Surah an-Nashr 110 ~ Tafsir Sayyid Quthb (2/2)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah an-Nashr 110 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Petunjuk dan Pengarahan Abadi Surah Ini

Setelah membicarakan semua ini, marilah kita lanjutkan dengan membicarakan kandungan petunjuk dan pengarahan abadi yang dibawa oleh surah yang kecil ini. Juga tingkat kemajuan macam apa yang diisyaratkan oleh isyarat nash yang pendek ini:

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ. وَ رَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَ اسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا.

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbīḥlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (an-Nashr: 1-3).

Pada permulaan ayat pertama terdapat isyarat tertentu untuk membangun tashawwur khusus, tentang hakikat peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta ini dan dalam kehidupan ini. Juga tentang peranan Rasūlullāh s.a.w. dan peranan kaum mu’minīn dalam dakwah ini, serta batasan mereka yang menisbatkan diri dalam urusan ini.

Isyarat itu bercermin dalam firman Allah: “Apabila telah datang pertolongan Allah…..”. Ini adalah pertolongan Allah yang didatangkan oleh-Nya pada waktu yang ditentukan-Nya, dalam bentuk yang dikehendaki-Nya, untuk tujuan yang digariskan-Nya. Nabi dan para sahabatnya tidak memiliki kewenangan apa pun dalam hal ini. Tangan mereka tidak ikut menentukan, usaha mereka tidak turut memastikan, diri mereka tidak ikut andil, dan jiwa mereka tidak turut ambil bagian.

Semua itu hanya urusan Allah yang diwujudkan-Nya dengan atau tanpa menggunakan mereka. Cukuplah bagi mereka kalau Allah memberlakukan peristiwa ini melalui tangan mereka, atau menjadikan mereka sebagai penjaga dan menjadikan mereka sebagai pemegang amanat. Hanya itu andil mereka di dalam masalah pertolongan, pembebasan Kota Makkah, dan masuknya manusia ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong.

Didasarkan atas isyarat ini dan tashawwur khusus yang dibangunnya tentang hakikat urusan ini, jelaslah batas peranan Rasūlullāh s.a.w. dan orang-orang yang bersama beliau dengan pemberian kehormatan dan kemurahan dari Allah kepada mereka dengan merealisasikan pertolongan-Nya lewat tangan mereka. Urusan Rasūlullāh s.a.w. dan orang-orang yang bersama beliau adalah menghadapkan diri kepada Allah dengan bertasbīḥ, bertaḥmīd, dan beristighfār pada saat mendapat kemenangan.

Bertasbīḥ dan bertaḥmīd atas karunia Allah yang telah menjadikan mereka sebagai pemegang amanat untuk melaksanakan dakwah-Nya dan menjaga agama-Nya. Juga atas rahmat-Nya memberikan kemenangan agama dan Rasūl-Nya untuk kepentingan seluruh umat manusia. Selain itu, juga atas masuk Islamnya manusia dengan berbondong-bondong ke dalam kebaikan yang melimpah dan menyeluruh ini, sesudah mereka berada dalam kebutaan, kesesatan, dan kerugian.

Setelah itu, beristighfār, memohon ampun kepada Allah, karena banyaknya perasaan yang campur-aduk dalam jiwa, yang rumit dan halus jalan masuknya. Beristighfār dari rasa bangga dan sombong yang kadang-kadang mengiringi qalbu atau menyelinap ke dalam hati ketika dimabuk kemenangan setelah melakukan perjuangan yang panjang dan bersuka ria atas keberhasilannya setelah bersusah payah demikian lama. Ini adalah pintu masuk yang sulit dijaga dalam hati manusia. Oleh karena itu, patutlah kita beristighfār, memohon ampun kepada Tuhan.

Juga beristighfār dari sikap-sikap dan perasaan yang boleh jadi menyertai hati atau menyelinap ke dalamnya pada masa perjuangan yang panjang dan melelahkan, ya‘ni menghadapi kesulitan yang amat sangat dan kesedihan yang memilukan. Misalnya, penderitaan akan kesempitan hidup, terlambatnya realisasi janji pertolongan Allah, dan goncangan-goncangan hati sebagaimana yang difirmankan Allah dalam ayat lain:

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasūl dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (al-Baqarah: 214).

Karena itu, patutlah dilakukan istighfār.

Istighfār dari kekurangannya di dalam memuji Allah dan mensyukuri-Nya. Karena usaha manusia, bagaimanapun maksimalnya, adalah lemah dan terbatas, sedangkan ni‘mat Allah selalu melimpah dan bercucuran: “Jika kamu hendak menghitung ni‘mat Allah niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya.” Nah, karena kekurangan ini, sudah sepantasnya manusia beristighfār, memohon ampun kepada-Nya.

Di sana masih ada rahasia lain yang lembut mengenai istighfār saat mendapat kemenangan,yaitu menunjukkan dan menyadarkan jiwa pada saat bergembira dan membanggakan diri, bahwa sebenarnya mereka itu serba kekurangan dan lemah. Karena itu, hendaklah ia menghilangkan kesombongannya dan memohon ampun kepada Tuhannya. Ini akan dapat mencegah perasaannya dari kesombongan dan keteperdayaan.

