Surah asy-Syams 91 ~ Tafsir Ibni Katsir (1/2)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah asy-Syams 91 ~ Tafsir Ibni Katsir

SŪRAT-USY-SYAMS
(Matahari)

Makkiyyah, 15 Ayat
Turun sesudah Sūrat-ul-Qadar

 

Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan hadis Jābir yang terdapat di dalam kitab Shaḥīḥain, bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda kepada Mu‘ādz:

فَهَلاَّ صَلَّيْتَ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَ الشَّمْسِ وَ ضُحَاهَا، وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى.

Mengapa engkau dalam salatmu tidak membaca Sabbiḥisma rabbik-al-a‘lā (Sūrat-ul-A‘lā), dan Wasy-syamsi wa dhuḥāhā (Sūrat-usy-Syams) dan Wal-laili idzā yaghsyā (Sūrat-ul-Lail).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Asy-Syams, ayat: 1-10

وَ الشَّمْسِ وَ ضُحَاهَا، وَ الْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا، وَ النَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا، وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا، وَ السَّمَاءِ وَ مَا بَنَاهَا، وَ الْأَرْضِ وَ مَا طَحَاهَا، وَ نَفْسٍ وَ مَا سَوَّاهَا، فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَ تَقْوَاهَا، قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا، وَ قَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

091:1. Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,
091:2. dan bulan apabila mengiringinya,
091:3. dan siang apabila menampakkannya,
091:4. dan malam apabila menutupinya,
091:5. dan langit serta pembinaannya,
091:6. dan bumi serta penghamparannya,
091:7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
091:8. maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan,
091:9. sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,
091:10. dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

 

Mujāhid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ الشَّمْسِ وَ ضُحَاهَا

Demi matahari dan cahayanya di pagi hari (asy-Syams: 1)

Yakni sinarnya di waktu pagi. Qatādah mengatakan bahwa makna firman-Nya: “Wa dhuḥāhā”, artinya seluruh siang hari, bukan hanya pagi hari saja. Ibnu Jarīr mengatakan bahwa yang benar ialah bila dikatakan bahwa Allah bersumpah dengan menyebut matahari dan siang hari, karena sinar matahari yang terang terdapat di siang hari.

وَ الْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا

dan bulan apabila mengiringinya (asy-Syams: 2).

Mujāhid mengatakan mengiringinya.

Al-‘Aufī telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan makna fiman-Nya:

وَ الْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا

dan bulan apabila mengiringinya (asy-Syams: 2).

Maksudnya, mengiringi siang hari.

Qatādah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ الْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا

dan bulan apabila mengiringinya (asy-Syams: 2).

Yaitu malam hilal, bila mentari terbenam, hilal baru kelihatan. Ibnu Zaid mengatakan bahwa bulan mengiringi matahari pada pertengahan bulan pertama, kemudian sebaliknya matahari mengiringi bulan dan bulan mendahuluinya pada pertengahan bulan yang terakhir. Mālik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, bahwa makna yang dimaksud ialah apabila bulan mengiringi matahari di malam Lailat-ul-Qadar.

Firman Allah s.w.t.:

وَ النَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا

dan siang apabila menampakkannya (asy-Syams: 3).

Mujāhid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah bila cuacanya cerah. Qatādah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ النَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا

dan siang apabila menampakkannya (asy-Syams: 3).

Yakni apabila siang hari menerangi semuanya.

Ibnu Jarīr mengatakan bahwa sebagian ahli bahasa ‘Arab menakwilkan hal ini dengan pengertian siang hari apabila mengusir gelapnya malam hari. Dikatakan demikian karena konteks kalimat menunjukkan kepada pengertian ini. Menurut hemat kami, seandainya orang yang berpendapat demikian menakwilkan dengan pengertian tersebut sebagaimana takwilnya terhadap firman-Nya:

وَ النَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا

dan siang apabila menampakkannya (asy-Syams: 3).

Tentulah hal ini lebih utama dan lebih sahih bila diterapkan kepada firman-Nya:

وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا

dan malam apabila menutupinya (asy-Syams: 4)

Maka takwilnya akan kelihatan lebih baik dan lebih kuat; hanya Allah-lah Yang Mengetahui. Karena itulah maka Mujāhid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:

وَ النَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا

dan siang apabila menampakkannya (asy-Syams: 3).

