Dalam komunitas masyarakat muslim pertama, segala urusan lebih mudah daripada dalam komunitas kita pada saat ini. Masyarakat muslim telah terbentuk di Madinah yang didominasi oleh ajaran islami. Islam telah mendominasi seluruh aspek kehidupan di sana, dan ia pun menguasainya dengan ajaran syariatnya yang muncul dari ideologinya itu.
Rujukan utama dalam masyarakat itu, yaitu rujukan laki-laki dan wanita, adalah Allah dan rasul-Nya. Juga kepada hukum Allah dan hukum rasul-Nya. Bila telah datang keputusan hukum itu, maka ia merupakan keputusan final. Dengan terwujudnya masyarakat demikian, di mana dominasi ideologi islam dan tradisinya atas segala aspek kehidupan, maka urusannya menjadi mudah bagi wanita untuk membentuk dirinya sesuai yang dikehendaki oleh islam. Juga menjadi mudah bagi para suami untuk menasihati istri-istri mereka dan mendidik anak-anak mereka di atas manhaj yang islami.
Namun, kita saat ini berada dalam sikap yang plin-plan. Kita hidup dalam zaman jahiliah. Yaitu, jahiliah masyarakat, jahiliah hukum, jahiliah akhlak, jahiliah tradisi, jahiliah sistem, jahiliah adab, dan jahiliah kebudayaan juga.
Wanita saat ini berinteraksi dengan masyarakat jahiliah itu. Mereka merasa sangat berat memikul beban ketika ingin menyerukan Islam. Atau, ketika mereka mendapat petunjuk dari usaha sendiri, atau dia ditunjuki oleh suaminya, saudaranya, atau bapaknya.
Di dalam masyarakat islami di Madinah, semua masyarakat berhukum kepada ideologi yang sama, hukum yang sama, dan tabiat yang sama. Sedangkan, kita di sini berhukum kepada suatu ideologi yang tidak bersandar kepada kenyataan hidup dan contoh praktisnya yang tidak tampak. Wanita dikekang di bawah beban masyarakat yang memusuhi ideologi itu dengan permusuhan yang lebih dahsyat dari permusuhan orang pada zaman jahiliah yang membabi buta. Dan, tidak disangsikan lagi bahwa tekanan masyarakat dan tradisinya terhadap perasaan wanita lebih berat berlipat-lipat daripada tekanan terhadap perasaan laki-laki.
Oleh karena itu, bertambah pula kewajiban setiap laki-laki mukmin. Sesungguhnya merupakan kewajibannya untuk melindungi dirinya dari neraka. Kemudian kewajiban selanjutnya adalah menjaga keluarganya yang berada di bawah tekanan yang membabi buta dan keras itu.
Maka, seyogianyalah setiap laki-laki menyadari beban berat yang dipikulnya. Sehingga, dia harus mengeluarkan usaha yang berlipat-lipat dibandingkan usaha yang dikeluarkan oleh generasi muslim pertama. Pasalnya, itu merupakan kewajiban fardhu ‘ain bagi orang yang ingin membina keluarga yang islami untuk mencari penjaga bentengnya, di mana dia juga mengambil pandangan ideologinya dari sumber yang sama dengan sumber dimana dia sendiri mengambilnya yaitu… Islam.
Dalam hal ini, dia akan banyak berkorban. Dia harus mengorbankan segala daya tarik yang menipu pada wanita. Dia harus mengorbankan pilihannya yang memilih wanita berparas cantik, namun hatinya busuk dan jahat. Dia harus mengorbankan pilihannya yang memilih wanita yang jelita dan mempesona penampilannya, namun ia adalah sampah masyarakat.
Pada saat itulah dia dapat menentukan pilihan dan mencari wanita yang memiliki keyakinan agama yang akan membantunya dalam membina rumah tangga yang Islami dan membangun benteng yang islami. Sudah menjadi kewajiban fardhu ‘ain atas setiap ayah dari orang-orang beriman yang menginginkan kebangkitan islam, untuk mengetahui bahwa sel-sel dan benih-benih bagi kebangkitan itu tersimpan dalam tangan-tangan mereka. Sehingga, mereka harus mengarahkan anak-anak mereka baik laki-laki maupun wanita dengan dakwah, tarbiah (pendidikan), dan i’dād (persiapan) sebelum orang lain bertindak. Juga agar mereka menyambut dan merespons panggilan Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (at-Taḥrīm: 6)
Mari kita kembali sekali lagi, pada kesempatan ini, kepada tabiat islam yang menentukan bahwa berdirinya kaum muslimin yang dibangun atas dominasi ajaran Islam, dan di atasnya berdiri hakikat wujudnya yang sejati, haruslah berdiri di atas fondasi masyarakat yang berkarakter. Islam adalah akidahnya. Islam adalah sistemnya. Islam adalah syariatnya. Islam adalah manhajnya yang sempurna dan total yang darinya bersumber segala pandangan dan ideologinya.
