Surah at-Taghabun 64 ~ Tafsir Sayyid Quthb (2/4)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah at-Taghabun 64 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang di langit dan apa yang di bumi. Hanya Allahlah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian-pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (at-Taghābun: 1)

Jadi, semua yang ada di langit-langit dan di bumi mengarahkan diri menuju Tuhannya dan bertasbih memuji-Nya. Hati seluruh alam semesta ini adalah beriman. Ruh segala yang ada di dunia ini adalah beriman, dan Allah Maha Memiliki atas segala sesuatu. Segala sesuatu menyadari tentang hakikat ini.

Allah terpuji dalam diri-Nya sendiri dan diagungkan oleh makhluk-makhluk-Nya. Bila manusia sendiri bersikap berseberangan dengan alam semesta yang besar ini, maka hatinya telah kafir dan ruhnya jumud, melanggar dan bermaksiat, tidak bertasbih kepada Tuhannya, dan tidak menghadapkan dirinya kepada Tuhannya. Dengan demikian, dia berperilaku aneh dan menyimpang seterang-terangnya seperti orang yang terbuang dan terusir dari segala yang ada dalam alam semesta.

Ia merupakan kekuasaan yang mutlak dan tidak terikat dengan apa pun. Ia merupakan hakikat yang terpatri dalam hati setiap mukmin sehingga mengetahuinya dan terpengaruh dengan bukti-bukti dan tanda-tandanya. Dan, dia mengetahui bahwa ketika dia bersandar kepada Tuhannya, maka dia telah bersandar kepada kekuatan yang dapat melakukan segala sesuatu, dan merealisasikan wujud segala sesuatu tanpa batas dan ikatan apa pun.

Itulah gambaran tentang kekuasaan Allah dan tasbih segala sesuatu dalam memuji-Nya. Seluruh alam semesta mengarahkan pujian kepada-Nya. Itu merupakan salah satu bagian dari pandangan iman yang besar.

 

Sentuhan kedua sasarannya ke dalam hati manusia yang bertentangan dan berseberangan dengan alam semesta yang beriman dan bertasbih memuji Allah dengan pujian. Sentuhan kedua ini adalah kenyataan bahwa di antara manusia ada orang yang beriman dan ada orang yang kafir. Hanya manusia saja yang bersikap yang aneh seperti ini, sedangkan alam semesta tidak demikian adanya,

“Dialah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan di antara kamu ada yang beriman. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (at-Taghābun: 2)

Karena kehendak Allah dan kekuasaan-Nya, manusia itu terwujud. Allah memberikan manusia dua potensi, yaitu mengarah kepada kekafiran dan mengarah kepada keimanan. Dengan potensi dan kesiapan inilah, manusia menjadi istimewa di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Dengan karakter kesiapan inilah, manusia dibebani amanat iman. Ia merupakan amanat yang besar dan beban yang sangat berat.

Namun, Allah memuliakan manusia dengan kemampuan untuk membedakan dan memilah serta kekuatan untuk memilih. Kemudian ada bekal lain yaitu bekal pertimbangan yang dengannya dia dapat mengukur dan menimbang segala amal dan tujuannya. Itulah bekal agama yang diturunkan oleh Allah melalui rasul-rasul-Nya. Allah membantu manusia untuk menunaikan amanat tersebut dengan bekal itu semua dan Dia tidak menzalimi mereka sedikit pun.

…Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Jadi, Allah Maha Mengawasi terhadap apa yang dilakukan oleh manusia dan Maha Mengetahui atas niat dan tujuan setiap manusia. Maka, hendaklah setiap manusia bekerja dan beramal. Namun, dia harus berhati-hati terhadap pengawasan Allah Yang Maha Mengawasi dan Maha Melihat.

Persepsi tentang hakikat manusia dan sikapnya itu merupakan bagian dari persepsi Islam yang jelas dan lurus berkenaan dengan sikap manusia dalam alam semesta ini, dengan kesiapan-kesiapannya dan potensi-potensinya di hadapan Pencipta alam semesta.

Sentuhan ketiga mengisyaratkan tentang kebenaran yang murni dan tersimpan dalam tabiat alam semesta. Dengan tabiat itulah, langit-langit dan bumi berdiri. Hal ini sebagaimana ia juga mengisyaratkan tentang penciptaan Allah yang indah dan mempesona dalam wujud manusia. Kemudian pada akhir ayat, terdapat ketetapan tentang kembalinya segala sesuatu kepada Allah,

Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar. Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu, dan hanya kepada-Nyalah kembali(mu).” (at-Taghābun: 3)

Bagian awal dari teks ayat ini adalah,

Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar….

