Hati Senang

Surah asy-Syarh 94 ~ Tafsir Ibni Katsir (2/2)

Tafsir Ibnu Katsir

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Al-Baghawī telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās dan Mujāhid, bahwa makna yang dimaksud dari ayat ini ialah adzan, yakni nama beliau s.a.w. disebutkan dalam adzan. Lalu al-Baghawī menyitir bait-bait syair yang dikatakan oleh Ḥassan ibnu Tsābit:

أَعَزُّ عَلَيْهِ لِلنُّبُوَّةِ خَاتِمٌ                مِنَ اللهَ مِنْ نُوْرِ يَلُوْحُ وَ يَشْهَدُ

وَ ضَمَّ الْإِلهُ اسْمَ النَّبِيِّ إِلَى اسْمِهِ      إِذْ قَالَ فِي الْخَمْسِ الْمُؤَذِّنِ أَشْهَدُ

وَ شَقَّ لَهُ مِنِ اسْمِهِ لِيُجَلَّهُ            فَذُو الْعَرْشِ مَحْمُوْدٌ وَ هذَا مُحَمَّدٌ

Kedudukannya (Nabi s.a.w.) sebagai penutup nabi Allah lebih terang dari cahaya yang kita lihat. Dan juga Allah telah menggabungkan nama Nabi dengan nama-Nya, bila seorang mu’adzdzin mengucapkan kalimah yang kelima dalam adzannya, yaitu “asyhadu ….” Dan Allah telah membelah buatnya sebagian dari nama-Nya untuk menjadikannya orang yang diagungkan. Tuhan Yang mempunyai ‘Arasy Maḥmūd (Yang Maha Terpuji), dan dia bernama Muḥammad (orang yang terpuji).

Ulama lainnya mengatakan bahwa Allah meninggikan sebutan namanya di kalangan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang perkemudian. Dan Allah memuliakan namanya saat mengambil perjanjian dari para nabi, yaitu hendaknya mereka beriman kepada Nabi Muḥammad dan hendaklah mereka memerintahkan kepada umatnya masing-masing untuk beriman kepadanya. Kemudian Allah memasyhurkan sebutannya di kalangan umatnya, maka tidak sekali-kali nama Allah disebut melainkan ia pun disebut bersama nama-Nya. Alangkah baiknya apa yang telah dikatakan oleh Ats-Tsatsarī raḥimahullāh dalam bait syairnya:

لَا يَصِحُّ الْأَذَانُ فِي الْفَرْضِ إِلَّا       بِاسْمِهِ الْعَذْبِ فِي الْفَمِ الْمَرْضِيْ

Tidaklah sah adzan dalam salat fardhu melainkan dengan menyebut namanya yang enak disebut oleh lisan yang diridai.

Disebutkan pula dalam bait syair lainnya:

أَلَمْ تَرَ أَنَّا لَا يَصِحُّ أَذَانُنَا             وَ لَا فَرْضُنَا إِنْ لَمْ نُكَرِّرْهُ فِيْهِمَا

Tidakkah engkau perhatikan, bahwa tidaklah sah adzan kita dan tidak sah (pula) salah fardhu kita bila kita tidak menyebut-nyebut namanya dalam keduanya.

Firman Allah s.w.t.:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Alam Nasyraḥ: 5-6)

Allah s.w.t. menceritakan bahwa sesungguhnya sesudah kesulitan pasti ada kemudahan, kemudian berita ini diulangi-Nya lagi, Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Zar‘ah, telah menceritakan kepada kami Maḥmūd ibnu Gailān, telah menceritakan kepada kami Ḥamīd ibnu Ḥammād ibnu Abū Khuwār alias Abū Jahm, telah menceritakan kepada kami ‘Ā’izh ibnu Syuraih yang mengatakan bahwa Anas ibnu Mālik pernah menceritakan bahwa Nabi s.a.w. duduk dan di hadapannya terdapat sebuah batu, maka beliau s.a.w. bersabda:

لَوْ جَاءَ الْعُسْرُ حَتَّى يَدْخُلَ هذَا الْحَجَرَ لَجَاءَ الْيُسْرُ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْهِ يَخْرُجَهُ

Seandainya kesulitan datang, lalu masuk ke dalam batu ini, niscaya kemudahan akan datang dan masuk ke dalamnya, lalu mengusirnya.

Dan Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Alam Nasyraḥ: 5-6)

Al-Bazzār mengatakan bahwa kami tidak mengetahui hadis ini diriwayatkan dari Anas kecuali oleh ‘Ā’izh ibnu Syuraih.

Menurut hemat kami, Abū Ḥātim ar-Rāzī telah mengatakan sehubungan dengan hadis yang diriwayatkannya oleh ‘Ā’izh, bahwa dia berpredikat lemah. Tetapi Syu‘bah telah meriwayatkannya dari Mu‘āwiyyah ibnu Qurrah, dari seorang lelaki, dari ‘Abdullāh ibnu Mas‘ūd secara mauqūf. Dan Ibnu Abī Ḥātim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami al-Ḥasan ibnu Muḥammad ibn-us-Shabah, telah menceritakan kepada kami Abū Qathn, telah menceritakan kepada kami al-Mubārak ibnu Budhālah, dari al-Ḥasan yang mengatakan bahwa mereka (para sahabat) mengatakan bahwa satu kesulitan tidak dapat mengalahkan dua kemudahan.

Ibnu Jarīr mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Abd-il-A‘lā, telah menceritakan kepada kami Ibnu Saur, dari Ma‘mar, dari al-Ḥasan yang mengatakan bahwa di suatu hari Nabi s.a.w. keluar dalam keadaan senang dan riang seraya tersenyum, lalu bersabda:

لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ، لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرِيْنِ، فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.

Satu kesulitan tidak akan dapat mengalahkan dua kemudahan, satu kesulitan tidak akan dapat mengalahkan dua kemudahan. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr melalui hadis ‘Auf al-‘Arabī dan Yūnus ibnu ‘Ubaid, dari al-Ḥasan secara mursal.

Sa‘īd telah meriwayatkan dari Qatādah, bahwa telah diceritakan kepada kami bahwa Rasūlullāh s.a.w. menyampaikan berita gembira kepada para sahabatnya dengan ayat ini, lalu beliau s.a.w. bersabda:

لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ

Satu kesulitan tidak akan dapat mengalahkan dua kemudahan.

Yang beliau maksudkan adalah firman Allah s.w.t.:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Alam Nasyraḥ: 5-6)

Dikatakan demikian karena al-‘usr yang pertama sama dengan al-‘usr yang kedua. Lain halnya dengan yusr, ia berbilang (yakni dua) karena yang pertama lain dengan yang kedua.

Al-Ḥasan ibnu Sufyān mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yazīd ibnu Shāliḥ, telah menceritakan kepada kami Khārijah, dari ‘Abbād ibnu Katsīr, dari Abuz-Zanād, dari Abū Shāliḥ, dari Abū Hurairah, bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

نُزِلَ الْمَعُوْنَةُ مِنَ السَّمَاءِ عَلَى قَدْرِ الْمَئُوْنَةِ، وَ نُزِلَ الصَّبْرُ عَلَى قَدْرِ الْمُصِيْبَةِ

Pertolongan diturunkan dari langit sesuai dengan kadar pembiayaan, dan kesabaran diturunkan sesuai dengan kadar musibah.

Dan termasuk di antara nasihat yang bersumber dari Imām Syāfi‘ī disebutkan sebagai berikut:

صَبْرًا جَمِيْلاً مَا أَقْرَبَ الْفَرَجَا         مَنْ رَاقَبَ اللهَ فِي الأُمُوْرِ نَجَا

مَنْ صَدَقَ اللهَ لَمْ يَنَلْهُ أَذَى                  وَ مَنْ رَجَاهُ يَكُوْنُ حَيْثُ رَجَا

Bersabarlah dengan kesabaran yang baik, maka alangkah dekatnya jalan kemudahan itu. Barang siapa yang merasa dirinya selalu berada dalam pengawasan Allah dalam semua urusan, niscaya ia akan selamat. Dan barang siapa yang membenarkan janji Allah, niscaya tidak akan tertimpa oleh musibah. Dan barang siapa yang berharap kepada Allah, maka akan terjadilah seperti apa yang diharapkan.

Ibnu Duraid mengatakan bahwa Abū Ḥātim As-Sijistānī telah membacakan bait-bait syair berikut kepadanya, yaitu:

إِذَا اشْتَلَتْ عَلَى الْيَأْسِ الْقُلُوْبُ             وَ ضَاقَ لِمَا بِهِ الصَّدْرُ الرَّحِيْبُ

وَ أَوْطَأَتِ الْمَكَارِهُ وَ اطْمَأَنَّتْ              وَ أَرْسَتْ فِيْ أَمَاكِنِهَا الْخُطُوْبُ

وَ لَمْ تَرَ لاِنْكِشَافِ الضُّرِّ وجْهًا             وَ لَا أَغْنَى بِحَيْلَتِهِ الْأَرِيْبُ

 

أَتَاكَ عَلَى قُنُوْطٌ مِنْكَ غَوْثٌ                يَمُنُّ بِهِ اللَّطِيْفُ الْمُسْتَجِيْبُ

وَ كُلُّ الْحَادِثَاتِ إِذَا تَنَاهَتْ                 فَمَوْصُوْلٌ بِهَا الْفَرْجُ الْقَرِيْبُ

Bilamana hati dipenuhi oleh rasa putus asa, dan dada yang luas menjadi terasa sempit, dan hal-hal yang tidak disukai datang menimpa diri, serta banyak musibah yang dialaminya, sehingga ia tidak melihat adanya celah untuk melepaskan diri dari bahaya yang sedang menimpa diri, dan tiada gunanya lagi semua upaya untuk menanggulanginya. Maka akan datanglah kepadamu pertolongan bila hatimu berserah diri kepada-Nya, yaitu pertolongan dari Tuhan Yang Maha Lembut lagi Maha Memperkenankan doa. Semua musibah apabila telah mencapai puncaknya pasti berhubungan langsung dengan jalan keluarnya tidak lama.

Penyair lainnya mengatakan dalam bait-bait syairnya:

وَ لَرُبَّ نَازِلَةٍ يَضِيْقُ بِهَا الْفَتَى         ذَرْعًا وَ عِنْدَ اللهِ مِنْهَا الْمَخْرَجُ

كَمُلَتْ فَلَمَّا اسْتَحْكَمَتْ حَلْقَاتُهَا          فُرِجَتْ وَ كَانَ يَظُنُّهَا لاَ تُفْرَجُ

Betapa banyak musibah yang menimpa diri seseorang hingga membuatnya terasa sempit, sedangkan di sisi Allah ada jalan keluar darinya. Bilamana musibah mencapai puncaknya, maka pastilah ada jalan keluarnya, padahal yang bersangkutan mengira tiada jalan keluar darinya.

Firman Allah s.w.t.:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ. وَ إِلى رَبِّكَ فَارْغَبْ

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Alam Nasyraḥ: 7-8)

Yakni apabila kamu telah merampungkan urusan-urusan duniamu dan kesibukannya dan telah kamu selesaikan semua yang berkaitan dengannya, maka bulatkanlah tekadmu untuk ibadah dan bangkitlah kamu kepadanya dalam keadaan bersemangat. Curahkanlah hatimu dan ikhlaskanlah niatmu dalam beribadah kepada-Nya dan berharap kepada-Nya.

Termasuk pula ke dalam pengertian ini sebuah hadis yang telah disepakati ke-shaḥīḥ-annya, yaitu yang mengatakan:

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَ لَا وَ هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

Tiada salat di hadapan makanan, dan tiada salat pula sedangkan yang bersangkutan menahan keinginan membuang kedua air (buang air kecil dan buang air besar).

Dan sabda Nabi s.a.w. yang mengatakan:

إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ وَ حُضِرَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوْا بِالْعَشَاءِ

Apabila salat diiqamahkan, sedangkan makan malam telah disediakan, maka mulailah dengan menyantap makan malam dahulu.

Mujāhid telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa apabila kamu telah merampungkan urusan duniamu, lalu kamu berdiri untuk salat, maka kerjakanlah salatmu dengan sungguh-sungguh dengan menghadap kepada Tuhanmu. Dalam riwayat lain yang bersumber dari Qatādah disebutkan pula bahwa apabila berdiri untuk shalat, maka berdoalah dengan sungguh-sungguh untuk keperluanmu.

Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas‘ūd, bahwa apabila engkau telah mengerjakan salat-salat fardhumu, maka kerjakanlah qiyām-ul-lail dengan sungguh-sungguh. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Iyādh hal yang semisal dengan pendapat Ibnu Mas‘ūd.

Menurut riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Mas‘ūd sehubungan dengan makna firman-Nya:

فَانْصَبْ. وَ إِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Alam Nasyraḥ: 7-8)

Yakni sesudah engkau selesaikan salatmu, sedangkan engkau masih dalam keadaan duduk.

‘Alī ibnu Abī Thalḥah telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna firman-Nya:

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ.

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, (Alam Nasyraḥ: 7)

Yaitu dalam berdoa. Zaid ibnu Aslam dan adh-Dhaḥḥāk telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

فَإِذَا فَرَغْتَ

Maka apabila kamu telah selesai (Alam Nasyraḥ: 7)

Maksudnya, dari melakukan jihad.

فَانْصَبْ

.

 

kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, (Alam Nasyraḥ: 7)

Yakni kerjakanlah ibadah dengan sungguh-sungguh.

وَ إِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Alam Nasyraḥ: 8)

Ats-Tsaurī mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah jadikanlah niatmu dan harapanmu hanya tertuju kepada Allah s.w.t. semata.

Demikianlah akhir tafsir sūratu Alam Nasyraḥ dengan memanjatkan puji dan syukur atas segala karunia-Nya.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.