Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir Sayyid Quthb (2/4)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Maksud bintang-bintang berjatuhan itu mungkin ia berpelantingan dan lepas dari sistem yang mengikatnya, cahayanya padam, dan menjadi gelap gulita. Allah yang lebih mengetahui bintang apa yang terkena peristiwa ini. Apakah gugusan bintang yang dekat dengan kita, seperti tata surga kita, atau galaksi Bima Sakti yang terdiri dari beratus-ratus juta bintang, ataukah semua bintang yang tidak ada yang mengetahui jumlah dan letaknya kecuali Allah?

Pasalnya, di belakang kita masih terdapat banyak galaksi dan ruang hampa yang tidak kita ketahui hitungan dan kesudahannya. Maka, kelak akan ada bintang-bintang (atau semua bintang) yang berjatuhan atau pudar cahayanya sebagaimana diinformasikan dalam infromasi yang benar dan tidak ada yang mengetahui hakikatnya kecuali Allah.

 

Dihancurkannya gunung-gunung itu mungkin maksudnya adalah dihancurkan dan dihamburkannya ke udara, sebagaimana disebutkan dalam surah lain:

Mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah: “Tuhanku akan menghancurkannya (pada hari kiamat) sehancur-hancurnya.” (Thāhā: 105).

Gunung-gunung dihancurkan sehancur-hancurnya.” (al-Wāqi‘ah: 5).

Dijalankanlah gunung-gunung, maka menjadi fatamorganalah ia.” (an-Naba’: 20).

Semua itu mengisyāratkan bahwa peristiwa seperti ini akan terjadi pada gunung-gunung, maka gunung-gunung yang kokoh kuat dan teguh tersebut akan tercerabut dan musnah.

Mungkin itu merupakan permulaan goncangan keras yang akan menimpa bumi sebagaimana dikatakan oleh al-Qur’ān:

Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)-nya.” (az-Zalzalah: 1-2).

Adapun firman Allah:

وَ إِذَا الْعِشَارُ عُطِّلَتْ.

Dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak diperdulikan)” (at-Takwīr: 4).

Al-‘Isyār” adalah unta-unta yang bunting sepuluh bulan. Unta-unta tersebut merupakan harta kekayaan bangsa ‘Arab yang paling bagus dan paling berharga ketika itu. Dengan keadaannya yang bunting seperti ini, maka unta-unta itu merupakan harta yang paling mahal. Karena, dapat diharapkan anak dan susunya, serta sangat besar manfaatnya. Maka, pada hari terjadinya peristiwa yang mengerikan dan menakutkan itu, diabaikanlah unta-unta yang bunting tersebut sehingga tidak berharga lagi dan tidak ada seorang pun yang menganggapnya penting.

Bangsa ‘Arab yang diajak bicara pertama kali dengan ayat ini, tidak akan mengabaikan dan melepaskan tangannya dari unta seperti itu. Kecuali, jika mereka dalam keadaan yang amat gawat dan lebih dahsyat daripada segala sesuatu yang dikumpulkannnya tersebut.

وَ إِذَا الْوُحُوْشُ حُشِرَتْ.

Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan” (at-Takwīr: 5).

Binatang-binatang liar ini berlarian karena merasa takut terhadap peristiwa besar yang mengerikan itu. Mereka berkumpul dan menyatu di bukit-bukit. Mereka sudah lupa terhadap binatang-binatang lain yang biasanya menakutkan sebagaimana mereka juga lupa kepada binatang-binatang buas yang biasanya menerkamnya. Pasalnya, kengerian dan ketakutan terhadap peristiwa hari itu menjadikan binatang-binatang tersebut terlepas dari karakter dan sifat-sifat khususnya. Maka, bagaimana lagi dengan manusia dalam menghadapi perisitwa besar yang penuh kesulitan itu?!

Adapun ma‘na dipanaskannya lautan mungkin adalah airnya meluap-luap. Mungkin juga berarti airnya itu datang dari luapan-luapan seperti yang dikatakan bahwa ia menyertai kejadian bumi dan kebekuannya/kemampatannya sebagaimana sudah kita bicarakan dalam surat an-Nāzi‘āt. Mungkin karena gempa-gempa bumi dan gunung-gunung meletus yang menghilangkan batas-batas antara lautan yang satu dan lautan yang lain, sehingga yang sebagian memancar pada sebagian yang lain. Atau, mungkin juga yang dimaksud adalah lautan meluap dan memancar sebagaimana dikatakan dalam surah lain:

Dan apabila lautan dijadikan meluap.” (al-Infithār: 3).

