Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir al-Azhar (3/3)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir al-Azhar

SUMPAH

Kemuliaan Utusan Allah: Jibril dan Muhammad SAW.

“Maka bersumpahlah Aku.” (pangkal ayat 15). Tertulis dalam aslinya Falaa uqsimu, yang kalau diartikan secara harfiyah saja ialah: “Maka tidaklah aku hendak bersumpah.” Padahal yang dimaksud ialah bersumpah. Maka tidaklah ada ahli tafsir sejak zaman sahabat-sahabat Rasulullah sampai di belakangnya yang mengartikan menurut yang tertulis, melainkan menurut maksud yang tersembunyi, yaitu Allah bersumpah: “Demi bintang-bintang yang timbul tenggelam.” (ujung ayat 15).

Bintang-bintang yang timbul tenggelam yang senantiasa kelihatan itu, yang disebut bintang-bintang keluarga matahari (satelit) yang terbesar ialah lima, yaitu: Zuhal, Musytari, Utharid, Marikh dan Zuhrah. “Yang segera beredar.” (pangkal ayat 16). Yaitu beredar di sekeliling matahari menurut ukuran putaran tertentu: “Yang terlindung.” (ujung ayat 16). Berlindung di balik penglihatan karena dilindungi oleh cahaya matahari sudah mulai terbenam, baru cahaya bintang-bintang itu kelihatan pula.

Setelah mengambil sumpah dengan bintang-bintang yang beredar di sekeliling matahari menurut ilmu pengetahuan manusia dan di sekeliling bumi menurut yang kelihatan oleh mata dan lekas dapat difahamkan untuk memberikan pelajaran kejiwaan bagi insan, maka Allah pun meneruskan sumpahnya: “Dan malam tatkala dia telah pergi.” (ayat 17). “Dan pagi tatkala dia telah bernafas.” (ayat 18). Dibuat Tuhan ungkapan, apabila fajar telah mulai menyingsing dan matahari akan mulai terbit, beransurlah malam itu pergi; kegelapan bertambah tersima oleh kian naiknya matahari dan pagi pun kian bernafas! Alangkah indahnya ungkapan ini. Sebab tatkala hari masih gelap-gulita seakan-akan tidak diberi nafas terang benderangnya siang. Namun dengan terbitnya fajar, seakan-akan siang mulai menarik nafasnya buat bangun kembali. Oleh sebab itu maka peringatan yang tersusun sebagai sumpah itu sangatlah elok pertalian di antara satu dengan yang lain, yang dimulai dengan peredaran bintang-bintang, sampai kepada gelapnya malam dan bernafasnya pagi yang cerah, untuk mengimbangi perasaan kita yang tadinya merasa seram mendengar ceritera keadaan tanda-tanda hari akan kiamat. Dan sesudah menyusun sumpah yang demikian maka Allah pun melanjutkan agak perhatian kita ditujukan kepada inti yang dimaksud yaitu menerangkan dari mana benarkah saluran wahyu Ilahi itu datang:

“Sesungguhnya dia adalah perkataan dari seorang Utusan Yang Mulia.” (ayat 19). Artinya yang membawa wahyu kepada Muhammad itu ialah seorang Utusan Allah Yang Mulia; itulah Malaikat Jibril ‘alaihis-salam.

Dan dilanjutkan lagi pada ayat berikutnya keistimewaan Malaikat Jibril pembawa wahyu itu daripada malaikat-malaikat yang lain: “Yang empunya kekuatan.” (pangkal ayat 20). Saking kuatnya, pekiknya raja dapat menjadi angin penggoncang menghancurkan negeri Tsamud. Dan negeri Sadum kaum Nabi Luth dapat ditunggang-balikkannya: “Di sisi Yang Empunya Singgasana.” Yang Empunya Singgasana, atau ‘Arasy ialah Allah sendiri. Maka Malaikat Jibril itu dekatlah kedudukannya di sisi Allah Yang Maha Kuasa, atau dalam ungkapan setiap hari “dekat ke istana”; “Yang kokoh!” (ujung ayat 20). Demikian kokoh kekuatan Jibril itu di sisi Allah sehingga tidak ada satu kekuatan lain pun yang bisa mengungkit-ngungkitnya. Tidak ada malaikat lain yang dapat menggeser kedudukan yang kokoh itu, sehingga dialah yang terpilih buat menjadi Utusan Mulia menyampaikan tiap-tiap wahyu kepada para Anbiya’ dan Mursalin.

“Dipatuhi di sana.” (pangkal ayat 21). Yaitu di alam malakut itu, Malaikat Jibril muthaa’in, dipatuhi oleh malaikat yang banyak. Dia pun disebut Ruhul-Qudus, dia pun disebut Ruhul-Amin, malahan di dalam memelihara Al-Qur’an dalam perbendaharaan Allah, dia adalah Kepala dari duta-duta Allah yang mulia (Surat 80, ‘Abasa ayat 15 dan 16) “Seraya dipercayai.” (ujung ayat 21). Suatu tumpahan kepercayaan daripada Allah sendiri, sampai digelari Ruhul-Amin, Roh yang dipercaya. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW pun bergelar Al-Amin pula.

“Dan tidaklah kawanmu itu seorang yang gila.” (ayat 22).