Ia menekankan dalam perasaan setiap mukmin bahwa kebenaran adalah murni dalam alam semesta, bukanlah sesuatu yang baru ada atau hanya sekadar tambahan yang sekunder sifatnya. Jadi, bangunan alam semesta ini terbangun atas kebenaran yang murni itu. Yang menetapkan hakikat ini adalah Allah yang telah menciptakan alam semesta ini dan yang mengetahui atas apa saja kedua benda itu berdiri.

Kekokohan hakikat ini dalam perasaan orang memberikan kondisi ketenangan dan keyakinan tentang kebenaran yang di atasnya agama Islam berdiri dan di atasnya pula seluruh alam semesta berdiri. Oleh karena itu, Islam pasti menang, pasti kekal, dan pasti kokoh setelah hilangnya buih-buih kebatilan.

Hakikat yang kedua adalah,

…Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu, dan hanya kepada-Nyalah kembali(mu).” (at-Taghābun: 3)

Ia menyadarkan manusia tentang kemuliaannya di hadapan Allah dan tentang karunia Allah dalam memperbagus dan memperindah bentuknya, yaitu bentuk penciptaannya dan bentuk perasaannya. Jadi, manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna yang ada di muka bumi dari sisi pembentukan tubuhnya, sebagaimana Allah pun meninggikan manusia dari sisi penciptaan perasaannya dan kesiapan ruhnya yang memiliki rahasia-rahasia yang menakjubkan. Oleh karena itu, pantaslah manusia diwakilkan bertugas sebagai khalifah di muka bumi ini dan dia ditetapkan sebagai penghuni dalam kerajaan yang terhampar sangat luas ini.

Penelitian dan penelusuran yang teliti terhadap susunan tubuh manusia dan kepada salah satu anggota di antara anggota-anggota badannya, pasti menetapkan hakikat itu dan menggambarkannya, “… Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu,…

Suatu susunan yang menghimpun antara keindahan dan kesempurnaan. Keindahan dan kecantikan tubuh manusia pun bertingkat-tingkat antara bentuk yang satu dengan bentuk yang lain. Namun, dapat dipastikan bahwa setiap diri manusia memiliki keindahan tersendiri, penciptaannya sangat sempurna, dan memenuhi segala tugas-tugas dan karakter-karakter yang membuat manusia selalu lebih di atas bumi ini atas seluruh makhluk hidup.

… Dan hanya kepada-Nyalah kembali(mu).” Yaitu, Dialah tempat kembalinya setiap sesuatu, setiap urusan, dan setiap makhluk. Dia juga tempat kembalinya alam semesta dan manusia. Dengan kehendak Allah, semua manusia ada dan kepada-Nya juga mereka kembali. Dari-Nya segala permulaan dan kepada-Nya segala sesuatu berakhir. Dia Yang Awal dan Dia Yang Akhir. Dia meliputi segala sesuatu dari dua sisinya; permulaannya dan akhirnya. Allah yang tidak terbatas dengan apa pun.

 

Sentuhan keempat dalam paragraf dan bagian ini adalah tentang gambaran ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, yang bisa mendeteksi segala rahasia manusia maupun yang tampak darinya. Bahkan, atas apa yang lebih tersembunyi daripada rahasia itu sendiri, yaitu segala yang terdetik dan terbersit dalam hati,

Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi serta mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (at-Taghābun: 4)

Kestabilan hakikat ini dalam hati orang yang beriman, menganugerahkan kepadanya makrifah tentang Tuhannya sehingga dia mengetahui-Nya dengan hakiki. Dengan demikian, dia akan dianugerahi sisi bagian dari persepsi iman tentang alam semesta. Sehingga, ia akan mempengaruhi perasaan dan arah tujuannya. Maka, orang demikian pun akan hidup dengan selalu menyadari bahwa dia selalu terdeteksi oleh radar Allah. Sehingga, tidak ada satu rahasia pun yang dapat dia sembunyikan dari-Nya dan tidak ada satu pun niat dalam hatinya yang dapat disembunyikan dari Allah. Karena, Allah Yang Mahatahu mampu mendeteksi segala yang ada dalam hati.

Tiga ayat seperti ini saja sudah cukup sebagai bekal bagi manusia untuk hidup dengan mengetahui hakikat keberadaannya, keberadaan seluruh alam semesta, hubungannya dengan Penciptanya, adabnya dengan Tuhannya, ketakutan dan ketakwaannya kepada-Nya dalam setiap gerakan, maksud, dan tujuan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *