“Maka menujukkanlah Dia.” (pangkal ayat 8). Dia, yaitu Tuhan yang mendirikan langit menghamparkan bumi dan menyempurnakan kejadian Insān. Diberi-Nya Ilhām diberi-Nya petunjuk “kepadanya.” Artinya kepada diri Insān tadi; “Akan kejahatannya dan kebaikannya.” (ujung ayat 8).
Diberilah setiap diri itu Ilhām oleh Tuhan, mana jalan yang buruk, yang berbahaya, yang akan membawa celaka supaya janganlah ditempuh, dan bersamaan dengan itu diberinya pula petunjuk mana jalan yang baik, yang akan membawa selamat dan bahagia dunia dan akhirat.
Artinya, bahwa setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan kesanggupan menerima Ilhām dan petunjuk. Semua orang diberitahu mana yang membawa celaka dan mana yang akan selamat. Itulah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya. Di Sūrat-ul-Balad yang baru lalu pada ayat 10 dikatakan juga:
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan mendaki.”
“Maka berbahagialah barang siapa yang membersihkannya.” (ayat 9). Setelah Tuhan memberikan Ilhām dan petunjuk, mana jalan yang salah dan mana jalan kepada takwa, terserahlah kepada manusia itu sendiri, mana yang akan ditempuhnya, sebab dia diberi Allah akal budi. Maka berbahagialah orang-orang yang membersihkan jiwanya atau dirinya, gabungan di antara jasmani dan rohaninya. Jasmani dibersihkan dari hadas dan najis, hadas besar atau kecil, baik najis ringan atau berat. Dan jiwanya dibersihkan pula daripada penyakit-penyakit yang mengancam kemurniannya. Penyakit paling berbahaya bagi jiwa ialah mempersekutukan Tuhan dengan yang lain, mendustakan kebenaran yang dibawa oleh Rasul, atau bersifat hasad dengki kepada sesama manusia, benci, dendam, sombong, angkuh dan lain-lain.
“Dan celakalah barangsiapa yang mengotorinya.” (ayat 10). Lawan dari mensucikan atau membersihkan ialah mengotorinya. Membawa diri ke tempat yang kotor; kotor jasmani tersebab najis, tidak istinja’ (bersuci daripada najis dan hadas), tidak berwudhu’ lalu tidak sembahyang, tidak tahu kebersihan. Seorang yang beriman hendaklah selalu mengusahakan pembersihan diri luar dan dalam, dan jangan mengotorinya. Sebab kekotoran akan membuka segala pintu kepada berbagai kejahatan yang besar. Sebagai salah satu bukti dari kekotoran jiwa itu ialah perbuatan kaum Tsamūd, kaum yang didatangi oleh Rasūl Allāh yang bernama Shāliḥ.
“Telah mendustakan Tsamūd, tersebab kesombongannya.” (ayat 11). Kesombongan adalah salah satu akibat dari kekotoran jiwa. Kaum Tsamūd sombong, angkuh dan lantaran itu mereka tidak memperdulikan peraturan dan tidak menghargai janji yang telah diikat dengan Allah; “Seketika telah bangkit orang yang paling celaka di antaranya.” (ayat 12). Di dalam Surat-surat yang lain yang telah kita tafsirkan, telah kita ketahui bahwa sekelompok orang-orang celaka yang tidak menghargai nilai-nilai budi dan sopan, santun, peminum tuk dan pezina, telah bangkit menantang dan melanggar peraturan Allah.
“Lalu berkata Rasul Allah kepada mereka.” (pangkal ayat 13). Yaitu Rasūl Allāh dan Nabi-Nya, Shāliḥ ‘alaih-is-salām, yang telah diutus Allah kepada kaum itu. Mulanya mereka tidak mau percaya kepada Risālat yang dibawa oleh Nabi Shāliḥ; lalu akhirnya mereka meminta ayat, atau tanda dan mu‘jizat akan jadi bukti bahwa dia memang Utusan Tuhan. Lalu Tuhan ciptakan seekor unta besar. Maka dibuatlah janji bersama, bahwa jika unta itu tercipta, maka minuman akan dibagi; sehari minuman untuk unta dan sehari untuk penduduk negeri itu. Air itu timbul dari satu mata-air yang jernih. Di hari minuman unta mereka tidak boleh mengambil air, walaupun seteguk. Di hari minum mereka unta tidak akan minum, walaupun seteguk. Itulah yang diperingatkan oleh Nabi Shāliḥ; “(Jagalah) unta Allah dan minumannya.” (ujung ayat 13). Artinya janganlah perjanjian dan pembahagian itu dilanggar, turutilah baik-baik dan jangan unta Allah itu diganggu supaya kalian selamat.