Bahwa ayat ini semakna dengan firman-Nya:

وَ النَّهَارِ إِذَا تَجَلّى

dan siang apabila terang-benderang (al-Lail: 2)

Adapun Ibnu Jarīr, dia memilih pendapat yang merujukkan semua dhamīr kepada matahari dalam semua kalimat itu, mengingat mataharilah yang menjadi subjek pembicaraan. Para ulama mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah s.w.t.:

وَ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا

dan malam apabila menutupinya (asy-Syams: 4)

Yaitu apabila malam menutupi matahari saat matahari tenggelam, maka seluruh cakrawala menjadi gelap.

Baqiyyah ibn-ul-Walīd telah meriwayatkan dari Shafwān, telah menceritakan kepadaku Yazīd ibnu Dzī Ḥamāmah yang mengatakan bahwa apabila malam hari tiba, Allah s.w.t. berfirman: “Hamba-hambaKu telah ditutupi oleh makhluk-Ku yang besar,” malam hari takut kepada Allah, dan memang Allah yang telah menciptakannya lebih berhak untuk dia takuti. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim.

Firman Allah s.w.t.:

وَ السَّمَاءِ وَ مَا بَنَاهَا

dan langit serta pembinaannya. (asy-Syams: 5).

di sini dapat diartikan sebagai mā mashdariyah, sehingg artinya menjadi “dan langit serta bangunannya”. Ini menurut pendapat Qatādah. Dapat pula ia dianggap sebagai huruf yang bermakna man, sehingga artinya menjadi seperti berikut: Dan langit serta Tuhan yang membangunnya. Ini menurut pendapat Mujāhid; kedua pendapat tersebut saling berkaitan. Dan yang dimaksud dengan binā’ihā ialah bangunannya yang tinggi, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَ السَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَ إِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ، وَ الْأَرْضَ فَرَشْنَاهَا فَنِعْمَ الْمَاهِدُوْنَ.

Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya. Dan bumi itu Kami hamparkan; maka sebaik-baik yang menghamparkan (adalah Kami). (adz-Dzāriyāt: 47-48)

Demikian pula firman Allah s.w.t.:

وَ الْأَرْضِ وَ مَا طَحَاهَا

dan bumi serta penghamparannya (asy-Syams: 6).

Mujāhid mengatakan bahwa thaḥāhā artinya penghamparannya. Al-‘Aufī telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās sehubungan dengan firman-Nya:

وَ مَا طَحَاهَا

dan penghamparannya (asy-Syams: 6).

Yakni segala makhluk yang terdapat di dalamnya. ‘Alī ibnu Abū Thalḥah telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, bahwa makna yang dimaksud ialah bagian-bagiannya. Mujāhid, Qatādah, adh-Dhaḥḥāk, as-Suddī, ats-Tsaurī, Abū Shāliḥ, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa thaḥāhā artinya penghamparannya, dan inilah pendapat yang terkenal dan dianut oleh kebanyakan ulama tafsir, juga yang terkenal di kalangan ahli bahasa. Al-Jauharī mengatakan bahwa thaḥautuhu sama dengan daḥautuhu, artinya: aku telah menghamparkannya.

Firman Allah s.w.t.:

وَ نَفْسٍ وَ مَا سَوَّاهَا

dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya) (asy-Syams: 7)

Yaitu penciptaannya yang sempurna dengan dibekali fitrah yang lurus lagi tegak, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا، فِطْرَتَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ.

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (ar-Rūm: 30).

Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

كُلُّ مَوْلُدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُوْلِدُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟

Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka hanya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau seorang Nashrani, atau seorang Majusi. Sebagaimana hewan ternak yang melahirkan anaknya dalam keadaan utuh, maka apakah kamu pernah melihatnya ada yang cacat?

Imām Bukhārī dan Imām Muslim mengetengahkannya melalui riwayat Abū Hurairah, sedangkan di dalam Shaḥīḥ Muslim disebutkan melalui riwayat ‘Iyādh ibnu Ḥammād al-Mujāsyi‘ī, dari Rasūlullāh s.a.w. Disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

يَقُوْلُ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ: إِنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ.

Allah s.w.t. berfirman: “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan hanif (menyimpang dari kebatilan dan cenderung kepada perkara hak). Kemudian datanglah setan-setan yang menyesatkan mereka dari agamanya.

Firman Allah s.w.t.:

فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَ تَقْوَاهَا

maka Allah menghilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (asy-Syams: 8).

Yakni Allah menerangkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaan, kemudian memberinya petunjuk kepadanya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah untuknya.

Ibnu ‘Abbās mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah s.w.t.:

فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَ تَقْوَاهَا

maka Allah menghilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (asy-Syams: 8).