Masyarakat seperti inilah yang menjamin wadah terpeliharanya pandangan yang islami dan membawanya ke dalam jiwa-jiwa kaum muslimin. Juga membelanya dari segala tekanan masyarakat jahiliah sebagaimana ia juga menjaganya dari fitnah kekejian dan penyiksaan.
Dengan demikian, jelaslah urgensi pembentukan kaum muslimin yang di dalamnya wanita dan pemudi muslimah hidup yang melindunginya dari segala tekanan masyarakat jahiliah. Kemudian pemudi muslimah pun menemukan pasangannya dalam benteng islami itu yang dengannya bersama orang-orang yang semisal dengannya terbentuklah pasukan islam yang kuat.
Sesungguhnya pembentukan kaum muslimin itu adalah kewajiban, sekali-kali bukan merupakan perkara yang sunah. Jamaah itulah yang akan menjaga dan saling menasihati dengan ajaran Islam, memegang fikrahnya, akhlaknya, adabnya, dan persepsi-persepsinya. Jamaah itu hidup dengan berpegang kepada Islam dalam bermuamalah antar mereka. Sehingga, tumbuhlah generasi yang terlindungi dari segala bahaya jahiliah.
Untuk menjaga komunitas kaum muslimin yang pertama, Rasulullah diperintahkan untuk berjuang melawan para musuhnya.
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik serta bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (at-Taḥrīm: 9)
Ayat ini merupakan selipan yang sangat tinggi makna dan nilainya setelah sebelumnya telah ada perintah kepada orang-orang yang beriman agar menjaga diri mereka sendiri dan keluarganya dari neraka. Juga setelah menyerukan mereka untuk bertobat nasuha yang akan meleburkan dosa-dosa mereka dan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Selipan ayat ini memiliki maknanya dan nilainya tersendiri dalam menjaga wadah yang dapat melindungi dari siksaan neraka. Sehingga, ia tidak meremehkan unsur-unsur yang merusak, menyimpang, dan zalim, yang pasti akan menyerang pasukan islam dari luar sebagaimana orang-orang kafir telah melakukannya. Atau, menyerangnya dari dalam sebagai mana orang-orang munafik telah melakukannya.
Ayat di atas menghimpun antara orang-orang kafir dan orang-orang munafik berkenaan dengan perintah untuk berjihad dan bersikap keras terhadap mereka. Karena, kedua kelompok ini masing-masing memiliki peran yang sebanding dalam mendatangkan ancaman dan bahaya bagi pasukan Islam, dalam menghancurkan dan mencerai-beraikannya. Oleh karena itu, berjihad melawan mereka merupakan jihad yang dapat menjaga dan melindungi dari siksaan api neraka. Dan, pembalasan bagi orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu adalah sikap keras dan tanpa belas kasihan dari Rasulullah dan orang-orang yang beriman di dunia ini.
“…Tempat mereka adalah neraka jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.”
Demikianlah betapa serasinya penelusuran ini antara ayat-ayatnya dengan arahan-arahannya. Sebagaimana secara umum ia juga sangat serasi dengan penelusuran pertama yang ada dalam arahan redaksi ayat.
Kemudian tibalah penelusuran ketiga dan terakhir. Seolah-olah ia merupakan pelengkap dari penelusuran pertama. Ia membahas tentang wanita-wanita yang kafir dan hidup di dalam rumah tangga para nabi, dan wanita-wanita mukminat yang hidup di tengah-tengah orang-orang kafir.
ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا لِلَّذِيْنَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوْحٍ وَ امْرَأَتَ لُوْطٍ، كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللهِ شَيْئًا وَ قِيْلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ. وَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ. إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِيْ عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَ نَجِّنِيْ مِنْ فِرْعَوْنَ وَ عَمَلِهِ وَ نَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ. وَ مَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِيْ أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيْهِ مِنْ رُوْحِنَا وَ صَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَ كُتُبِهِ وَ كَانَتْ مِنَ الْقَانِتِيْنَ.
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua hamba yang saleh di antara hamba- hamba Kami. Lalu, kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya. Maka, kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah. Dan, dikatakan (kepada keduanya), Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka). Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman ketika ia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya. Dan, selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” Dan, Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami. Dan, dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya, dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.” (at-Taḥrīm: 10-12)
Yang ditetapkan dalam riwayat tentang pengkhianatan istri Nuh dan istri Luth adalah pengkhianatan dalam dakwah dan bukanlah pengkhianat keji berupa penyelewengan seksual. Istri Nuh mencela dan memperolok-olok Nabi Nuh bersama para pengolok-olok dari kaumnya. Istri Luth telah menunjukkan dan memberikan informasi kepada kaumnya tentang kedatangan tamu-tamu Nabi Luth, padahal dia tahu betul tentang tabiat bejat kaumnya terhadap para tamu.
Yang ditetapkan dalam riwayat tentang istri Fir’aun adalah bahwa dia adalah seorang mukminah dalam istananya (kemungkinan besar dia adalah Āsiyah, dia adalah yang tersisa dari orang-orang yang beriman kepada agama samawi sebelum Musa diutus). Disebutkan dalam sejarah bahwa ibu dari Amnahutb IV yang telah menyatukan Tuhan di Mesir dan Tuhan Yang Esai itu dirumuskan dalam bentuk planet matahari, dan dia menamakan dirinya “Ikhnatun”. Dia (sang ibu) adalah Āsiyah yang beragama bukan dengan memeluk agama orang-orang Mesir. Allah lebih tahu apakah dia yang dimaksudkan dalam ayat ini ataukah dia adalah istri Fir’aun di zaman Musa. Dan, Fir’aun di zaman Musa sudah pasti bukan Amnahutb IV.
Tidak terlalu penting bagi kita penelusuran sejarah tentang istri Fir’aun ini. Karena, isyarat al-Qur’ān menunjukkan tentang hakikat yang permanen dan independen dari segala pribadi dan individu. Individu dan pribadi hanyalah sekadar perumpamaan dari hakikat itu.
Sesungguhnya kaidah tanggung jawab individu sangat ingin ditampakkan di sini, setelah perintah untuk menjaga diri sendiri dan keluarga dari api neraka. Sebagaimana ingin pula dinyatakan kepada istri-istri Rasulullah dan demikian pula istri-istri kaum mukminin, bahwa sesungguhnya merupakan kewajiban mereka atas diri mereka sendiri setelah segala sesuatu terjadi. Jadi, mereka bertanggung jawab atas diri mereka sendiri dan mereka sama sekali tidak mendapatkan dispensasi dari beban tanggung jawab itu, walaupun mereka berstatus sebagai istri nabi atau istri orang yang saleh dari orang-orang yang beriman.
Dan, inilah contohnya istri Nabi Nuh, dan istri Nabi Luth.
“…Keduanya berada di bawah pengawasan dua hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami. Lalu, kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya. Maka, kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah. Dan, dikatakan (kepada keduanya), Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (at-Taḥrīm: 10)
Inilah contohnya istri Fir’aun. Dia tidak bisa dihalau oleh angin topan kekufuran di mana dia hidup … dalam istana Fir’aun… untuk memohon kepada Allah keselamatan atas dirinya. Dia telah membebaskan dirinya dari istana Fir’aun, dengan memohon kepada Tuhannya agar disediakan rumah di surga. Dia membebaskan dirinya dari hubungannya dengan Fir’aun dan memohon keselamatan kepada Tuhannya dari bahayanya. Dia membebaskan dirinya dari perbuatan Fir’aun karena takut terimbas perbuatan bejatnya dan kekejamannya, padahal dia adalah salah seorang yang paling dekat dengan Fir’aun.
“…Selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatan-Nya…”
Dia membebaskan dirinya dari perbuatan kaum Fir’aun, di mana dia hidup di antara mereka,
“… Dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (at-Taḥrīm: 11)
Doa istri Fir’aun ini dan sikapnya merupakan teladan dalam mengatasi segala kenikmatan hidup duniawi dalam bentuknya yang paling indah dan mempesona. Karena, dia adalah seorang istri dari raja yang paling agung pada saat itu di muka bumi ini. Dia hidup di istana Fir’aun, tempat di mana seorang permaisuri mendapatkan segala keinginan dan kesenangannya. Namun, dia dapat mengatasi dan menguasai segala hal itu dengan keimanannya. Dia bukan hanya berpaling dari kenikmatan itu, namun dia menganggapnya sebagai sesuatu yang keji, kotor, dan ujian yang mengharuskannya untuk berlindung darinya kepada Allah, terhindar dari segala kekejiannya, dan memohon keselamatan dari-Nya.
Dia adalah satu-satunya wanita beriman dalam sebuah kerajaan yang luas terhampar dan sangat kuat. Seorang wanita lebih perasa dan lebih sensitif dengan pendirian, pandangan, dan ideologi suatu masyarakat. Namun, wanita ini walaupun sendirian di tengah-tengah tekanan masyarakat, tekanan istana, tekanan raja, tekanan pengawal, dan kedudukan raja, dia tetap menengadahkan kepalanya ke langit mengharap kepada Rabbnya.
Dia merupakan teladan yang sangat tinggi dalam memurnikan diri kepada Allah dari segala pengaruh, segala daya tarik, segala penghalang, dan segala bisikan yang menggoda. Oleh karena itu, pantaslah dia mendapatkan isyarat yang mulia ini dalam kitab Allah, al-Qur’ān yang kekal, di mana kalimat-kalimatnya selalu dialunkan oleh seluruh alam semesta ketika malaikat menurunkannya dari al-Mala’ul A’lā (kerajaan langit dan malaikat).
“Dan Maryam putri Imran ….”
Sesungguhnya Maryam juga merupakan teladan dalam memurnikan diri kepada Allah sejak masa pertumbuhannya sebagaimana diceritakan oleh Allah dalam surah-surah lain. Dan, di sini Allah menyebutkan tentang kesuciannya,
“…Yang memelihara kehormatannya,….”
Allah membebaskan Maryam dari segala tuduhan yang dilemparkan dan diisukan oleh kaum Yahudi yang bejat.
“… Maka, Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami….”
Dari tiupan roh itulah, Isa a.s. terbentuk sebagai manusia sebagaimana dijelaskan oleh surah yang menjelaskannya secara terperinci tentang bayi yang lahir itu dalam surah Maryam. Kami tidak akan memaparkan lagi di sini agar serasi dengan pemaparan yang ada dalam surah ini, yang mana ia memaparkan penjelasan tentang kesucian dari Maryam, keimanannya dan ketaatannya yang sempurna.
“…Dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya, dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.” (at-Taḥrīm: 12)
Sebutan secara khusus tentang istri Fir’aun bersama Maryam di sini menunjukkan kedudukannya yang tinggi, yang membuat istri Fir’aun layak disebutkan bersama Maryam. Hal ini disebabkan oleh ujian yang menimpa kehidupannya yang telah kami jelaskan sebelumnya. Dua wanita ini merupakan teladan dan contoh bagi wanita mukminah yang suci, membenarkan, percaya, dan taat. Allah telah memaparkannya sebagai perumpamaan bagi istri-istri Rasulullah berkenaan dengan kasus yang terjadi dan menjadi penyebab turunnya ayat-ayat permulaan dari surah ini. Allah juga memaparkannya sebagai perumpamaan bagi wanita-wanita mukminah pada setiap generasi sesudah mereka.
Akhirnya, sesungguhnya surah ini dan semua isi dari juz ke-28 ini, merupakan bagian yang hidup dari sejarah Rasulullah yang digambarkan oleh al-Qur’ān dengan tata bahasanya yang menyentuh. Riwayat-riwayat manusia tidak mampu menggambarkan secara utuh tentang peristiwa sejarah pada periode yang mulia itu.
Jadi, tata bahasa al-Qur’ān lebih menyentuh dan lebih jauh jangkauannya. Dia menggunakan kasus yang langka untuk menggambarkan hakikat yang langka dan murni pula, yang tersisa di balik kejadian di belakang zaman dan tempat, sebagaimana demikianlah misi al-Qur’ān.