Surah asy-Syams 91 ~ Tafsir Sayyid Quthb (1/3)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah asy-Syams 91 ~ Tafsir Sayyid Quthb

SURAH ASY-SYAMS

Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 15.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

وَ الشَّمْسِ وَ ضُحَاهَا. وَ الْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا. وَ النَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا. وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا. وَ السَّمَاءِ وَ مَا بَنَاهَا. وَ الْأَرْضِ وَ مَا طَحَاهَا. وَ نَفْسٍ وَ مَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَ تَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَ قَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا. كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ بِطَغْوَاهَا. إِذِ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا. فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ نَاقَةَ اللهِ وَ سُقْيَاهَا. فَكَذَّبُوْهُ فَعَقَرُوْهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا. وَ لَا يَخَافُ عُقْبَاهَا

091:1. Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,
091:2. bulan apabila mengiringinya,
091:3. siang apabila menampakkannya,
091:4. malam apabila menutupinya,
091:5. langit serta pembinaannya,
091:6. bumi serta penghamparannya,
091:7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
091:8. maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwāannya.
091:9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,
091:10. dan merugilah orang yang mengotorinya.
091:11. (Kaum) Tsamūd telah mendustakan (rasūlnya) karena mereka melampaui batas,
091:12. ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka,
091:13. lalu Rasūl Allah (Shālih) berkata kepada mereka: “(Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”.
091:14. Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka. Lalu, Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah).
091:15. Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.

Pengantar.

Surah pendek ini memiliki rima (bunyi akhir) dan nuansa musikal yang sama. Juga mengandung sejumlah sentuhan perasaan yang bersumber dari pemandangan-pemandangan alam dan fenomena-fenomenanya yang menjadi permulaan surah dan tampak seolah-olah sebuah bingkai bagi hakikat besar yang dikandung oleh surah ini. Yaitu, hakikat tentang jiwa manusia, potensi fitrahnya, peranan manusia di dalam mengatur dirinya, dan tanggungjawabnya di tempat kembalinya (akhirat nanti). Hakikat inilah yang dihubungkan oleh surah ini dengan hakikat-hakikat alam semesta dan pemandangan-pemandangannya.

Surah ini juga memuat kisah kaum Tsamūd dan pendustaannya terhadap peringatan rasūlnya, penyembelihannya terhadap unta betina, dan puing-puing kehancurannya sesudah itu. Ini adalah sebuah contoh tentang kerugian yang menimpa orang yang tidak menyucikan dirinya dan membiarkannya berbuat durhaka. Juga tidak menetapkan ketaqwāannya sebagaimana disebutkan pada paragraf pertama dalam surah ini: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya.

Fenomena Alam Semesta.

وَ الشَّمْسِ وَ ضُحَاهَا. وَ الْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا. وَ النَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا. وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا. وَ السَّمَاءِ وَ مَا بَنَاهَا. وَ الْأَرْضِ وَ مَا طَحَاهَا. وَ نَفْسٍ وَ مَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَ تَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَ قَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.

Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, bulan apabila mengiringinya, siang apabila menampakkannya, malam apabila menutupinya, langit serta pembinaannya, bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwāannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya. (asy-Syams: 1-10).

Allah s.w.t. bersumpah dengan makhlūq-makhlūq dan fenomena-fenomena semesta ini, sebagaimana Dia bersumpah dengan jiwa dan penyempurnaan ciptaannya serta pengilhamannya. Di antara persoalan sumpah ini adalah memberikan nilai yang sangat tinggi kepada makhlūq-makhlūq tersebut. Kemudian menghadapkannya kepada hati manusia supaya meresponsnya dan merenungkan nilai-nilai dan petunjuk yang dikandungnya. Sehingga, dia layak dijadikan objek sumpah oleh Allah Yang Maha Luhur lagi Maha Agung.

Pemandangan dan fenomena alam semesta secara mutlak berkomunikasi dengan hati manusia dengan bahasa rahasia, saling mengenal di dasar fitrah dan perasaan yang dalam. Antara alam semesta dan ruh manusia saling merespons dan berbisik tanpa bunyi dan suara. Namun, ia berkata kepada hati, berisyārat kepada ruh, dan mengalirkan kehidupan yang jinak kepada wujud manusia yang hidup ini, ketika bertemu dan berhadapan. Maka, ia dapat merasakan keramahan, bisikan, respons, dan isyārat-isyāratnya.

Oleh karena itu, al-Qur’ān banyak mengarahkan hati manusia kepada pemandangan-pemandangan alam dengan berbagai macam metode pada tempat-tempat yang berbeda-beda dan tema yang beraneka. Sekali tempo dengan arahan-arahan langsung, dan sekali tempo dengan sentuhan-sentuhan pada sisi-sisi tertentu seperti sumpah dengan makhlūq-makhlūq dan pemandangan-pemandangan ini. Juga dan meletakkannya sebagai bingkai bagi hakikat-hakikat yang disebutkan sesudahnya. Di dalam juz ini sendiri, kita jumpai banyak pengarahan dan sentuhan yang nyata. Sehingga, hampir tidak ada satu surah pun yang kosong dari penggugahan hati untuk memperhatikan alam semesta, untuk mencari respons dan isyārat-isyāratnya, serta menerima petunjuk-petunjuknya dan mendengar bisikannya yang disampaikannya dengan bahasa rahasia.

Di sini kita dapati sumpah dengan matahari dan cahayanya di pagi hari. Ya‘ni, dengan matahari secara umum dan ketika pagi hari serta ketika naik dari ufuk secara khusus. Pada saat itu memang tampak lebih indah dan lebih manis. Pada waktu udara dingin yang memerlukan kehangatan dan semangat, dan ketika panas pada waktu sinarnya memancar cerah sebelum teriknya tengah hari. Maka, matahari pada waktu dhuḥā terlihat lebih indah dan lebih jernih. Ini mengandung petunjuk khusus sebagaimana kita lihat.

