Mungkin ada baiknya kami menyebutkan secara ringkas tentang kisah perkawinan Rasulullah dengan istri-istrinya. Juga tentang kehidupan rumah tangga beliau. Sehingga, membantu kita dalam melukiskan kejadian-kejadian dan nash-nash yang berkenaan dengan peristiwa ini dalam surah ini. Kami menetapkan dalam ringkasan ini, apa yang ditetapkan oleh Ibnu Ḥazm dalam kitab Jawāmi’-us-Sīrah dan kitab as-Sīrah karangan Ibnu Hisyām dengan tambahan sedikit dan sekilas komentar.
Istri pertama Rasulullah adalah Khadījah binti Khuwailid. Rasulullah menikahinya ketika berumur dua puluh lima tahun atau dua puluh tiga tahun, sedangkan umur Khadijah sekitar empat puluh tahun atau lebih. Khadijah meninggal tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Rasulullah tidak pernah menikah lagi selama Khadijah hidup hingga dia meninggal, padahal Rasulullah telah berumur lebih dari lima puluh tahun.
Setelah Khadijah meninggal, Rasulullah menikahi Saudah binti Zum’ah r.a. dan dia tidak ada yang memandangnya sebagai wanita yang cantik atau masih muda. Dia hanyalah seorang janda dari Sakran bin Amru bin ‘Abd-usy-Syams. Suaminya adalah termasuk dari golongan kaum mukminin yang pertama masuk Islam dari para sahabat yang berhijrah ke negeri Etiopia (Ḥabasyah). Setelah suaminya meninggal, Rasulullah menikahinya.
Kemudian Rasulullah menikahi ‘Ā’isyah binti Abū Bakar ash-Shiddīq r.a. Dia gadis yang masih sangat kecil dan baru bercampur satu rumah dengan beliau setelah berhijrah ke Madinah. Rasulullah tidak pernah menikahi gadis yang masih perawan selain ‘Ā’isyah. Dia adalah istri Rasulullah yang paling disayangi. Umurnya adalah sembilan tahun, dan hidup bersama dengan Rasulullah selama sembilan tahun lima bulan. Rasulullah meninggal dan ‘Ā’isyah menjadi janda Rasulullah.
Setelah itu Rasulullah menikahi Ḥafshah binti ‘Umar r.a. setelah berhijrah ke Madinah, dan menetap di sana selama dua tahun beberapa bulan. Rasulullah menikahinya dalam keadaan janda, setelah Umar menawarkannya kepada Abu Bakar dan Utsman, namun keduanya tidak meresponsnya. Rasulullah menjanjikan kepada Umar bahwa anaknya akan mendapatkan suami yang lebih baik daripada keduanya, maka Rasulullah pun menikahinya.
Kemudian Rasulullah menikahi Zainab binti Khuzaimah. Suami pertamanya adalah ‘Ubaidah ibn-ul-Ḥārits bin ‘Abd-ul-Mutthalib yang syahid dalam Perang Badar. Zainab binti Khuzaimah meninggal ketika Rasulullah masih hidup. Dan, ada yang berpendapat bahwa suaminya sebelum dinikahi oleh Rasulullah adalah ‘Abdullāh bin Jaḥsy al-Asadi yang syahid di Perang Uhud. Itulah pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran.
Setelah itu Rasulullah menikahi Ummu Salāmah. Suaminya yang sebelumnya adalah Abū Salāmah, yang terluka di Perang Uhud dan lukanya terus menghinggapinya sampai dia meninggal. Maka, Rasulullah pun menikahi jandanya dan beliau memasukkan anggota keluarganya dari Abu Salamah ke dalam tanggungannya.
Kemudian Rasulullah menikahi Zainab binti Jaḥsy, setelah beliau menikahkannya dengan anak angkatnya Zaid bin Ḥāritsah. Namun, perkawinan mereka tidak langgeng, kemudian Zaid mentalaknya. Kami telah memaparkan kisahnya dalam surah al-Aḥzāb dalam juz kedua puluh dua. Dia adalah wanita yang sangat cantik dan rupawan. Dialah yang dirasakan oleh ‘Ā’isyah sebagai saingannya, karena masih berhubungan nasab dengan Rasulullah karena dia adalah anak bibi beliau. Juga karena kecantikan dan kerupawannya.
Setelah itu Rasulullah menikahi Juwairiyah bint-il-Ḥārits pemimpin bani Musthaliq setelah Perang Bani Musthaliq pada pertengahan tahun keenam dari Hijrah.
Ibnu Isḥāq mengatakan bahwa ia diberitahukan sebuah hadits oleh Muhammad bin Ja’far ibn-uz-Zubair, dari ‘Urwah ibn-uz-Zubair bahwa ‘Ā’isyah r.a. berkata, “Setelah Rasulullah membagikan para tawanan bani Musthaliq, Juwairiyah bint-il-Ḥārits masuk dalam bagian ats-Tsābit bin Qais ibn-usy-Syammas atau bagian dari anak pamannya. Maka, Juwairiyah pun berjanji kepadanya untuk memerdekakan dirinya dengan cara kitabah (membayar tebusan dengan berangsur-angsur). Dia adalah seorang wanita yang manis dan sangat menarik sehingga tidak seorang pun melihatnya melainkan terpesona. Dia mendatangi Rasulullah untuk memohon bantuan dalam menunaikan kitabahnya.”
‘Ā’isyah berkata, “Demi Allah, tiba-tiba aku melihatnya telah berada di depan pintu rumahku, maka aku pun tidak menyenanginya! Aku tahu bahwa Rasulullah akan melihat seperti apa yang aku lihat. Dia masuk dan berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku adalah Juwairiyah bint-il-Ḥārits bin Abī Sharrar, pemimpin kaumnya. Aku telah ditimpa bencana yang tidak tersembunyi dari Anda, dan aku masuk ke dalam undian bagian milik ats-Tsābit bin Qais ibn-usy-Syammas atau bagian milik anak pamannya. Maka, aku pun telah berjanji kepadanya untuk memerdekakan diriku dengan cara kitabah (membayar tebusan dengan berangsur-angsur). Saat ini aku datang kepada Anda untuk memohon bantuan dalam menunaikan kitabahku.” Rasulullah bersabda, “Apakah kamu mau yang lebih baik daripada itu?” Dia bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Aku akan tunaikan kitabahmu dan aku menikahimu.” Dia berkata, “Ya, aku setuju wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Aku pun telah setuju dan melaksanakannya.””
Setelah Juwairiyah, kemudian Rasulullah menikahi Ummu Ḥabībah binti Abī Sufyān setelah perjanjian Ḥudaibiyah. Dia adalah salah seorang dari shaḥābiyat yang hijrah ke Ḥabasyah. Namun, suaminya ‘Abdullāh bin Jaḥsy murtad dan masuk ke agama Nasrani kemudian meninggalkannya. Maka, Rasulullah pun meminangnya dan Raja Najasyi memberikan mahar kepadanya. Dan, dia pun bertolak dari Ḥabasyah menuju Madinah.
Kemudian Rasulullah menikahi Shafiyyah binti Ḥuyai bin Akhthab, bapaknya adalah pemimpin Bani Nadhīr. Pernikahan ini terjadi setelah penaklukkan Khaibar dan setelah perjanjian Ḥudaibiyah. Shafiyyah adalah istri dari Kinānah bin Abil Ḥaqīq, dia adalah seorang pemimpin Yahudi juga. Ibnu Isḥāq menyebutkan kisah tentang pernikahan Rasulullah dengannya bahwa Shafiyyah dan satu wanita lainnya dibawa bersama para tawanan. Maka, Bilāl pun membawa keduanya melewati para korban perang Yahudi yang terbunuh. Ketika wanita yang bersama Shafiyyah melihat mayat korban itu, tiba-tiba dia berteriak histeris, menutup mukanya dan menaburkan debu ke kepalanya. Maka, Rasulullah pun bersabda, “Jauhkanlah aku dari wanita setan ini.”
Rasulullah lalu memerintahkan untuk menempatkan Shafiyyah di belakang beliau dan melemparkan selendangnya kepadanya. Maka, kaum muslimin pun tahu bahwa sesungguhnya Rasulullah telah memilihnya untuk diri beliau sendiri.
Rasulullah bersabda kepada Bilāl r.a. ketika melihat apa yang terjadi pada wanita Yahudi itu, “Apakah telah kamu cabut rasa kasih sayang dari dirimu wahai Bilāl? ketika kamu membawa dua wanita melewati para pejuang lelakinya yang terbunuh?” (H.R. Ibnu Isḥāq)
Kemudian Rasulullah menikahi Maimunah bint-il-Ḥārits bin Ḥuzn. Dia adalah bibi dari Khālid bin Walīd dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās. Sebelumnya dia adalah istri dari Abū Rahm bin ‘Abd-ul-‘Uzza, dan ada yang berkata, “Ḥuwaithib bin ‘Abd-ul-‘Uzza.” Dialah wanita terakhir yang dinikahi oleh Rasulullah.
Demikianlah Anda dapat melihat bahwa setiap istri dari Rasulullah memiliki kisah dan sebab tersendiri dalam perkawinannya dengan Rasulullah. Mereka semua selain dari Zainab binti Jaḥsy dan Juwairiyah bint-il-Ḥārits, bukanlah wanita-wanita yang cantik dan masih muda, dan bukanlah termasuk wanita-wanita yang diinginkan oleh laki-laki untuk menikahinya karena kecantikannya.
‘Ā’isyah adalah istri beliau yang paling dicintai. Bahkan, dua wanita yang disebutkan itu yang dikenal memiliki kecantikan dan masih muda, di sana ada faktor kejiwaan dan unsur manusiawi lainnya, di samping unsur ketertarikan mereka berdua. Kami tidak ingin menafikan dan membuang unsur ketertarikan ini seperti yang disaksikan oleh ‘Ā’isyah pada diri Juwairiyah bint-il-Ḥārits umpamanya. Kami juga tidak ingin membuang faktor kecantikan yang ada pada diri Zainab binti Jaḥsy. Tidak ada kebutuhan apa pun dan tidak perlu sama sekali membuang unsur-unsur dan faktor-faktor manusiawi itu dari kehidupan Rasulullah.
Faktor-faktor itu bukanlah sasaran tuduhan di mana para penolong Rasulullah harus membela nabi mereka dari serangannya, bila musuh-musuhnya menyerang dengan tuduhan seperti itu. Karena nabi itu sendiri telah dipilih menjadi manusia, namun bukan sembarang manusia, tetapi manusia yang tinggi budi pekertinya. Demikianlah yang terjadi pada diri Rasulullah. Demikian pula kecenderungan- kecenderungan dalam hidupnya dan dalam memilih istri-istrinya dengan sebab dan dorongan yang berbeda-beda.
Rasulullah hidup bersama para istrinya di dalam rumahnya sebagai seorang manusia biasa sekaligus sebagai utusan Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagaimana demikian Rasulullah diperintahkan untuk mengatakan,
“Katakanlah, “Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul!”” (al-Isrā’: 93)
Rasulullah juga menikmati hubungan dengan istri-istrinya dan kecantikan-kecantikan mereka, sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a. bahwa Rasulullah bila sedang bersama istri-istrinya, beliau adalah orang yang paling lembut, dan orang yang paling mulia, sering tertawa dan sering tersenyum. Demikian yang diriwayatkan as-Suyūthi dalam kitab Al-Jāmi’-ush-Shaghīr dari Ibnu Sa’ad dan Ibnu Asākir dari ‘Ā’isyah.
Namun, Rasulullah menikmati hubungan itu dan kecantikan-kecantikan istri-istrinya. Beliau menafkahkan materi kepada mereka dari diri beliau sendiri, curahan kasih hatinya, ketinggian adabnya, dan kemuliaan pergaulannya. Sedangkan, kondisi materi mereka pada umumnya sangat sederhana, hingga Allah memberikan kemenangan-kemenangan kepada Rasulullah dan kaum muslimin memperoleh harta rampasan yang berlimpah ruah.
Dalam surah al-Aḥzāb sebelumnya telah disebutkan tentang kisah permohonan mereka kepada beliau untuk diperluaskan dan ditambah nafkah mereka dalam bentuk materi. Permohonan itu sempat membuat krisis hubungan antara mereka dengan Rasulullah. Kemudian berakhir dengan pemberian hak memilih kepada mereka antara memilih Allah, rasul-Nya, dan kehidupan akhirat atau memilih kenikmatan duniawi dan pelepasan diri mereka dari ikatan perkawinan dengan Rasulullah. Namun, mereka tetap memilih Allah, rasul-Nya, dan kehidupan akhirat.
Namun, sesungguhnya kehidupan dalam suasana dan kondisi kenabian di rumah-rumah Rasulullah, tidaklah mematikan perasaan-perasaan manusiawi dan dorongan-dorongan manusiawi dalam pribadi-pribadi istrinya. Kadangkala terjadi pula pertengkaran dan perselisihan di antara mereka, di mana biasanya wanita harus bertengkar pada kondisi dan situasi seperti itu. Telah kami sebutkan sebelum ini dalam riwayat Ibnu Isḥāq bahwa ‘Ā’isyah r.a. sangat membenci Juwairiyah bint-il-Ḥārits, hanya karena perkiraannya bahwa Juwairiyah pasti dapat menarik perhatian Rasulullah bila beliau melihatnya. Dan, yang terjadi benar-benar sesuai dengan dugaannya.
Demikian pula diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah r.a. sendiri tentang perseteruannya dengan Shafiyyah binti Ḥuyai bin Akhthab bahwa ia berkata kepada Rasulullah, “Cukuplah Shafiyah itu begini dan begini.” Perawi berkata, “‘Ā’isyah bermaksud bahwa Shafiyyah berpostur pendek.” Maka, Rasulullah pun bersabda,
“Sesungguhnya kamu telah mengatakan suatu kalimat yang bila dicampur dengan air laut, maka ia akan mencemarkannya.” (HR Abū Dawūd)
Demikian pula ‘Ā’isyah meriwayatkan dari dirinya sendiri bahwa ketika turun ayat takhyīr (pemberian hak pilih kepada istri-istri Rasulullah) dalam surah al-Aḥzāb, maka dia memilih Allah dan rasul-Nya serta kehidupan akhirat. Kemudian dia memohon kepada Rasulullah agar tidak menyebutkan pilihannya di hadapan istri-istrinya yang lain. Jelas sekali maksud di balik permohonan ‘Ā’isyah r.a. ini, Lalu Rasulullah menjawab,
“Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang keras dan kejam. Namun, Dia mengutusku sebagai pengajar dan pemberi kemudahan. Maka, tidak seorang pun dari mereka yang bertanya tentang pilihanmu melainkan aku pasti memberitahukannya.” (HR Muslim)
Kejadian-kejadian dan kasus-kasus yang diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah dari dirinya sendiri ini, dengan didorong oleh kejujurannya dan pendidikan islami yang didapatkannya secara jernih, hanyalah sebagian contoh yang dapat menggambarkan tentang kasus-kasus lain yang terjadi pada istri-istri Rasulullah lainnya. Hal itu menggambarkan tentang suasana dan kondisi sisi manusiawi yang harus ada dalam kehidupan perkawinan dan rumah tangga. Sebagaimana ia juga menggambarkan tentang bagaimana Rasulullah menunaikan risalahnya dengan tarbiah dan pengajaran dalam rumah tangganya seperti yang beliau tunaikan kepada umat seluruhnya.
Berkenaan dengan kasus inilah, turun kandungan ayat-ayat yang merupakan jantung dari surah ini. Dan, ia merupakan salah satu contoh dari contoh-contoh kasus yang terjadi pada kehidupan Rasulullah dan dalam kehidupan istri-istrinya. Di sana terdapat beberapa riwayat yang berkenaan dengannya, yang bermacam-macam dan berbeda-beda. Kami akan memaparkannya ketika menjelaskan nash-nash al-Qur’ān dalam surah ini.
Berkaitan dengan kasus ini dan beberapa pengarahan yang muncul di dalamnya, khususnya pengarahan kepada dua istri Rasulullah untuk bertobat, maka diikuti pula dengan komentar dalam surah ini yang menganjurkan kepada semuanya agar bertobat. Juga agar setiap penanggung jawab rumah tangga mendidik anak-anaknya dengan pendidikan Islami, dalam upaya memelihara diri mereka sendiri dan keluarga mereka dari siksaan neraka. Hal ini sebagaimana di sana juga dipaparkan tentang pemandangan kejadian yang menimpa orang-orang kafir di dalam neraka.
Kemudian surah ini ditutup dengan kisah istri Nuḥ a.s. dan Lūth a.s. sebagai perumpamaan bagi kekafiran di dalam rumah tangga seorang mukmin. Juga kisah istri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi keimanan dalam rumah tangga seorang kafir. Demikian pula ada bahasan tentang Maryam binti ‘Imrān yang mensucikan dirinya sehingga pantas mendapatkan anugerah tiupan ruh dari Allah.