Allah telah menjelaskan kepadanya kebaikan dan keburukan. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujāhid, Qatādah, adh-Dhaḥḥāk, dan ats-Tsauri. Sa‘īd ibnu Jubair mengatakan bahwa Allah mengilhamkan (menginspirasikan) kepadanya jalan kebaikan dan keburukan. Ibnu Zaid mengatakan bahwa Allah s.w.t. menjadikan dalam jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya.

Ibnu Jarīr mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyār, telah menceritakan kepada kami Shafwān ibnu ‘Īsā dan Abū ‘Āshim an-Nabīl, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ‘Azrah ibnu Tsābit, telah menceritakan kepadaku Yaḥyā ibnu ‘Aqīl, dari Yaḥyā ibnu Ya‘mar, dari Abul-Aswad ad-Dailī yang mengatakan bahwa ‘Imrān ibnu Ḥushain mengatakan kepadanya: “Bagaimana pendapatmu tentang apa yang dikerjakan oleh manusia sehingga mereka bersusah payah melakukannya? Apakah hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atas mereka dan telah digariskan oleh takdir yang terdahulu atas mereka. Ataukah merupakan sesuatu yang bergantung kepada penerimaan mereka terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi s.a.w. kepada mereka dan yang telah diperkuat oleh hujjah sebagai alasan terhadap mereka?” Maka Abul-Aswad ad-Dailī menjawab: “Tidak demikian, sebenarnya hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atas diri mereka oleh takdir Allah.”

‘Imrān ibnu Hushain bertanya: “Maka apakah hal itu bukan termasuk perbuatan aniaya?”

Abul-Aswad ad-Dailī mengatakan bahwa ia merasa sangat terkejut terhadap pertanyaan itu. Maka ia menjawab: “Tiada sesuatu pun melainkan dia adalah makhluk-Nya dan menjadi milik-Nya, tiada seorang pun yang menanyakan apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang telah mereka kerjakan.”

‘Imrān ibnu Ḥushain berkata: “Semoga Allah meluruskanmu, sesungguhnya aku bertanya kepadamu tiada lain untuk memberitahukan kepadamu bahwa pernah ada seorang lelaki dari Bani Muzayyanah atau Bani Juhainah datang kepada Rasūlullāh s.a.w., lalu bertanya: “Wahai Rasūlullāh, bagaimanakah menurutmu tentang apa yang dikerjakan oleh manusia yang mereka bersusah payah menanggulanginya. Apakah hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atas mereka dalam takdir yang terdahulu, ataukah hal itu merupakan sesuatu yang mereka terima diperkuat dengan hujah atas diri mereka?”

Maka Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

بَلْ شَيْءٌ قَدْ قَضَى عَلَيْهِمْ.

Tidak demikian, sebenarnya hal itu adalah sesuatu yang telah ditetapkan atas diri mereka.

Lalaki itu bertanya lagi: “Lalu apakah gunanya kita beramal?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: bahwa barang siapa yang diciptakan oleh Allah untuk mengerjakan salah satu di antara keduanya, maka Allah menyiapkannya untuk itu, dan hal yang membenarkan ini dalam Kitābullāh adalah firman-Nya yang mengatakan:

وَ نَفْسٍ وَ مَا سَوَّاهَا، فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَ تَقْوَاهَا

dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah menghilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (asy-Syams: 7-8).

Imām Aḥmad dan Imām Muslim meriwayatkannya melalui hadis ‘Azrah ibnu Tsābit dengan sanad yang sama.

Firman Allah s.w.t.:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا، وَ قَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (asy-Syams: 9-10).

Takwil makna ayat dapat dikatakan bahwa sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan dirinya dengan taat kepada Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Qatādah, dan membersihkannya dari akhlak-akhlak yang hina. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Mujāhid, ‘Ikrimah, dan Sa‘īd ibnu Jubair. Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى، وَ ذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى.

Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat. (al-A‘la: 14-15).

Adapun firman Allah s.w.t.:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu (asy-Syams: 9)

Yakni membenamkannya, menguburnya, dan menghinakannya dengan tidak mengikuti jalan petunjuk, hingga terjerumuslah dia ke dalam perbuatan-perbuatan maksiat dan meninggalkan ketaatan kepada Allah s.w.t.

Dapat juga makna ayat ditakwilkan dengan pengertian berikut, bahwa beruntunglah orang yang jiwanya dibersihkan oleh Allah, dan merugilah orang yang jiwanya ditakdirkan kotor oleh Allah s.w.t. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-‘Aufī dan ‘Alī ibnu Abī Thālib, dari Ibnu ‘Abbās. Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku dan Abū Zur‘ah, keduanya mengatakan bahwa kami Abū Mālik alias ‘Amr ibn-ul-Hārits, dari ‘Amr ibnu Hisyām, dari Juwaibir, dari adh-Dhaḥḥāk, dari Ibnu ‘Abbās yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasūlullāh s.a.w. sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ قَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (asy-Syams: 10).