Setelah Allah memujikan siapa Utusan yang Allah kirim mengantarkan wahyu-Nya kepada Muhammad SAW maka Allah pun memujikan pula siapa Nabi Muhammad SAW sendiri, bahwa beliau bukanlah seorang yang gila sebagaimana mereka tuduhkan. Bahkan beliau adalah seorang yang sihat wal-‘afiat, mempunyai jiwa raga yang kokoh dan kekar, sehingga sangguplah dia menerima Utusan Jibril itu.

“Dan sesungguhnya dia.” (pangkal ayat 23). Yang dimaksud dengan dia itu ialah Nabi Muhammad SAW; “Telah pernah melihatnya di ufuk yang nyata.” (ujung ayat 23). Bahwa Nabi Muhammad SAW telah pernah melihat rupa Jibril itu di ufuk yang nyata. Ufuk yang nyata ialah Ufuk sebelah Timur, sebab dia tempat terbit matahari, maka ufuk Timur itu lebih nyata dan jelas daripada ufuk-ufuk yang lain.

Menurut suatu riwayat dari Ibnu Abbas, Jibril pernah memperlihatkan diri dalam rupanya yang asli kepada Nabi Muhammad SAW di bukit ‘Arafah. Maka kelihatanlah tubuhnya yang memenuhi dari Masyriq sampai ke Maghrib, kakinya terhunjam ke bumi dan kepalanya menunjak ke langit. Setelah melihatnya dalam kehebatan itu, pingsanlah Nabi SAW. Dan kita kenal juga di dalam Hadis yang shahih tentang pertemuan pertama di Gua Hira’, ketika Wahyu pertama akan diberikan kepada beliau, besar tinggi tersundak ke langit, lalu mengecilkan diri sampai memeluk beliau dengan keras, sampai beliau SAW disuruhnya membaca: “Iqra’.” Lalu beliau jawab bahwa beliau tidak pandai membaca, lalu Nabi dipeluknya keras, sampai keluar keringat dan setengah pingsan.

Ketika menafsirkan Surat 96, Al-Alaq nanti akan kita jelaskan lagi.

“Dan tidaklah dia, atas hal-hal yang ghaib, dapat dituduh.” (ayat 24). Yang ghaib ialah khabar-khabar wahyu yang datang dari langit itu. Maka tidaklah Nabi Muhammad SAW itu dapat dituduh bahwa dia menambah atau mengurangi apa yang diwahyukan, ataupun mengada-ngadakan yang bukan wahyu dikatakannya wahyu.

“Dan bukanlah dia itu.” (pangkal ayat 25). Dia di sini ialah Al-Qur’an sebagai wahyu yang didatangkan dari langit dengan perantaraan Jibril yang amat dipercaya itu; bukanlah dia itu “Perkataan syaitan yang terkutuk.” (ujung ayat 25). Atau yang kena rejam.

“Tegal itu, ke mana kamu hendak pergi lagi?” (ayat 26).

Kalau sudah demikian jelas dan terangnya; yang membawa wahyu itu ialah malaikat yang diangkat Allah menjadi Rasul-Nya yang mulia, lagi kuat kedudukannya di sisi singgasana Allah (‘Arasy), lagi kokoh, dipatuhi oleh malaikat-malaikat yang banyak, dipercayai oleh Allah sendiri, yang dibawanya ialah wahyu suci, sabda Tuhan. Dibawa kepada Muhammad, orang yang sihat jiwanya dan bukan orang gila. Yang dibawa itu pun adalah Sabda Ilahi, bukan kata-kata syaitan, dan Muhammad itu sendiri pun pernah bertemu muka dengan Jibril itu; jadi yang membawa, yang dibawa dan orang yang menerima pembawaan adalah mendapat jaminan dari Allah belaka, dengan alasan apakah lagi kamu hendak mengelakkan diri? Ke mana lagi kamu akan pergi? Ke jalan mana? Ke jurusan mana? Kalau kamu pakai akal fikiranmu yang waras, sekali-kali tidaklah akan dapat kamu tolak kebenaran ini.

Maka ditegaskan Allah sekali lagi tentang Al-Qur’an itu.

“Dia itu tidak lain melainkan satu peringatan untuk seisi alam.” (ayat 27). Dia adalah Rahmat untuk seisi alam, Dia bukan terbatas untuk satu kaum, atau satu kelompok atau satu waktu saja. Dia adalah buat selama-lamanya. Selama alam dunia ini masih didiami oleh ummat manusia.

“(Yaitu) untuk siapa-siapa di antara kamu yang ingin berlaku lurus.” (ayat 28). Yang ingin berlaku lurus, berjalan lurus, yaitu barangsiapa di antara kamu yang ingin jujur terhadap dirinya sendiri. Karena kebenaran yang diterangkan dalam wahyu itu adalah sesuai dengan fithrahmu, bahkan itulah suara hatimu sendiri. Kalau kamu ingkari kebenaran itu, adalah kamu mengkhianati dirimu sendiri. Yang demikian tidaklah jalan yang lurus dan yang demikian bukanlah sifat yang jujur.

“Tetapi tidaklah kamu akan mau, kecuali jika dikehendaki oleh Allah, Tuhan yang menguasai seluruh alam.” (ayat 29).

Sebab itu maka langkah pertama yang hendaknya kamu tempuh ialah menembus tabir-tabir hawa nafsu yang menghambat di antara dirimu dengan Allah. Kalau tabir hawa nafsu itu telah lama membelenggu diri itu sudah dapat direnggutkan sendiri dari diri, akan hilanglah batas hati dengan Allah. Dan bilamana batas hati itu telah hilang, Tuhan Allah sendirilah yang akan memimpin kita menuju kepada yang Dia ridhai.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *