Surah asy-Syams 91 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah

Tafsir Juz ‘Amma
(Judul Asli: Beams of Illumination)
Oleh: Syaikh Fadhlallah Haeri

SURAH ASY-SYAMS

“MATAHARI”

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang.

 

وَ الشَّمْسِ وَ ضُحَاهَا

  1. Demi matahari dan panasnya,

وَ الْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا

  1. Dan bulan tatkala memantulkan cahaya matahari,

Surah ini mulai dengan bersumpah demi matahari yang bersinar cemerlang. Matahari selalu melambangkan Kebenaran, sumber energi utama, sementara bulan menunjukkan refleksi dari energi itu. Matahari pengetahuan kita adalah Nabi Muḥammad, dan mereka yang mengikuti jejak langkah beliau adalah laksana bulannya karena, paling banter, mereka merefleksikan sebagian cahaya kenabian dari permukaan taman mereka. Bayangan senantiasa mengikuti cahaya siang dan gema mengikuti suara. Begitu pulalah hubungan antara Allah, sang Pencipta, dan manusia. Allah ingin mencipta dan oleh sebab itu Dia menciptakan manusia, entitas yang meliputi makna seluruh ciptaan-Nya.

وَ النَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا

  1. Dan siang tatkala ia dengan jelas menampakkannya,

Jalā berarti ‘menjadi jelas atau wujud, menjadi besar atau termasyhur.’ Jadi ayat ini dapat diartikan, ‘Tatkala siang bersinar cemerlang dan jelas, maka wujudnya nampak.’ Bisa juga hal itu menunjuk kepada saat di mana pengetahuan batin—siang harinya batin—bersinar dalam hati dan membuat hati terbuka, sehingga yang terlihat tak lain hanyalah Kebenaran.

وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا

  1. Dan malam tatkala menutupinya dengan selubung,

Dalam eksistensi ini gelap malam datang menutupi cahaya siang, persis seperti datangnya kematian menutupi rahasia manusia yang berpengetahuan, sedangkan kegelapan yang disebabkan oleh kebodohan akan menutupi orang-orang yang berpotensi untuk mendapat pengetahuan.

وَ السَّمَاءِ وَ مَا بَنَاهَا

  1. Dan langit dan Dia yang membangunnya,

وَ الْأَرْضِ وَ مَا طَحَاهَا

  1. Dan bumi dan Dia yang menghamparkannya,

Kata banā berarti ‘membangun, menyusun’, dan dari situ muncul kata untuk anak laki-laki (ibn) dan anak perempuan (ibnah). Kita sedang ditanya, Tidakkah engkau lihat, demi siang yang terang dan demi malam yang terang, demi malam yang menutupi siang dan demi susunan lelangit yang berada dalam keseimbangan, dan demi bumi dan permukaan serta fungsinya? Tidakkah engkau menyaksikan semua keanekaragaman ini?’ Perhatian kita ditujukan pada kesempurnaan sistem-sistem ini sehingga membuat kita merenungkan Sang Pencipta kesempurnaan ini.

وَ نَفْسٍ وَ مَا سَوَّاهَا

  1. Dan jiwa dan Dia Yang membuatnya seimbang.

Sawiya berarti ‘membuat sama, rata, proporsional, sempurna dan sama tinggi’. Allah bertanya, ‘Tidakkah engkau melihat kerumitan jiwa (nafs) yang benar-benar sangat menakjubkan, keseimbangannya yang ruwet, dan kemungkinan-kemungkinannya yang tidak terbatas?’

فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَ تَقْوَاهَا

  1. Maka Ia memberinya ilham untuk memahami apa yang jahat untuknya dan agar memiliki kesadaran, yang disertai rasa takut, akan apa yang baik untuknya.

Realitas-realitas yang ada dalam nafs diilhamkan oleh Allah, dan semuanya sudah ada di dalam nafs sejak sebelum lahir. Realitas tidak masuk ke dalam nafs belakangan setelah lahir. Alhama artinya ‘mengilhamkan’, dan iltahama, dari kata yang sama, berarti ‘menelan, melahap’. Maka kecenderungan baik dan buruk sudah diperkenalkan kepada nafs, bersama dengan semua aspek lainnya yang bermacam-macam. Jiwa telah ditunjukkan pada dua jalan yang disebutkan dalam Sūrat-ul-Balad, ayat 10. Di kedua jalan itu ada pelanggaran nafs dan ada juga ketakwaannya, ada kesadarannya yang disertai rasa takut dan ada perjalanannya di sepanjang jalan rubūbiyyah (Ketuhanan). Kita diminta untuk melihat pada kesempurnaan keadilan yang telah diberikan kepada nafs, dalam rangka menyeimbangkan berbagai kecenderungan yang berlawanan.