“Tetapi mereka dustakan dia.” (pangkal ayat 14). Mulanya mereka langgar peraturan yang telah diperbuat itu. Karena si celaka itu, dua orang kepalanya, yaitu si Qadar dan si Mashda ingin minuman tuak di rumah kekasih mereka seorang perempuan jahat. Setelah tuak itu dihidangkan ternyata sangat tebal alkoholnya. Mereka ingin ditambah sedikit dengan air. Tetapi pada malam itu air tidak ada dalam kendi perempuan itu, dan malam itu air tidak boleh diambil ke telaga, sebab sedang hari minuman unta. Maka dengan sombongnya kedua kepala penjahat atau orang celaka itu menyuruh anak buah mereka menyauk air dan minum sepuas-puasnya dan jangan diperdulikan peraturan yang dibuat Nabi Shalih itu. Kalau membuat-buat peraturan yang mengikat kemerdekaan mereka, kalau perlu Shalih sendiri dibunuh; “Lalu mereka bunuh unta itu.” Yang dinamai “Naqat Allah”, unta Allah. Unta itu mereka bunuh beramai-ramai pada malam itu juga, mereka bagi-bagi dagingnya dan mereka makan bersama-sama. “Maka Tuhan mereka pun mencurahkan adzab kepada mereka lantaran dosa mereka itu.” Sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa Sūrat sebelum ini, didatangkan Tuhanlah kepada mereka siksaan tiga hari lamanya; khusus kepada sekalian mereka yang telah memakan daging unta itu; Hari pertama seluruh badan jadi kuning, hari kedua masak jadi merah, hari ketiga menjadi hitam. Dan pada petang hari yang ketiga itu kedengaranlah suara pekik yang sangat hebatnya, sehingga pecahlah anak telinga mendengarkannya dan sampai kepada perut pun jadi pecah. Adapun orang yang tidak turut memakan daging unta itu telah dibawa oleh Nabi Shāliḥ terlebih dahulu meninggalkan negeri itu, sehingga mereka pun selamat; “Hingga Dia ratakan kebinasaan itu.” (ujung ayat 14). Tidak ada yang terlepas, semua yang bersalah, laki-laki dan perempuan, bahkan siapa saja pun rata disapu oleh adzab itu, kecuali orang-orang yang beriman yang telah dapat memelihara diri di bawah pimpinan Nabi Shāliḥ sebelum adzab turun.
“Maka tidaklah Dia menghiraukan akibat dari kesalahan mereka.” (ayat 15). Artinya, jika semua yang bersalah itu mendapat siksa yang rata dari Allah, tanpa kecuali, janganlah sampai orang menyangka bahwa Allah berbuat aniaya kepada hamba-Nya. Adzab Allah itu adalah akibat saja. Di dalam ayat tersebut uqbāhā daripada pelanggaran yang telah mereka lakukan. Maka segala manusia pun demikianlah jalan yang akan mereka tempuh. Tidaklah mereka dengan tiba-tiba datang dan diadzab saja. Tuhan terlebih dahulu memberikan Ilhām mana jalan yang salah dan yang buruk dan mana pula jalan yang takwa dan selamat. Untuk perlengkapannya maka Allah mengutus Rasūl, guna menyempurnakan ilhām yang diberikan Tuhan itu. Berbahagialah orang yang berusaha mensucikan dirinya lahir dan batin, dan celakalah orang yang mengotorinya. Cobalah perhatikan kaum Tsamud itu; telah Tuhan utus seorang Rasūl kepada mereka. Lalu mereka meminta tanda dia jadi Utusan Tuhan. Permohonan mereka dikabulkan. Lalu diikat janji dan disetujui bersama, dan Tuhan pun menciptakan Unta Allah itu. Tetapi rupanya masih ada di antara mereka yang mengotori diri dengan perangai-perangai jahat dan celaka, sampai mereka bunuh unta itu, dan mereka bagi-bagikan dagingnya dan mereka makan bersukaria, seakan-akan mempertontonkan bahwa peraturan dan perjanjian dengan Allah itu tidaklah akan mencelakakan diri kalau dilanggar. Akibatnya ialah bahwa Allah mengambil sikap; mereka pun dihancurkan.
Maka tidaklah Allah menghiraukan atau sedikit pun Allah tidak merasa kasihan, meskipun sifat Allah itu adalah Raḥmān, dan Raḥīm, Pengasih dan Penyayang. Terhadap orang ini Tuhan melakukan sifatnya: ‘Azīzun, dzun-tiqām. Artinya Gagah Perkasa dan membalas kesalahan dengan setimpal. Karena dalam sifat-sifat yang demikian tidak sedikit pun kurang atau rusak sifat Raḥmān dan Raḥīm Allah itu. Bahkan Raḥmān dan Raḥīm kepada makhluk-Nya dan hamba-Nya yang lain, diperlihatkan hal ini kepada mereka, karena Allah Kasih dan Sayang, jangan sampai hamba yang lain menempuh jalan yang salah itu pula.
Itulah artinya bahwa Allah tiada menghiraukan akibat dari kesalahan mereka, sebagaimana yang terlukis pada ayat 15 ayat penutup Sūrat.