Bersumpah dengan bulan ketika mengiringinya (matahari) dengan cahayanya yang halus dan lembut, indah dan jernih. Antara bulan dan hati manusia terdapat jalinan kasih sejak dahulu dan terhunjam dalam relung dan kedalamannya. Jalinan kasih yang melimpah-ruah dalam semua sudut qalbu, yang menjadikan hati bangun dan tergugah ketika berjumpa dengannya dalam kondisi apa pun.

Bulan memberikan bisikan-bisikan dan isyārat-isyārat kepada hati, pengagungan dan penyucian kepada Yang Maha Pencipta, yang hampir dapat didengar oleh hati yang peka pada cahaya bulan yang mengembang. Hati sendiri kadang-kadang bertasbīḥ di dalam limpahan cahaya yang memancar pada malam padang rembulan, mencuci kotoran-kotorannya, mereguk siramannya, dan merangkul cahaya tercinta ini. Sehingga, ruh yang diciptakan Allah padanya memperoleh kelegaan dan kesenangan.

Bersumpah dengan “siang apabila menampakkannya”, yang membari isyārat bahwa yang dimaksud dengan dhuḥā adalah waktu khusus, bukan seluruh waktu siang. Isim dhamīr “kata ganti” pada lafal (جَلَّاهَا) jelas kembali kepada asy-syams “matahari” yang disebutkan dalam rangkaian ayat itu. Akan tetapi, isyārat al-Qur’ān ini juga mencakup kemungkinan bahwa ini adalah dhamīr bagi hamparan alam semesta.

Uslub Qur’āni ini mengandung isyarat-isyarat sampingan seperti ini yang tersimpan di dalam susunan ayat. Karena, ia menjadi sasaran dalam perasaan manusia, yang diungkapkan secara halus. Siang menampakkan hamparan dan menyingkapnya, dan waktu siang juga memiliki bekas dan dampak bagi kehidupan manusia sebagaimana diketahui. Akan tetapi, kadang-kadang manusia lupa terhadap keindahan waktu siang dengan dampak-dampaknya itu karena seringnya berulang waktu siang. Maka, sentuhan sepintas dalam rangkaian ayat-ayat seperti itu dapat membangkitkan dan menggugah hati untuk merenungkan fenomena-fenomena yang sangat besar ini.

Demikian pula dengan “malam apabila menutupinya.” Menutupi ini adalah kebalikan dari menampakkan. Malam adalah penutup yang meliputi segala sesuatu dan menyembunyikannya. Ini merupakan pemandangan yang memiliki kesan tersendiri dalam jiwa, dan memiliki dampak tertentu dalam kehidupan manusia sebagaimana halnya waktu siang.

Kemudian Allah bersumpah dengan langit dan pembinaannya: “Demi langit serta pembinaannya.” Lafal “” di sini adalah mashdariyyah (yang menjadikan lafal sesudahnya berfungsi seperti mashdar). Kata samā‘ “langit” apabila disebutkan, maka akan segera terbayang di dalam pikiran kita sesuatu yang kita lihat di atas kita yang berbentuk seperti kubah di manapun kita menghadap. Di sana bertebaran bintang-gemintang yang beredar pada tata surya sebenarnya kita tidak mengetahui. Namun, apa yang kita lihat di atas kita yang tampak kukuh dan tidak pernah rusak dan bergoncang ini, menunjukkan sifat bangunannya yang mantap dan kukuh.

Adapun bagaimana cara membangunnya dan bagaimana cara memegang dan mengendalikan bagian-bagiannya sehingga tidak berserakan padahal ia berenang (beredar) di halaman alam semesta yang tidak kita mengetahui semua itu. Sedangkan, apa yang dikatakan oleh manusia tentang langit dan segala rangkaiannya, semua itu hanyalah teori-teori yang bisa saja ditolak dan diluruskan, bukan suatu ketetapan yang baku dan tetap. Kita hanya meyakini bahwa di balik segala sesuatu ini terdapat tangan Allah yang menahan bangunan ini:

Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap. Sungguh jika keduanya akan lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah.” (Fāthir: 41).

Inilah satu-satunya pengetahuan yang meyakinkan!

Allah juga bersumpah dengan bumi dan penghamparannya: “Demi bumi serta penghamparannya….Ath-Thaḥwu sama dengan ad-daḥwu, yaitu menghamparkan bagi kehidupan. Ini merupakan hakikat jelas yang kehidupan manusia dan semua jenis makhlūq hidup bergantung padanya. Kekhususan-kekhususan dan kesesuaian-kesesuaian yang diciptakan oleh tangan Allah di muka bumi inilah, yang menjadikan kehidupan di dalamnya sesuai dengan ketentuan dan pengaturan-Nya.

Menurut fenomena lahirnya yang tampak kepada kita adalah kalau salah satunya rusak, niscaya tidak akan dapat berlangsung kehidupan seperti yang berlaku ini. Penghamparan bumi sebagaimana disebutkan juga dalam ayat 30-31 surah an-Nāzi‘āt: “Bumi sesudah itu dihamparkannya. Ia memancarkan darinya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya”, merupakan keistimewaan dan keserasian yang paling besar. Hanya tangan Allah sendirilah yang mengatur ursan ini. Maka, ketika al-Qur’ān menyebutkan penghamparan bumi di sini berarti ia juga menyebutkan tangan yang ada di baliknya. Disentuhlah hati manusia dengan sentuhan ini untuk direnungkan dan menjadi peringatan.