Maka beliau s.a.w. bersabda:

أَفْلَحَتْ نَفْسٌ زَكَّاهَا اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ

Berutunglah jiwa orang yang disucikan oleh Allah s.w.t.

Ibnu Abī Ḥātim telah meriwayatkannya pula melalui hadis Abū Mālik dengan sanad yang sama. Juwaibir yang disebutkan dalam perawi hadis ini adalah Ibnu Sa‘īd, orangnya berpredikat matruk, dan lagi adh-Dhaḥḥāk belum pernah bersua dengan Ibnu ‘Abbās.

Imām Thabrānī mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yaḥyā ibnu ‘Utsmān ibnu Shāliḥ, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahī‘ah, dari ‘Amr ibnu Dīnār, dari Ibnu ‘Abbās yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bila bacaannya sampai pada ayat ini, yaitu firman-Nya:

وَ نَفْسٍ وَ مَا سَوَّاهَا، فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَ تَقْوَاهَا

dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah menghilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (asy-Syams: 7-8).

Maka beliau s.a.w. menghentikan bacaannya, lalu berdoa:

اللهُمَّ آتِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَ مَوْلَاهَا، وَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا

Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, Engkau adalah Yang Memiliki dan Yang Menguasainya, dan (Engkau) adalah sebaik-baik yang menyucikannya.

Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Zar‘ah, telah menceritakan keapda kami Ya‘qūb ibnu Ḥumaid al-Madanī, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullāh ibnu ‘Abdullāh al-Umawī, telah menceritakan kepada kami Ma‘an ibnu Muḥammad al-Ghiffārī, dari Ḥanzalah ibnu ‘Alī al-Aslamī, dari Abū Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasūlullāh s.a.w. membaca firman-Nya:

فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَ تَقْوَاهَا

maka Allah menghilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (asy-Syams: 8).

Lalu beliau s.a.w. bersabda:

اللهُمَّ آتِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا، وَ زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَ مَوْلَاهَا.

Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya; dan sucikanlah jiwaku. Engkau sebaik-baik yang menyucikannya, Engkau Pemiliknya dan Yang Menguasainya.

Mereka tidak ada yang mengetengahkannya dari jalur ini. Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Wakī‘, dari Nāfi‘, dari Ibnu ‘Umar, dari Shāliḥ ibnu Sa‘īd, dari ‘Ā’isyah r.a. bahwa ia merasa kehilangan Nabi s.a.w. di tempat peraduannya, lalu ia mencarinya dengan meraba-rabakan tangannya (dalam kegelapan malam), dan tangannya memegang diri Nabi s.a.w. yang saat itu sedang melakukan sujud seraya berdoa:

رَبِّ أَعْطِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا، وَ زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَ مَوْلَاهَا.

Ya Tuhanku, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikannya dan Engkau adalah Yang Memiliki dan Yang Menguasainya.

Imām Aḥmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid:

Hadis lain.

Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami ‘Affān, telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ul-Wāḥid ibnu Ziyād, telah menceritakan kepada kami ‘Āshim al-Aḥwāl, dari ‘Abdullāh ibnul Ḥārits, dari Zaid ibnu Arqām yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. acapkali mengucapkan doa berikut:

اللهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَ الْكَسَلِ، وَ الْهَرَمِ وَ الْجُبْنِ وَ الْبُخْلِ وَ عَذَابِ الْقَبْرِ، اللهُمَّ آتِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا، وَ زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَ مَوْلَاهَا. اللهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعْ، وَ مِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعْ، وَ عِلْمٍ لَا يَنْفَعْ وَ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا.

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, kepikunan, sifat pengecut, sifat kikir dan azab kubur. Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikannya, Engkau adalah Pemilik dan Yang Menguasainya. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah kenyang (puas), dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari doa yang tidak diperkenankan.

Ibnu Zaid mengatakan, Rasūlullāh s.a.w. mengajarkan kepada kami doa-doa tersebut, dan sekarang kami mengajarkannya kepada kalian. Imām Muslim meriwayatkannya melalui hadis Abū Mu‘āwiyah, dari ‘Āshim al-Aḥwāl, dari ‘Abdullāh ibnu Ḥārits dan Abū ‘Utsmān an-Nahdī, dari Zaid ibnu Arqām dengan lafaz yang sama.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *