Setelah itu datanglah pembicaraan tentang hakikat yang sangat besar tentang jiwa manusia dalam rangkaian sumpah ini, yang berkaitan dengan alam semesta, pemandangan-pemandangannya, dan fenomena-fenomenanya. Ini merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah yang sangat besar di alam wujud yang saling berkaitan dan teratur rapi.
وَ نَفْسٍ وَ مَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَ تَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَ قَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwāannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya. (asy-Syams: 7-10).
Keempat ayat ini, ditambah dengan ayat surah al-Balad ayat 10: “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.”, dan ayat surah al-Insān ayat 3: “Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir…..”, semuanya melukiskan kaidah teori kejiwaan dalam Islam. Ayat ini berhubungan dan melengkapi ayat-ayat yang mengisyāratkan kompleksitas tabiat manusia, seperti firman Allah dalam surah Shād ayat 71-72: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku kan menciptakan manusia dari tanah. Apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.”
Hal itu juga sebagaimana ia berkaitan dan melengkapi ayat-ayat yang menetapkan adanya tanggungjawab individu, seperti dalam firman Allah dalam surah al-Muddatstsir ayat 38:
“Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.”
Juga melengkapi ayat-ayat yang menetapkan bahwa Allah memberlakukan manusia sesuai dengan realitas orang tersebut, seperti firman-Nya dalam surah ar-Ra‘d ayat 11:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah yang ada pada diri mereka sendiri.”
Dari celah-celah ayat-ayat ini dan sejenisnya, tampak jelaslah bagi kita pandangan Islam terhadap manusia dengan segala atributnya.
Sesungguhnya manusia ini adalah makhlūq yang memiliki tabiat, potensi, dan arah yang kompleks. Dan yang kami maksudkan dengan kata “kompleks” itu adalah dalam batasan bahwa dengan tabiat penciptaannya (yang merupakan campuran antara tanah dari bumi dan peniupan ruh ciptaan Allah padanya), maka ia dibekali dengan potensi-potensi yang sama untuk berbuat baik atau buruk, mengikuti petunjuk atau kesesatan. Ia mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana ia juga mampu untuk mengarahkan jiwanya kepada kebaikan atau keburukan. Kemampuan ini terkandung dan tersembunyi di dalam wujudnya, yang sekali waktu diungkapkan oleh al-Qur’ān dengan ilham:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwāannya” (asy-Syams: 7-8).
Dan sekali waktu diungkapkan dengan petunjuk: “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya.” (al-Balad: 10).
Maka, ilham atau petunjuk itu sudah tersimpan di dalam diri manusia dalam bentuk potensi-potensi. Sedangkan, risalah, pengarahan, dan unsur-unsur luar itu hanya untuk membangkitkan potensi-potensi ini, mengasahnya, menajamkannya, dan mengarahkannya ke sana atau ke sini. Akan tetapi, ia tidak menjadikannya sebagai akhlaq, karena ia diciptakan dengan fitrahnya, terwujud dengan tabiatnya, dan terdapat ilham yang tersembunyi di dalamnya.
Di samping potensi-potensi fitriah yang tersembunyi ini, terdapat kekuatan pemikir dan pengarah di dalam diri manusia. Kekuatan inilah yang menjadi titik tekan pertanggungjawaban. Maka, barang siapa yang mempergunakan kekuatan ini untuk menyucikan dan membersihkan dirinya serta mengembangkan potensi kebaikannya dan mengalahkan potensi kejelekannya, niscaya dia akan beruntung. Barang siapa yang menganiaya kekuatan ini dan menyembunyikannya serta melemahkannya, niscaya dia akan merugi.
Dengan demikian, di sana terdapat pertanggungjawaban atas diberinya manusia kekuatan pemikir yang mampu untuk memilih dan mengarahkan potensi-potensi fitriah yang dapat berkembang di ladang kebaikan dan ladang keburukan ini. Karena itu, jiwa manusia bebas tetapi bertanggungjawab. Ia adalah kekuatan yang dibebani tugas, dan ia adalah karunia yang dibebani kewajiban.
Adalah rahmat dari Allah di mana Dia tidak menyerahkan manusia kepada potensi-potensi fitriah ilhamiahnya dan kekuatan pemikirnya saja untuk berbuat dan bertindak. Namun, Dia menolongnya juga dengan risālah-risālah yang menempatkan untuknya timbangan yang mantap dan cermat. Juga mengungkapkan untuknya hal-hal yang mengisyāratkan keimanan, menunjukkan dalil-dalil penunjuk di dalam dirinya dan pada alam sekelilingnya, dan mencerahkannya dari kotoran-kotoran hawa-nafsu sehingga dia dapat melihat kebenaran dalam bentuknya yang benar. Dengan demikian, jelaslah jalan hidup baginya dengan sejelas-jelasnya dan sangat transparan tanpa ada lagi kegelapan dan kesamaran padanya. Sehingga, kekuatan pemikirnya waktu itu tidak berpaling dari pandangan dan pemahaman terhadap hakikat arah yang dipilih dan ditempuhnya.
Demikianlah yang dikehendaki Allah secara garis besar terhadap manusia. Segala sesuatu yang sempurna dalam menjalankan peranannya, maka itu adalah implementasi kehendak Allah dan qadar-Nya yang umum.
Pandangan global hingga batas tertentu ini (101) melahirkan sejumlah hakikat yang sangat bernilai di dalam arah pendidikan. Pertama, meninggikan nilai keberadaan manusia, ketika ia menjadikannya sebagai orang yang layak memikul tanggungjawab mengenai arah perjalanannya, dan memberinya kebebasan untuk memilih (dalam bingkai kehendak Ilahi yang menghendaki kebebasan baginya untuk memilih). Maka, kebebasan dan tanggungjawab ini menempatkan keberadaan manusia pada posisi yang tinggi di alam wujud ini yang menjadikannya layak menjadi khalīfah yang ditiupkan ruh Allah padanya dan disempurnakan penciptaannya dengan tangan-Nya, dan melebihkannya atas makhlūq yang lain.
Kedua, memberikan konsekuensi kepada manusia tentang tempat kembalinya di akhirat nanti dan menjadikan segala urusannya sebagai berada di antara kedua tangannya (dalam bingkai kehendak terbesar sebagaimana sudah kami kemukakan). Sehingga, akan berkembanglah di dalam dirinya rasa kesadaran, keprihatinan, dan ketaqwaan. Dia menyadari bahwa qadar Allah pada dirinya terealisir dari celah-celah tindakannya sendiri.
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (ar-Ra‘d: 11).
Ini merupakan tanggungjawab berat yang tidak boleh dilalaikan dan diabaikan oleh yang bersangkutan.
Ketiga, memberikan kesadaran kepada manusia tentang kebutuhannya yang abadi untuk kembali kepada timbangan-timbangan Ilahi yang baku. Sehingga, dia memiliki keyakinan yang tidak mudah diperdayakan oleh hawa-nafsu dan tidak disesatkannya. Juga supaya tidak digiring oleh hawa-nafsunya kepada kebinasaan, dan tidak tergolong sebagai orang yang menjadikan hawa-nafsunya sebagai tuhannya. Dengan demikian, dia dekat dengan Allah, menjalani petunjuknya, dan mendapatkan penerangan dari cahaya yang dipancarkan-Nya di jalan kehidupan.
Oleh karena itu, tidak ada kesudahan bagi manusia di dalam perjalanannya untuk menyucikan dan membersihkan hati, dengan mandi cahaya Allah yang melimpah, dan bersuci di perairan yang memancar di sekelilingnya dari sumber-sumber alam wujud.