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

  1. Sungguh akan beruntung orang yang menumbuhkan jiwanya dalam kesucian,

Orang yang menempuh jalan penyucian nafs menyucikannya dengan mengenali apa penyebab ketidaksuciannya. Ini berkenaan dengan orang yang memperbesar nafs yang tinggi dengan mengurangi energi dan kepuasan nafs yang rendah. Dengan mengurangi pelanggaran, berarti kita meningkatkan kesadaran yang disertai rasa takut, dan dengan meningkatkan kesadaran tersebut berarti kita mengurangi pelanggaran. Dengan meningkatkan penyucian (tazkiyah), kita menjadikan nafs berhasil memenuhi tujuan penciptaannya. Semua ini terjadi melalui dualitas, melalui penciptaan langit dan bumi. Allah memberitahu kita, ‘Kebenaranlah yang akan engkau menangkan, engkau akan menjadi apa yang Aku harapkan darimu, engkau akan mendekati makna eksistensi ini dan engkau akan ditelan oleh makna tauhid, jika engkau menyucikan diri.’

وَ قَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

  1. Dan sungguh akan merugi orang yang merusaknya.

Dassa berarti ‘merencanakan atau bersekongkol, menguburkan, menyembunyikan’. Dasisah berarti ‘persekongkolan rahasia’. Dussa lahu berarti ‘ia diracun secara diam-diam’. Kecintaan kepada dunia ini diberikan kepada kita secara rahasia, secara tersembunyi dan secara terbuka, dalam gemerlap barang yang disodorkan secara menggiurkan di hadapan kita dalam dunia ini. Dengan mendapat jalan untuk memahami motivasi batin, maka siapa pun yang berkonspirasi untuk menutupi kesadaran terhadap pelanggarannya akan berakhir dalam keadaan putus asa dan hilang harapan. Khāba berarti ‘kecewa atau frustrasi’. Kita hanya dapat merasakan kecewa jika kita telah gagal. Kegagalan untuk memenuhi harapan eksistensi yang lebih tinggi disebabkan karena kita menyimpang atau tidak mengikuti dorongan batin terhadap petunjuk yang telah ditempatkan oleh Sang Pencipta di dalam nafs.

كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ بِطَغْوَاهَا

  1. Kaum Tsamūd mendustakan [kebenaran] dalam pelanggaran mereka yang berlebihan,

Orang-orang yang berbuat salah dan menyesal tapi tidak berusaha mengatasi nafs rendahnya akan merugi. Cara untuk mengatasi kebiasaan ini adalah dengan melepaskan jiwa rendah dan memusatkan pada jiwa tinggi yang selalu bersama kita. Jiwa rendah adalah ciptaan kita sendiri, hasil dari ‘konstruksi’ pandangan dunia kita. Setiap orang memiliki apa yang disebut ‘diri’-nya sendiri. Kita berkata, ‘Diriku’, atau ‘ia menghinaku’. Ini merupakan akibat dari sang ‘aku’, akibat bangkitnya ego dan arogansi.

Sekali lagi kita diberikan bukti historis yang menunjukkan apa saja akibat dari pelanggaran. Dari satu nafs muncul dua, dan dari dua ini muncul komunitas secara keseluruhan. Bentukan nafs kita merupakan hasil dari situasi dan keadaan sekitar, dari keluarga, komunitas, dan budaya atau peradaban di mana Allah telah menempatkan kita. Jika kita menambah kecenderungan rendah kita, jika kita terus-menerus memperbesar dan menyuburkannya, bukannya menghentikan, maka akan menimbulkan kehancuran kita yang menyeluruh. Dalam hal ini kita diberikan bukti melalui contoh kaum Tsamūd yang dihancurkan karena kesombongannya.

إِذِ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا

  1. Tatkala orang yang paling keji di antara mereka bangkit dengan kejahatan.

فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ نَاقَةَ اللهِ وَ سُقْيَاهَا

  1. Maka utusan Allah berkata kepada mereka: Itu unta betina Allah, berilah dia minum!

Kaum Tsamud binasa karena pelanggaran, arogansi dan sikap suka membangkang mereka yang kian menjadi-jadi. Nabi Saleh diutus oleh Allah untuk mencoba mengekang mereka melalui pesan-Nya, dan beliau memohon agar mereka tidak menyiksa unta betina yang, bagaimana pun, merupakan ayat (tanda) Allah. Beliau mengatakan kepada mereka bahwa unta betina itu suci dan milik Allah, dan karena segala sesuatu adalah milik Allah maka apa pun adalah suci.

Jika kita tidak mulai menganggap suci segala hal yang nampak dan bersifat lahiriah, dan jika kita tidak mengenal kesucian Rumah Allah, maka kita tidak akan dapat mengetahui kesucian setiap ‘rumah’ lain. Jika kita memandang segala sesuatu dengan pandangan ilahiah yang ada dalam diri kita, jika kita melihat melalui mata sang Pencipta yang ada pada kita, maka kita menemukan bahwa segala sesuatu adalah sempurna. Jika kita tidak berbuat demikian, maka segala sesuatu nampak tidak adil. Jika kita melihat berbagai hal dengan pandangan hidup yang rendah dan dasar maka kita mesti menemukan bahwa segala sesuatu adalah tidak sempurna. Tapi kita diberi banyak sekali kesempatan untuk melayani berbagai tujuan yang paling luhur dan memperbaiki diri kita. Bila kita melihat melalui pandangan syariat, segala sesuatu mungkin nampak menakutkan. Oleh karena itu, kesempatan diberikan kepada kita sesuai dengan kemampuan kita untuk melayani, berbuat baik, menolong, bekerja, memajukan orang lain, dan menegakkan nilai-nilai Islam yang sejati. Jika kita melihat melalui kacamata hakikat, maka segala sesuatu nampak sempurna. Ada pelanggaran, ada kegagalan—dan berbagai hal mungkin kelihatannya menyedihkan—tapi walaupun demikian segala sesuatu berada dalam kesempurnaan. Kita berada di ruang antara atau titik pertemuan (barzakh) dari dua kemungkinan.

فَكَذَّبُوْهُ فَعَقَرُوْهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا

  1. Tetapi mereka menyebutnya seorang pendusta, dan menyembelih unta betina itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka karena perbuatan dosa mereka, dan membinasakan mereka semua.

Kaum Tsamūd menolak apa yang diinformasikan oleh nabi mereka—dan informasi (wahyu) tersebut merupakan ujian bagi mereka. Damdama adalah ‘melumuri sesuatu dengan kekuatan besar’. Dam berati ‘darah’, dan damīm berarti ‘melumuri dengan darah’. Azab mereka sudah dekat; penderitaan mereka datang secara tiba-tiba menimpa mereka melalui perlengkapan fisik yang disediakan oleh Allah. Kita tidak tahu apakah mereka mengalami gempa bumi atau semacam bencana alam lainnya, tapi apa pun bentuk kehancurannya, mereka tetap akan dimusnahkan.

وَ لَا يَخَافُ عُقْبَاهَا

  1. Dan Dia tidak takut akan akibatnya.

Dalam sebuah hadis qudsi yang disampaikan melalui lisan Nabi, Allah mengatakan, ‘Aku telah menciptakan manusia untuk menghuni surga dan Aku tidak perduli, dan Aku telah menciptakan manusia untuk menghuni neraka dan Aku tidak perduli.’ Penciptaan mesti memiliki dua ekstrem, kalau tidak menjadi hamba Allah pasti menjadi hamba setan. Dunia ini merupakan panggung operasi Allah di mana kita bisa bangkit menuju Yang Satu, menuju Allah, Yang Mahaagung, menuju Kekuatan Tunggal di balik ribuan manifestasi.

Dari sudut pandang Pencipta, keseluruhan langit dan bumi tidaklah berarti. Bahkan menurut ukuran-Nya, tidak menyamai berat sebutir debu dunia sekalipun. Allah menciptakan hukum dan memberi kita kesadaran untuk memilih antara benar dan salah, untuk berbuat baik dengan kesadaran yang disertai rasa takut atau mengabaikan sama sekali hukum-Nya dan dikendalikan oleh nafs rendah kita dengan segala tingkah dan hasratnya, atau dikendalikan oleh jiwa luhur yang dibimbing oleh semangat dan kecintaannya terhadap Allah dan Nabi-Nya. Kita akan merasa takut untuk melanggar dan menjaga diri kita dengan hati-hati, dan melalui kewaspadaan ini kebangunan batin akan terjadi, atau, kalau tidak, kita akan berjalan kesana-kemari, berkelakuan dengan cara yang lebih buruk dari binatang.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *