Bagian kedua dari surah ini menyebutkan tentang nasib orang-orang terdahulu yang telah mendustakan para rasul dan keterangan-keterangan yang jelas dari Allah Mereka menolak dan mengkritik status kemanusiaan dari para rasul. Hal ini sebagaimana orang-orang musyrik dan orang-orang kafir juga mendustakan dan menolak status kemanusiaan dari Rasulullah. Dan, mereka kufur kepada keterangan-keterangan yang jelas yang dibawa oleh beliau,
أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ فَذَاقُوْا وَ بَالَ أَمْرِهِمْ وَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ. ذلِكَ بِأَنَّهُ كَانَتْ تَّأْتِيْهِمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالُوْا أَبَشَرٌ يَهْدُوْنَنَا فَكَفَرُوْا وَ تَوَلَّوْا وَّ اسْتَغْنَى اللهُ وَ اللهُ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ.
“Apakah belum datang kepadamu (hai orang-orang kafir) berita orang-orang kafir dahulu? Maka, mereka telah merasakan akibat yang buruk dari perbuatan mereka dan mereka memperoleh azab yang pedih. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka (membawa) keterangan-keterangan, lalu mereka berkata, “Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?” Lalu mereka ingkar dan berpaling, dan Allah tidak memerlukan (mereka). Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (at-Taghābun: 5-6)
Seruan ini ditujukan umumnya terhadap orang-orang musyrik. Ia merupakan peringatan bagi mereka tentang berita dan akibat yang menimpa orang-orang yang mendustakan. Juga merupakan ancaman terhadap mereka bahwa mereka pun bisa dihukum dengan hukuman serupa dengan orang-orang itu.
Gaya bahasa yang muncul dalam bentuk pertanyaan dalam ayat ini, bisa jadi timbul untuk mengingkari kondisi mereka setelah datang kepada mereka berita orang-orang kafir yang terdahulu hingga mereka mendapatkan hukuman atasnya. Dan, bisa jadi juga timbul untuk memalingkan dan mengarahkan perhatian mereka kepada berita yang diceritakan kepada mereka.
Orang-orang musyrik itu mengetahui, saling menukil, dan saling menceritakan secara turun-temurun tentang kisah-kisah orang-orang yang telah binasa dari orang-orang yang terdahulu, seperti kaum ‘Ād, Tsamūd, dan negeri Lūth. Orang-orang musyrik melihat langsung bekas-bekas dan sering melewatinya di semenanjung Jazirah Arab dalam perjalanan mereka dari utara ke selatan atau sebaliknya.
Al-Qur’an menambah informasi atas berita yang telah diketahui dan dikenal secara luas di dunia ini dengan informasi tentang hukuman dan azab yang menimpa mereka di akhirat.
“…dan mereka memperoleh azab yang pedih.” (at-Taghābun: 5)
Kemudian al-Qur’an menyingkap tentang sebab yang membuat mereka harus menerima hukuman itu dan harus menghadapi hukuman yang menanti mereka di akhirat,
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka (membawa) keterangan-keterangan, lalu mereka berkata, “Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami?”….”
Penolakan ini persis seperti penolakan orang-orang musyrik terhadap Rasulullah Penolakan ini adalah penolakan yang sembrono dan serampangan yang timbul dari kebodohan terhadap hakikat tabiat risalah dan hakikatnya sebagai manhaj Ilahi yang diperuntukkan kepada manusia. Oleh karena itu, manhaj itu harus dicontohkan secara nyata oleh manusia, dia hidup dengannya, dan pribadinya merupakan terjemahan darinya. Sehingga, orang-orang yang lain pun akan mencelupkan dirinya dengan contoh itu semampu mereka. Dan, contoh itu seharusnya tidak asing dari jenis manusia. Kalau contoh itu asing, maka manusia tidak menemukan contoh yang dapat ditiru dan diteladani dalam kehidupan nyata.
Penolakan itu juga timbul dari kebodohan terhadap tabiat manusia yang hakikatnya mulia. Padahal, dengan kemuliaan itu dia pantas menerima risalah langit dan menyampaikannya kepada seluruh alam, tanpa dibutuhkan bantuan malaikat sebagaimana orang-orang musyrik menyarankan dan mengusulkan. Dalam diri manusia terdapat ruh dari Allah dan ruh itu mempersiapkan manusia untuk menyambut risalah dari Allah dan menunaikannya secara sempurna sebagaimana diterimanya dari utusan malaikat.
Hal itu merupakan kehormatan bagi seluruh manusia. Tidak akan ditolak melainkan hanya orang-orang yang bodoh dan tidak tahu tentang kadar kesempurnaan manusia di sisi Allah, ketika dia mewujudkan dalam dirinya hakikat ruh dari Allah yang ditiupkan ke dalam dirinya.