Maka, berpencarlah unsur-unsurnya dan terpisahlah hidrogen dari oksigennya. Atau, atom-atomnya terpencar seperti terpencarnya dzat-dzat pada bom atom atau lebih dahsyat lagi, atau entah seperti apa lagi. Nah, pada waktu peristiwa ini terjadi, maka ada api sangat besar yang tidak terlukiskan ukurannya muncul dari lautan.

Pemancaran kadar tertentu dari sumbu bom atom atau bom hidrogen saja bisa menimbulkan ledakan yang luar biasa mengerikan sebagaimana dikenal oleh dunia. Apalagi dengan ledakan atom-atom lautan seperti itu atau entah seperti apa lagi, yang tentu tidak dapat dibayangkan oleh manusia. Juga tidak dapat dibayangkan oleh mereka mengenai kondisi neraka Jahannam yang lebih dahsyat daripada lautan yang luas ini.

 

Dipertemukannya ruh-ruh itu mungkin maksudnya adalah dipertemukannya ruh-ruh dengan jasad masing-masing setelah diciptakan ulang. Atau, mungkin dipertemukannya ruh-ruh yang sejenis dalam kelompoknya sendiri-sendiri, sebagaimana dikatakan dalam ayat 7 surah al-Wāqi‘ah: “Dan kamu menjadi tiga golongan.” Yaitu, golongan muqarrabūn, ashḥāb-ul-maimanah “golongan kanan” dan ashḥāb-ul-masy’amah “golongan kiri”. Atau dalam bentuk lain lagi.

وَ إِذَا الْمَوْؤُوْدَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ.

Apabila bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh” (at-Takwīr: 8-9).

Di antara kesenangan masyarakat jahiliah ialah tradisi menanam anak wanita hidup-hidup karena takut aib atau takut miskin. Islam datang untuk mengangkat derajat bangsa ‘Arab dari kehinaan jahiliah itu dan mengangkat harkat semua manusia. Al-Qur’ān menceritakan tradisi jahiliah yang amat buruk tersebut:

Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak wanita, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (an-Naḥl: 58-59).

Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah (ya‘ni anak wanita), jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih. Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” (az-Zukhruf: 17-18).

Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.” (al-Isrā’: 31).

Mengubur anak wanita hidup-hidup itu adalah cara yang amat kejam, karena si anak dikubur dalam keadaan hidup. Mereka, bangsa ‘Arab jahiliah, melakukannya dengan cara yang bermacam-macam. Di antaranya ada orang yang apabila mempunyai anak wanita, maka dibiarkannya anak itu hingga berusia enam tahun. Kemudian berkatalah si ayah kepada ibu anak itu: “Pakaikanlah harum-haruman dan perhiasan kepadanya karena aku akan mengajaknya pergi kepada ipar-iparnya”, padahal ia sudah mengali sumur di padang pasir untuknya. Maka, sampailah ia ke sumur itu, kemudian berkata kepada anaknya itu: “Lihatlah ke dalam sumur!” Kemudian dia mendorong dan menimbunnya dengan tanah.

Di antaranya lagi ada yang apabila seorang wanita merasa akan melahirkan, maka ia duduk di atas galian yang telah dibuat. Apabila anak yang dilahirkannya itu wanita, maka anak itu langsung dilemparkan ke dalam galian itu dan ditanamnya. Apabila anaknya itu laki-laki, maka ia lantas berdiri membawanya.

Sebagian lagi yang tidak berniat menghubur hidup-hidup anak wanitanya, akan menahan anaknya itu dengan menanggung perasaan hina hingga ia mampu menggembala ternak. Setelah mampu menggembala, maka dipakaikanlah kepadanya jubah dari bulu dan dikirimnya anak wanita itu ke pelosok untuk menggembala untanya.

Orang-orang yang tidak mengubur anak wanitanya hidup-hidup dan tidak mengirimkannya untuk menggembala ternak, mempunyai cara-cara lain untuk menimpakan bencana dan kerugian. Yaitu, apabila gadis tersebut telah menikah kemudian suaminya meninggal dunia, maka datanglah walinya dan melemparkan pakaiannya kepada wanita itu. Ini berarti bahwa sang wali melarangnya berhubungan dengan orang lain. Sehingga, tidak ada seorang pun yang boleh mengawininya meskipun ia sendiri berhasrat untuk kawin, maka hasrat dan keinginannya itu tidak dihiraukan sama sekali. Namun, jika ia tidak berhasrat untuk kawin, maka ia ditahan hingga meninggal dunia, kemudian hartanya diwarisi oleh walinya itu. Atau, ia dapat melaksanakan apa yang diinginkannya itu dengan syarat harus menebus dirinya dengan harta.

