Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir Sayyid Quthb (3/4)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Dan apabila catatan-catatan (‘amal perbuatan manusia) dibuka” (at-Takwīr: 10).

Dengan dibukanya catatan-catatan ‘amal ini, maka dapatlah disingkap dan diketahui semuanya sehingga tidak ada yang samar dan tersembunyi lagi. Transparansi ini lebih berat dan lebih menekan jiwa. Berapa banyak kejelekan yang pelakunya sendiri merasa malu menyebutkannya, dan merasa takut dan merinding mengungkapkannya. Namun, pada hari kiamat nanti seluruh dosa dan keburukannya itu akan dibuka dan dapat disaksikan secara transparan.

Pembeberan dan penyingkapan catatan ‘amal ini termasuk salah satu macam peristiwa besar pada hari itu, yang notabene adalah sebagai salah satu bentuk keterbalikan aturan. Segala sesuatu yang biasanya dan mestinya disembunyikan malah disingkapkan, yang biasanya ditutup-tutupi kini dinyatakan secara terang-terangan, bahkan yang tersembunyi di dalam hati pun terungkapkan.

 

Penyingkapan segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati ini berhadapan dengan pemandangan peristiwa alam seperti:

وَ إِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ.

Dan apabila langit dilenyapkan” (at-Takwīr: 11).

Yang segera ditangkap oleh pikiran ketika mendengar kata samā’ “langit” adalah tutup yang tinggi di atas kepala, dan kasythuhā berarti melenyapkannya. Adapun pengetahuan tentang bagaimana hal ini bisa terjadi dan bagaimana caranya, maka kita tidak memiliki jalan untuk menetapkan dan memastikannya. Namun, kita dapat saja membayangkan bagaimana seseorang memandang ke angkasa lantas tidak melihat kubah langit lagi di atasnya, karena suatu sebab yang mengubah aturan semesta ini, yang karenanya terjadi fenomena seperti itu. Cukup begitu sajalah yang kita pikirkan, tidak usah memikirkan bagaimana cara dan terjadinya yang sebenarnya.

 

Kemudian datanglah langkah terakhir mengenai pemandangan-pemandangan hari yang besar dan menakutkan itu:

وَ إِذَا الْجَحِيْمُ سُعِّرَتْ. وَ إِذَا الْجَنَّةُ أُزْلِفَتْ.

Dan apabila neraka Jaḥīm dinyalakan, dan apabila surga didekatkan” (at-Takwīr: 12-13).

Neraka Jaḥīm dinyalakan, gejolaknya harus bertambah, dan panasnya pun makin bertambah. Di manakah ia berada? Bagaimanakah cara menyulut dan menyalakannya? Dengan apa ia dinyalakan? Mengenai semua ini kita tidak mengetahuinya kecuali apa yang difirmankan oleh Allah ta‘ālā:

Bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (at-Taḥrīm: 6).

Hal itu terjadi setelah manusia itu dilemparkan ke dalamnya. Adapun sebelum itu, maka Allah lebih mengetahui bagaimana menyalakannya.

Pada sisi lain, surga didekatkan dan ditampakkan kepada calon penghuninya yang dipanggil untuk memasukinya. Sehingga, tampak bagi mereka betapa mudahnya memasukinya. Maka, surga didekatkan dan sudah disiapkan. Adapun lafal uzlifat “didekatkan” ini memberi kesan seakan-akan surga itu diluncurkan, atau kaki meluncur dengan mudah ke sana.

 

Pada waktu semua peristiwa besar itu terjadi, berkenaan dengan keberadaan alam semesta, dan mengenai semua makhlūq hidup dan segala sesuatu, maka pada waktu itu tidak ada keraguan sedikit pun di dalam hati manusia mengenai hakikat segala sesuatu yang telah diusahakannya untuk mengadapi hari yang besar itu, apa yang akan dibawanya untuk dihamparkan di sana, dan apa saja yang telah dikerjakannya untuk dihisab dan dipertanggungjawabkannya,

عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا أَحْضَرَتْ.

maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya”. (at-Takwīr: 14).

Setiap jiwa pada hari yang besar dan menakutkan itu akan mengetahui apa yang akan diperolehnya dan yang akan menimpanya. Ia mengetahuinya padahal waktu itu ia juga sedang diliputi dan dihadapkan kepada ketakutan dan kengerian yang luar biasa. Ia mengetahui, sedangkan ia tidak memiliki kemampuan sedikit pun untuk mengubah apa yang telah dikerjakannya, tidak dapat menambah atau menguranginya sama sekali. Ia mengetahui, sedangkan ia sudah lepas dari segala sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupannya, atau yang dibayangkannya.

Pada saat itu ia sudah terputus hubungannya dengan dunianya, dan dunianya sudah terputus darinya. Segala sesuatu telah berubah, telah berganti, dan tidak ada yang kekal kecuali wajah Allah Yang Maha Mulia, yang tidak pernah berubah dan berganti. Maka, alangkah utamanya jiwa manusia yang senantiasa menghadap kepada Allah Yang Maha Mulia. Sehingga, kelak ia akan bertemu dengan-Nya ketika segala sesuatu sudah berubah dan berganti,

Dengan terjadinya peristiwa ini beserta kesan-kesannya, maka diakhirilah segmen pertama surah ini. Sedangkan, perasaan sudah dipenuhi dengan kesan-kesan pemandangan tentang hari amat besar yang pada waktu itu berjadi pembalikan dan perubahan keadaan secara total.

Pemandangan Alam, Al-Qur’ān, Jibrīl, dan Rasūlullāh s.a.w.

Selanjutnya datanglah segmen kedua surah ini yang dimulai dengan menyampaikan sumpah secara berturut-turut dengan pemandangan-pemandangan alam yang indah, yang diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang unik dan apik. Sumpah tentang tabiat wahyu, sifat utusan yang membawanya, Rasūl yang menerimanya, dan sikap manusia terhadapnya, sesuai dengan kehendak Allah,

فَلَا أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ. الْجَوَارِ الْكُنَّسِ. وَ اللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ. وَ الصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ. إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ. ذِيْ قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِيْنٍ. مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِيْنٍ. وَ مَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُوْنٍ. وَ لَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِيْنِ. وَ مَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِيْنٍ. وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَيْطَانٍ رَجِيْمٍ. فَأَيْنَ تَذْهَبُوْنَ. إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِيْنَ. لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيْمَ. وَ مَا تَشَاؤُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ

Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan terbenam. Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing, sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibrīl), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arasy, dan ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Temanmu (Muḥammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. Sesungguhnya Muḥammad itu melihat Jibrīl di ufuk yang terang. Dia (Muḥammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib. Al-Qur’ān itu bukanlah perkataan syaithān yang terkutuk, Maka, ke manakah kamu akan pergi? Al-Qur’ān itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (at-Takwīr: 15-29).

 

Al-khunnas, al-jawār-il-kunnas” adalah bintang-bintang yang beredar dan terbenam, yang kembali kepada putaran falakiahnya, yang berjalan dan bersembunyi. Pengungkapan kalimat-kalimatnya melukiskan kehidupan yang gesit dan lincah bagaikan kehidupan kelinci, yang berlari-lari dan bersembunyi di dalam kandangnya, dan kembali lagi dari sudut lain. Di sana ada denyut kehidupan dari celah-celah pengungkapan kalimat-kalimatnya yang bagus dan indah di dalam mengungkapkan bintang-bintang. Di sana juga ada kesan perasaan terhadap gerakan yang indah, dalam terbenam dan munculnya bintang-bintang itu, dalam bersembunyi dan kepergiannya, serta dalam perjalanan dan kembalinya, yang diimbangi dengan kesan keindahan dalam bentuk lafal dan gema suaranya.

وَ اللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ.

Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya” (at-Takwīr: 17).

Ya‘ni, apabila telah gelap. Lafal ini juga memberi kesan seperti itu, karena lafal (عَسْعَسَ) ini terdiri dari dua suku kata yaitu (عَسَ) dan (عَسَ), yang bunyinya mengesankan kehidupan pada malam itu. Pada waktu itu ia meraba-raba dalam gelap dengan tangan dan kakinya, tapi tidak dapat melihat juga. Ini merupakan kesan yang menakjubkan dan pilihan kata yang indah.

Demikian pula dengan ayat: (وَ الصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ.) “Dan demi shubuh apabila fajarnya mulai menyingsing.

Bahkan, ini menunjukkan fenomena kehidupan yang jelas dan lebih mengesankan. Shubuḥ itu sebagai sesuatu yang hidup dan bernapas. Napasnya adalah cahaya, kehidupan, dan gerakan yang merambat pada setiap makhlūq hidup. Saya hampir-hampir memastikan bahwa bahasa ‘Arab dengan segala ungkapannya tidak pernah memiliki ungkapan yang sebanding dengan pengungkapan al-Qur’ān tentang waktu shubuḥ ini. Ketika melihat fajar menyingsing, hampir-hampir hati yang terbuka merasakan bahwa secara praktis ia bernapas. Kemudian datanglah ungkapan ini dengan melukiskan hakikat yang memberikan kesan sedemikian rupa kepada hati yang terbuka itu.

Setiap orang yang bisa merasakan keindahan pengungkapan dan pelukisan itu tentu mengetahui bahwa firman Allah: ……( فَلَا أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ. الْجَوَارِ الْكُنَّسِ. وَ اللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ), kaya dengan perasaan dan pelajaran, melebihi hakikat-hakikat alamiah yang diisyaratkan, serta kekayaan yang indah, bagus, dan apik. Hal ini ditambah dengan kesiapan perasaan manusia itu sendiri, yang menerima fenomena-fenomena itu dengan perasaan yang peka.