Penolakan itu juga timbul dari sikap keras kepala dan kesombongan yang dusta terhadap keengganan mengikuti utusan Allah yang berasal dari manusia. Dalam pandangan orang-orang itu, mengikuti manusia yang sama dengan mereka seolah-olah merupakan kekurangan dan penghinaan terhadap nilai dan kehormatan orang-orang yang sombong dan bodoh itu. Maka, dalam pandangan mereka, boleh saja mengikuti seorang rasul Allah bila ia berasal dari jenis makhluk lain selain dari jenis mereka sendiri.
Sedangkan, bila mereka dituntut untuk mengikuti salah satu dari orang yang sejenis dengan mereka, maka dalam pandangan mereka itu merupakan kehinaan dan kekurangan nilai dan kehormatan. Oleh karena itu, mereka kafir dan berpaling dari para rasul dan penjelasan-penjelasan mereka. Kesombongan dan kebodohan itu telah mengunci hati mereka sehingga memilih untuk bersikap syirik dan kafir.
“...Lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak memerlukan (mereka). Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (at-Taghābun: 6)
Allah sama sekali tidak membutuhkan iman dan ketaatan mereka. Allah sama sekali tidak membutuhkan apa-apa dari mereka dan tidak pula dari orang-orang yang selain mereka. Dan, Allah sekali-kali tidak membutuhkan apa-apa.
Itulah berita orang-orang yang terdahulu dari orang-orang kafir yang telah mendapatkan hukuman atas kekufuran mereka. Inilah yang menyebabkan mereka harus menerima hukuman dan menghadapi azab lain di akhirat. Oleh karena itu, bagai mana mungkin ada lagi orang-orang yang datang kemudian dan baru, lalu berani mendustakan rasul dan penjelasan dari Allah? Apakah mereka menerima hukuman yang serupa dengan hukuman mereka?
Bagian yang ketiga merupakan sisa dari bahasan yang terdapat dalam bagian kedua. Ia menceritakan tentang pendustaan orang-orang kafir kepada hari kebangkitan. Jelas sekali bahwa orang-orang kafir itu adalah orang-orang musyrik yang diarahkan dakwah kepada mereka oleh Rasulullah pada saat itu.
Di dalam bagian ketiga ini terdapat pengarahan kepada Rasulullah agar menekankan tentang perkara kebangkitan dengan penekanan yang tegas dan kuat. Di sana juga terdapat gambaran tentang fenomena kejadian dan peristiwa di hari Kiamat, tentang akibat yang menimpa orang-orang yang mendustakannya dan orang-orang yang membenarkannya. Juga ada seruan kepada mereka agar beriman dan taat serta mengembalikan segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan mereka kepada Allah semata-mata,
زَعَمَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَنْ لَّنْ يُبْعَثُوْا قُلْ بَلَى وَ رَبِّيْ لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَ ذلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ. فَآمِنُوْا بِاللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَ النُّوْرِ الَّذِيْ أَنْزَلْنَا وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ. يَوْمَ يَجْمَعُكُمْ لِيَوْمِ الْجَمْعِ ذلِكَ يَوْمُ التَّغَابُنِ وَ مَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ يَعْمَلْ صَالِحًا يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا ذلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ. وَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَ كَذَّبُوْا بِآيَاتِنَا أُولئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَ بِئْسَ الْمَصِيْر. مَا أَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ وَ مَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ. وَ أَطِيْعُوا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُوْلِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِيْنُ. اللهُ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ وَ عَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ.
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah, “Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Maka, berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada cahaya (al-Qur’an) yang telah Kami turunkan. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan (untuk dihisab), itulah hari (waktu itu) ditampakkan kesalahan-kesalahan. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal saleh, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang besar. Dan, orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Dan, itulah seburuk-buruk tempat kembali. Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (Dialah) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Dan, hendaklah orang-orang mukmin bertawakal kepada Allah saja.” (at-Taghābun: 7-13)
Sejak awal al-Qur’ān menyebutkan bahwa pernyataan orang-orang kafir tentang kemustahilan adanya peristiwa kebangkitan merupakan khayalan dan praduga yang dibuat-buat. Sehingga, al-Qur’an memutuskan bahwa hal itu merupakan dusta dan kebohongan sejak awal ketika menceritakan tentang itu.
Kemudian al-Qur’an mengarahkan Rasulullah untuk menekankan tentang perkara kebangkitan dengan setegas-tegasnya, yaitu dengan bersumpah atas nama Tuhannya. Tidak ada penegasan apa-apa setelah sumpah Rasulullah dengan nama Tuhannya itu,
“…Katakanlah, “Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan. Kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan….””
Jadi, tidak ada satu pun yang tertinggal dan diremehkan begitu saja dari segala perbuatan. Allah lebih tahu daripada manusia tentang amal mereka, hingga Dia memberitakannya kepada mereka nanti di hari Kiamat.
“… Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (at-Taghābun: 7)
Allah Maha Mengetahui atas apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Dia Maha Mengetahui tentang segala yang tersembunyi dan yang terang. Dia Maha Mengetahui atas apa yang ada di dalam hati. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, sebagaimana yang telah disebutkan di awal surah sebagai pengantar dari penetapan ini.
Dalam nuansa penekanan yang tegas ini, al-Qur’an mengajak manusia untuk beriman kepada Allah, rasul-Nya, dan cahaya yang turun bersama rasul-Nya, yaitu al-Qur’an. Cahaya itu juga adalah agama yang diberitakan dalam al-Qur’an dan ia pada hakikatnya adalah cahaya karena datang dari sisi Allah Dan, Allah adalah cahaya langit dan bumi. Ia adalah cahaya dalam jejak-jejaknya di mana ia menyinari hati sehingga dengan sendirinya menjadi tercerahkan dan ia pun dapat melihat hakikat yang tersembunyi dalam dirinya sendiri.
Setelah seruan untuk beriman ditujukan kepada mereka, ada komentar tambahan yang menyadarkan mereka bahwa sesungguhnya mereka selalu tembus pandang di mata Allah dan tidak ada perkara yang tersembunyi sedikitpun dari Allah tentang mereka,
“Maka, berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada cahaya (al-Qur’an) yang telah Kami turunkan. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (at-Taghābun: 8)
Setelah seruan ini, redaksi al-Qur’an kembali kepada penyempurnaan gambaran peristiwa hari kebangkitan, yang telah ditegaskan dengan penegasan yang kuat,
“(Ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan (untuk dihisab), itulah hari (waktu itu) ditampakkan kesalahan-kesalahan ….”
Hari itu disebut hari pengumpulan karena semua makhluk dari segala generasi dibangkitkan pada saat itu, sebagaimana ia juga dihadiri oleh seluruh malaikat yang tidak diketahui jumlahnya secara pasti melainkan hanya oleh Allah. Namun, untuk mendekatkan ke dalam gambaran kita, sebaiknya kita simak hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar r.a. bahwa Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak kalian lihat, dan aku mendengar apa yang tidak dapat kalian dengar. Langit bergetar, dan ia berhak untuk bergetar. Tidak ada satu pun tempat seluas empat jari melainkan di sana pasti ada seorang malaikat yang meletakkan keningnya bersujud kepada Allah. Demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, pastilah kalian sedikit tertawa dan banyak menangis, dan pasti kalian tidak akan bersenang-senang dengan istri-istri kalian di atas kasur, dan pastilah kalian keluar menuju dataran-dataran yang tinggi, untuk memohon perlindungan kepada Allah. Dan, sesungguhnya aku lebih senang menjadi batang pohon yang ditebang.” (HR Tirmīdzī)
Tidak ada satu pun tempat di langit seluas empat jari melainkan di sana pasti ada seorang malaikat, padahal langit itu luar biasa luasnya. Tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui tentang batas-batasnya. Bayangkan matahari yang demikian besarnya saja di langit tampak seperti debu yang beterbangan di udara. Apakah hal ini dapat mendekatkan ke dalam pandangan manusia tentang jumlah malaikat? Sesungguhnya malaikat itu hanyalah sebagian dari makhluk yang dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhimpunan itu.
Dalam gambaran kejadian di Hari Perhimpunan, terdapat peristiwa penampakan kesalahan-kesalahan dan kerugian. Yaitu, gambaran tentang kejadian yang terjadi di mana orang-orang yang beriman mendapatkan kenikmatan dan keberuntungan meraih surga Jannat-un-Na’īm. Juga gambaran mengenai halangan terhadap orang-orang kafir dari kenikmatan apa pun, kemudian tempat akhir mereka adalah neraka Jahannam. Gambaran itu merupakan gambaran tentang dua nasib yang sangat berbeda. Seolah-olah di sana ada perlombaan meraih keberuntungan dan kemenangan dalam segala sesuatu, dan setiap orang harus mengalahkan saingannya dalam meraihnya.
Kemudian yang menang adalah orang-orang yang beriman dan yang kalah adalah orang-orang kafir. Jadi, kerugian itu adalah sesuai dengan gambaran yang bergerak dan tergambar dalam penjelasan yang ditafsirkan oleh ayat sesudahnya,
“…Barang siapa yang beriman kepada Allah dan mengerjakan amal saleh, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang besar. Dan, orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Dan, itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (at-Taghābun: 9-10)
Sebelum Allah menyempurnakan seruan-Nya kepada manusia untuk beriman, Dia menetapkan salah satu kaidah dari kaidah-kaidah tentang pandangan iman dalam masalah takdir. Juga dalam jejak dan pengaruh iman kepada Allah dalam memberikan hidayah kepada hati,
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (at-Taghābun: 11)
Penyebutan tentang hakikat ini di sini, pertalian dan kaitannya hanyalah sekadar penjelasan tentang pemaparan hakikat iman yang diimbau dan diserukan dalam bagian paragraf surah ini. Ia merupakan hakikat iman yang mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah dan berkeyakinan bahwa segala yang menimpa seseorang yang berupa kebaikan ataupun keburukan adalah terjadi dengan izin Allah Ia merupakan hakikat; di mana iman tidak akan ada dan sempurna bila tidak bersamanya.