Ada juga di antara mereka yang menceraikan istrinya dan mensyaratkan kepada istri itu untuk kawin hanya dengan orang yang mereka kehendaki. Kecuali, kalau mantan istri itu mau menebus dirinya dengan memberikan kembali semua harta yang pernah diberikan mantan suami kepadanya.

Selain itu, ada tradisi lain lagi. Yakni, menjadikan istri sebagai barang warisan. Apabila seseorang meninggal dunia, maka mereka menahan istrinya untuk anak lelaki kecil di kalangan mereka. Setelah anak itu besar, ia dapat mengambil wanita itu sebagai istri.

Di antara tradisi mereka lagi ialah seorang lelaki memelihara anak wanita yatim dan mengasuhnya serta mengurusi urusannya. Tetapi, ia melarang si anak untuk kawin. Dengan harapan, apabila istrinya meninggal dunia, maka ia akan mengawini anak yatim tersebut. Atau, ia akan mengawinkannya dengan anak lelakinya yang sudah tentu karena menginginkan harta atau kecantikannya.

Inilah pandangan jahiliah terhadap wanita dalam segala hal hingga datang Islam yang memandang buruk dan terkutuk terhadap tradisi-tradisi seperti itu. Islam melarang keras tindakan mengubur hidup-hidup anak wanita dan menjadikannya sebagai salah satu tema pertanggungjawaban pada hari kiamat. Islam (al-Qur’ān) menyebutkan masalah ini dalam konteks peristiwa besar yang mengerikan dan menakutkan, yang memberi kesan seakan-akan mengubur anak wanita hidup-hidup itu sebagai salah satu peristiwa alam yang amat dahsyat ini. Al-Qur’ān mengatakan: “Sesungguhnya anak wanita yang dikubur hidup-hidup itu akan ditanya mengapa dia dikubur hidup-hidup. Maka, bagaimana halnya dengan orang yang menguburnya hidup-hidup?!”

Selamanya tidak mungkin tumbuh harga diri dan kemuliaan wanita di lingkungan jahiliah, seandainya tidak diturunkan syarī‘at dan manhaj Allah mengenai kemuliaan dan kehormatan manusia secara keseluruhan. Juga di dalam memuliakan manusia itu sendiri, baik laki-laki maupun wanita, dan menempatkannya dalam kedudukan tinggi yang sesuai dengan keberadaannya yang ditiupkan padanya ruh Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Luhur. Karena itu, dari sumber ini, mengedepankan kemuliaan wanita yang diberikan oleh Islam, bukan oleh unsur lingkungan manapun.

Ketika telah terwujud kelahiran manusia baru dengan menerapkan nilai-nilai dari langit bukan dari bumi, maka terwujudlah kemuliaan dan kehormatan bagi wanita. Sehingga, penilaian dan ukuran kemuliaannya sama sekali tidak dikaitkan dengan kelemahan fisik dan tugas-tugas kehidupan marerialnya, karena semua itu bukan dari langit dan tidak akan dinilai. Tetapi, timbangan dan penilaian itu hanyalah terhadap ruh manusia yang mulia dan selalu berhubungan dengan Allah. Nah, dalam hal ini samalah kedudukan laki-laki dan wanita.

Ketika telah jelas petunjuk dan indikasinya bahwa agama Islam ini datang dari Allah dan bahwa yang membawanya adalah seorang Rasūl yang telah diberi wahyu, maka pengalihan kedudukan wanita ini dipandang sebagai salah satu indikasi yang tidak keliru lagi. Karena, dalam lingkungan ketika itu sudah tidak ada satu pun pertanda yang diharapkan untuk mengantarkan wanita kepada kedudukan terhormat seperti ini. Tidak ada satu pun dorongan dan motivasi khusus dari lingkungan dan kondisi perekonomiannya, kalau tidak turun manhaj Ilahi untuk berbuat demikian terhadap wanita tanpa dorongan unsur apa pun dari bumi, yang dapat memberikan kedudukan yang baru sama sekali bagi wanita. Ya‘ni, kedudukan yang semata-mata berhubungan dengan nilai-nilai dan timbangan-timbangan langit.