Kemudian menyadari kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan diri, lalu menghadap Allah dengan memohon maaf, kelapangan, dan ampunan ini juga akan menjamin jiwa untuk tidak bertindak aniaya kepada pihak yang kalah. Hendaklah orang yang menang itu selalu merasa diawasi Allah dan merasa bersama-Nya. Karena, Dialah yang memberi kekuasaan kepada mereka, sedang dirinya adalah lemah, terbatas, dan berkekurangan. Sesungguhnya, kekuasaan itu diberikan Allah kepadanya untuk suatu hal yang dikehendaki-Nya. Pertolongan itu adalah pertolongan Allah. Kemenangan itu adalah kemenangan-Nya. Agama itu adalah agama-Nya. Maka, kepada Allah-lah segala urusan akan kembali.

Inilah ufuk yang cemerlang dan mulia, yang dibisikkan oleh al-Qur’ān ke dalam jiwa manusia agar memperhatikannya dan mendaki tangganya, dengan mengikuti jalurnya yang mulia dan baik. Ufuk yang di sana manusia menjadi besar karena ia meredakan kesombongannya dan ruhnya mengepakkan sayapnya dengan bebas karena ia tunduk kepada Allah.

Bebas dari ikatan dirinya, agar manusia menjadi ruh-ruh dari ruh Allah, yang tidak memiliki peranan apa pun kecuali dengan ridhā-Nya. Di samping kebebasan ini, ia berjuang untuk membela kebajikan dan mewujudkan kebenaran; bekerja untuk memakmurkan bumi dan memajukan kehidupan; dan memimpin manusia dengan pimpinan yang lurus, bersih, bersemangat, konstruktif, adil, dan bagus menuju keridhāan Allah.

Sia-sialah manusia yang mencoba mencari kebebasan dan kemerdekaan, kalau dia terikat pada dirinya dan keinginan-keinginannya, terbebani oleh syahwat dan kesenangannya. Sia-sialah usahanya kecuali ia membebaskan dirinya pada saat mendapat kemenangan dan keberhasilan hanya untuk mengingat Allah saja.

Inilah adab yang menjadi ciri kenabian selamanya. Allah menginginkan manusia naik ke ufuknya atau melihat ufuk ini selamanya.

Inilah adab Yūsuf a.s., pada saat ia mendapatkan segala sesuatu, dan mimpinya menjadi kenyataan:

Dan ia menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana. Mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yūsuf. Dan berkata Yūsuf: “Wahai ayahku inilah ta‘bīr mimpiku yang dahulu itu. Sesungguhnya, Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaithān merusakkan (hubungan) antara aku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Yūsuf: 100).

Pada saat itu, Yūsuf a.s. melepaskan dirinya dari keceriaan, kesenangan, kegembiraan, dan keberbinaran untuk menghadap Tuhannya dengan melakukan tasbīḥ sebagai orang yang bersyukur dan berdzikir. Ia curahkan segenap doanya kepada-Nya, padahal ketika itu ia sedang berada di puncak kekuasaan dan dalam kegembiraan karena mimpinya menjadi kenyataan.

Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta‘bīr mimpi. (Ya Tuhan). Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shāliḥ.” (Yūsuf: 101).

Di sini tersembunyilah jabatan dan kekuasaan, dan tersembunyilah kegembiraan saat bertemu dan berkumpul dengan keluarga beserta saudara-saudara. Tampaklah pemandangan terakhir, yaitu pemandangan seorang manusia yang memohon kepada Tuhannya supaya Dia menjaga keislamannya hingga Dia mewafatkannya dan mempertemukannya dengan orang-orang yang shāliḥ di sisi-Nya, dengan karunia dan kemurahan-Nya.

Demikian pula adab Nabi Sulaimān a.s. ketika ia melihat singgasana Ratu Saba’ hadir di hadapannya sebelum matanya berkedip:

Maka tatkala Sulaimān melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni‘mat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (an-Naml: 40).

Demikian pula adab Nabi Muḥammad s.a.w. dalam seluruh sisi kehidupan beliau, dan dalam menghadapi kemenangan dan pembebasan Kota Makkah yang merupakan tanda sudah dekatnya ajal beliau. Beliau menundukkan diri kepada Allah dengan bersyukur di atas punggung unta beliau dan memasuki Kota Makkah dalam keadaan seperti itu.

Penduduk Kota Makkah telah menyakiti, mengusir, memerangi, dan menghalang-halangi jalan dakwah beliau dengan sangat sengit. Akan tetapi, ketika datang pertolongan Allah dan kemenangan, beliau melupakan kegembiraan karena kemenangan ini. Beliau justru menundukkan diri dengan bersyukur, menyucikan Allah, memuji-Nya, dan memohon ampun kepada-Nya sebagaimana diajarkan oleh Tuhannya. Setelah itu, beliau semakin memperbanyak tasbīḥ, taḥmīd, dan istighfār sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat. Demikianlah sunnah beliau kepada sahabat-sahabat beliau sepeninggal beliau, mudah-mudahan Allah meridhāi mereka semuanya.

Demikianlah, derajat manusia meningkat karena beriman kepada Allah. Demikian pula kemanusiaan berbinar-binar, tampak ke permukaan, dan mengepakkan sayapnya. Dengan itu pula, ia dapat mencapai keagungan, kekuatan, dan kemerdekaan.