu malaikat Jibrīl, yang telah membawa firman ini dan menyampaikannya. Sehingga, bisa dikatakan sebagai perkataannya karena ia yang menyampaikannya.

Dengan menyebut sifat utusan (malaikat) yang telah dipilih untuk membawa dan menyampaikan firman Allah, yaitu sifat “mulia” di sisi Tuhannya, maka Tuhannyalah yang berfirman: “….yang mempunyai kekuatan.” Hal ini memberi isyārat bahwa untuk membawa firman Allah diperlukan kekuatan. Kemudian disebutkan: “Yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arasy.” Dalam posisi dan keduduannya. Di sisi siapa? Di sisi Tuhan yang mempunyai ‘Arasy, Yang Maha Tinggi lagi Maha Luhur. “Yang ditaati di sana”, di kalangan makhlūq tertinggi, “lagi dipercaya” terhadap apa yang dibawa dan disampaikannya.

Sifat-sifat ini secara keseluruhan mengisyaratkan kemuliaan, keagungan, ketinggian, dan keluhuran firman ini, sebagaimana ia juga menunjukkan besarnya perhatian Allah Yang Maha Suci kepada manusia. Sehingga, Dia memilih utusan (malaikat) dengan sifat-sifatnya yang demikian itu untuk membawa risālah dan menyampaikan wahyu tersebut kepada Nabi pilihan-Nya. Ini adalah perhatian yang menjadikan manusia malu, karena ia tidak memiliki sesuatu pun di dalam kekuasaan Allah ini, seandainya Allah Yang Maha Suci tidak memberinya karunia dan memuliakannya dengan kemuliaan seperti itu.

 

Inilah sifat utusan (malaikat) yang membawa dan menyampaikan firman Allah, sedangkan Rasūl yang dibawakan dan disampaikan kepadanya wahyu itu adalah “temanmu” yang telah kamu kenal betul dalam waktu yang panjang. Maka, mengapakah kamu mengatakan yang bukan-bukan tentangnya ketika beliau datang kepadamu dengan membawa kebenaran? Mengapa kamu putar balikkan urusannya sedemikian rupa padahal beliau adalah “temanmu” yang tidak asing bagimu? Beliau sangat tepercaya di dalam menyampaikan informasi tentang perkara ghaib kepadamu secara meyakinkan,

Temanmu (Muḥammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. Sesungguhnya Muḥammad itu melihat Jibrīl di ufuk yang terang. Dia (Muḥammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib. AlQur’ān itu bukanlah perkataan syaithān yang terkutuk. Maka, ke manakah kamu akan pergi? Al-Qur’ān itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam”. (at-Takwīr: 22-27).

Mereka mengatakan yang bukan-bukan tentang Nabi mulia yang sudah mereka kenal betul kecerdasan pikiran, kejujuran, keamanahan, dan konsistensinya. Mereka mengatakan bahwa beliau itu orang gila, dan syaithān telah turun kepadanya untuk menyampaikan sesuatu yang dikatakannya itu. Sebagian mereka mengatakan hal ini sebagai tipu-daya terhadapnya dan terhadap dakwahnya sebagaimana diinformasikan dalam berita al-Qur’ān itu.

Sedangkan, sebagian lagi mengatakan hal yang seperti itu karena mereka merasa heran dan terkejut terhadap perkataan yang tidak pernah diucapkan oleh seorang manusia pun sepanjang yang mereka ketahui. Ditambah lagi dengan anggapan mereka bahwa setiap penyair memiliki syaithān yang biasa datang kepadanya dengan membawa perkataan yang ganjil; setiap paranormal memiliki syaithān yang biasa datang kepadanya dengan membawa perkara ghaib yang jauh; dan syaithān kadang-kadang datang kepada sebagian orang lantas mengatakan melalui lisannya perkataan-perkataan yang aneh-aneh. Mereka tinggalkan alasan satu-satunya yang benar, yaitu bahwa apa yang disampaikan beliau itu adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.

Maka, apa segmen surah ini al-Qur’ān datang untuk berbicara kepada mereka tentang keindahan alam yang menakjubkan dan kehidupan pemandangan-pemandangannya yang indah. Tujuannya untuk memberikan kesan ke dalam hati mereka bahwa al-Qur’ān itu bersumber dari kekuasaan pencipta yang telah menciptakan keindahan itu dengan tiada contoh lebih dahulu. Juga untuk memberitahukan kepada mereka tentang sifat utusan (malaikat) yang membawanya dan utusan (Rasūl) yang menerimanya.

Apalagi Rasūl itu adalah teman mereka yang sudah mereka kenal, bukan orang gila. Beliau telah melihat utusan yang mulia, malaikat Jibrīl, dengan benar-benar melihatnya, di ufuk yang terang secara meyakinkan. Nabi s.a.w. benar-benar dapat dipercaya di dalam memberikan keterangan tentang perkara ghaib. Tidak pantas dilontarkan kepadanya tuduhan yang bukan-bukan tentang informasi yang diriwayatkannya dari Tuhannya. Maka, mereka tidak mengenal benar dan meyakinkan.