Hakikat ini merupakan asas dari segala perasaan keimanan ketika menghadapi kehidupan dengan segala kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwanya, baik dan buruknya. Sebagaimana bisa jadi pula di sana terdapat kaitan dan hubungan yang erat dengan kejadian yang sedang terjadi pada saat surah ini turun, atau ayat-ayat dari surah ini turun, di antara kejadian-kejadian yang terjadi antara orang-orang yang beriman dan orang-orang musyrik.
Dalam hadits yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Sungguh menakjubkan bagi seorang mukmin! Tidak ada satu pun takdir Allah tentang sesuatu melainkan selalu baik baginya. Bila dia ditimpa oleh suatu kemudharatan, dia pun bersabar dan perkara tersebut baik baginya. Dan, bila dia dianugerahkan suatu kesenangan, dia pun bersyukur dan perkara tersebut baik pula baginya. Dan, perkara itu tidak diperuntukkan kepada seseorang pun melainkan hanya bagi seorang mukmin.”
“…Barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (at-Taghābun: 11)
Sebagian ulama salaf terdahulu menafsirkan bahwa iman di ayat ini adalah iman kepada takdir Allah dan penyerahan diri secara total kepada-Nya ketika musibah menimpa. Pendapat Ibnu ‘Abbās menyatakan bahwa maksudnya adalah Allah memberikan hidayah yang mutlak kepada hatinya, membukanya untuk menyingkap hakikat ‘lladunnī’ yang tersembunyi, serta menghubungkannya dengan segala sumber dari segala sesuatu dan segala kejadian. Sehingga, dia dapat melihatnya bahwa di sana penciptaannya dan puncaknya. Oleh karena itu, dia pun menjadi tenang, stabil, dan damai.
Kemudian dia mengetahuinya dengan suatu pengetahuan yang menghubungkannya kepada kaidah umum dan universal. Sehingga, dia tidak membutuhkan lagi penglihatan dan pandangan yang bersifat parsial yang biasanya sering salah dan terbatas.
Oleh karena itu, komentar yang datang setelahnya adalah, “...Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Jadi, petunjuk itu merupakan hidayah kepada sedikit dari ilmu Allah yang dianugerahkan kepada orang yang diberikan petunjuk oleh diri-Nya, ketika imannya benar-benar jujur dan sah. Sehingga, dia pun berhak mendapatkan anugerah Allah berupa lenyapnya tirai dan tersingkapnya rahasia-rahasia …dengan batasan tertentu…
Seruan terhadap mereka untuk beriman diikuti dengan seruan kepada mereka agar taat kepada Allah dan taat kepada rasul-Nya.
“Dan, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (at-Taghābun: 12)
Sebelumnya telah dipaparkan kepada mereka tentang hukuman atas orang-orang yang berpaling sebelum mereka. Dan, di sini Allah menetapkan bahwa rasul hanyalah sekadar penyampai. Apabila Rasulullah telah menyampaikan, maka beliau pun telah menunaikan amanat, menyelesaikan kewajiban, serta membangun hujjah dan alasan. Yang tersisa hanyalah penantian terhadap hukuman yang menimpa mereka karena kemaksiatan dan keberpalingan mereka, di mana mereka telah diperingatkan sebelumnya.
Kemudian bagian ini ditutup dengan penetapan tentang hakikat keesaan Allah yang telah mereka ingkari dan dustakan. Dia pun menetapkan tentang urusan orang-orang yang beriman kepada Allah dalam bermuamalah dengan-Nya,
“(Dialah) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Dan, hendaklah orang-orang mukmin bertawakal kepada Allah saja.” (at-Taghābun: 13)
Hakikat tauhid merupakan asas dan dasar dari segala pandangan iman. Dan, hal itu menentukan bahwa segala bentuk tawakal harus ditujukan hanya kepada diri-Nya semata-mata. Inilah salah satu pengaruh dari pandangan iman yang ada di dalam hati.
Dengan ayat tiga belas ini, redaksi surah ini menyeru ke dalam komunitas orang-orang yang beriman. Ia merupakan penghubung antara ayat-ayat sebelumnya dan ayat-ayat sesudahnya dalam surah ini.