Al-Qur’ān itu bukanlah perkataan syaithān yang terkutuk.”

Karena syaithān tidak mewahyukan manhaj atau peraturan yang lurus ini.

Al-Qur’ān bertanya kepada mereka dengan nada ingkar:

Maka, ke manakah kamu akan pergi?

Ke mana kamu akan pergi dengan hukum dan perkataanmu itu? Atau, ke mana kamu akan pergi berpaling dari kebenaran padahal Allah itu selalu menghadapimu di mana saja kamu berada?

Al-Qur’ān itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam”.

Peringatan yang mengingatkan mereka tentang hakikat wujud mereka, hakikat kejadian mereka, dan hakikat alam di sekitar mereka.

“….bagi alam semesta…..”

Maka, al-Qur’ān ini merupakan dakwah alamiah (internasional) sejak tahap pertama kehadirannya. Dakwah di Makkah itu terkepung dan terusir sebagaimana disaksikan oleh nash-nash Makkiyyah seperti ini.

Silakan Menempuh Jalan yang Lurus.

Di depan keterangan yang mengesankan dan cermat ini, mereka diingatkan bahwa jalan hidāyah itu dimudahkan bagi orang yang menghendaki. Kalau demikian, maka mereka akan dimintai pertanggungjawaban tentang diri mereka, padahal Allah telah memberikan kepada mereka kemudahan ini:

لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيْمَ.

(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” (at-Takwīr: 28).

Siapa saja yang mau menempuh jalan yang lurus di atas hidāyah Allah, di jalan menuju kepada-Nya, sesudah keterangan ini. Yaitu, jalan yang menyingkap semua syubhat, menghilangkan semua keraguan, dan menggugurkan semua alasan yang dibuat-buat, serta membisikkan kepada hati yang sehat ke jalan yang lurus. Maka, barang siapa yang tidak mau menempuh jalan yang lurus, niscaya ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang penyimpangannya, karena di depannya sudah ada jalan lurus yang dapat ditempuhnya.

Menurut kenyataan, unsur-unsur yang dapat membawa orang kepada hidāyah dan mendorongnya untuk beriman baik yang terdapat pada diri seseorang maupun pada alam semesta itu sangat kuat, mendalam, dan berat. Sehingga, sulit bagi hati untuk menghindar dari tekanannya kecuali dengan usaha keras dan sungguh-sungguh (untuk menghindarinya). Khususnya, ketika seseorang mendengarkan pengarahan kepada hidāyah dan iman itu dengan metode al-Qur’ān yang mengesankan dan membangkitkan kesadaran. Tidaklah akan menyimpang dari jalan Allah sesudah itu kecuali orang yang memang ingin menyimpang, tanpa ‘udzur dan alasan pembenar apa pun.

Kehendak Teragung.

Setelah ditetapkan bahwa manusia itu dapat saja memperoleh hidāyah dan dimudahkan untuk berjalan di jalan yang lurus, maka ditetapkan kembali hakikat besar yang ada di belakang kehendak mereka. Yaitu, suatu hakikat bahwa kehendak yang bertindak di belakang segala sesuatu adalah kehendak Allah s.w.t.

وَ مَا تَشَاؤُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ

Kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (at-Takwīr: 29).

Hal itu supaya mereka tidak memahami bahwa kehendak mereka tersebut lepas dari kehendak terbesar yang menjadi tempat kembalinya segala urusan. Maka, pemberian kebebasan kepada mereka untuk memilih dan dimudahkannya meraih petunjuk, semua itu kembali kepada kehendak terbesar tersebut, yang meliputi segala sesuatu, yang sudah, sedang, maupun yang akan ada.

Nash-nash ini disebutkan pada bagian akhir oleh al-Qur’ān setelah menyebutkan kehandak makhlūq, dengan maksud untuk meluruskan pandangan imani dan cakupannya terhadap hakikat yang besar. Yaitu, hakikat bahwa segala sesuatu di alam wujud ini kembalinya adalah kepada Allah. Juga hakikat bahwa apa yang diidzinkan-Nya bagi manusia yang berupa kemampuan untuk menentukan pilihan itu adalah bagian dari kehendak-Nya, sebagaimana halnya semua ketentuan dan aturan yang lain.

Keadaannya seperti apa yang diidzinkan bagi para malaikat untuk melakukan ketaatan yang mutlak terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka, dan adanya kemampuan yang sempurna untuk melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Hal ini adalah bagian dari kehendak Allah juga, seperti halnya. Dia memberi kemampuan kepada manusia untuk memilih salah satu jalan setelah diajarkan dan dijelaskan kepada mereka.

Akhirnya, tak dapat dilepaskan bahwa kita perlu menetapkan hakikat ini di dalam pikiran orang-orang mu’min, agar mereka mengerti apa kebenaran itu sendiri. Juga agar mereka berlindung kepada kehendak teragung dengan mencari pertolongan dan taufīq di sisi-Nya, serta bergantung pada-Nya dalam semua yang mereka ambil dan mereka ditinggalkan di dalam pejalanan.