Surah an-Nashr 110 ~ Tafsir al-Qurthubi (2/2)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah an-Nashr 110 ~ Tafsir al-Qurthubi

Abu Hurairah mengatakan: Setelah diturunkannya surah ini Nabi s.a.w. lebih giat dalam beribadah, bahkan hingga kedua kakinya memar, tubuhnya semakin kurus, senyumnya berkurang, dan lebih banyak menangis.

‘Ikrimah mengatakan: Nabi s.a.w. tidak pernah terlihat lebih keras dalam perkara akhirat kecuali setelah diturunkannya surah ini.

Muqatil meriwayatkan: ketika diturunkannya surah ini, Nabi s.a.w. membacakannya kepada para sahabat, di antaranya adalah Abu Bakar, ‘Umar, dan Sa‘ad bin Abi Waqqash, mereka semua merasa riang dan bergembira, berbeda dengan paman Nabi, al-‘Abbas, ia menangis. Lalu Nabi s.a.w. bertanya kepadanya: “Wahai pamanku, apa yang membuat engkau menangis?” ia menjawab: “Seakan surah itu memberitahukan tentang kabar ajalmu.” Lalu Nabi s.a.w. berkata: “Dugaanmu memang benar adanya.” (7761) Dan memang benar, setelah enam puluh hari diturungkannya surah ini beliau dipanggil ke hadirat-Nya (7772). Dan dalam enam puluh hari itu beliau tidak pernah terlihat tertawa ataupun bergembira.

Riwayat lain menyebutkan, bahwa surah ini diturunkan di Mina setelah hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah) pada musim haji wada‘ (haji terakhir pada masa Nabi s.a.w.). Mendengar turunnya surah ini ‘Umar dan al-‘Abbas menangis, para sahabat lainnya pun bertanya-tanya: “Apa yang membuat kalian bersedih, ini adalah hari bahagia.” Mereka menjawab: “Tidak, dari surah tersebut tersirat kabar wafatnya Nabi s.a.w.” Lalu Nabi s.a.w. berkata: “Kalian benar, surah ini sekaligus menjadi kabar ajalku.

Dalam kitab shaḥīḥ-ul-Bukhārī dan kitab-kitab hadits lainnya disebutkan, sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: ‘Umar pernah memasukkan aku ke dalam suatu tempat di mana pada tempat itu terdapat orang-orang tua yang pernah berperang di Badar, namun mereka merasa canggung dengan keberadaanku di sana, lalu mereka bertanya kepada ‘Umar: “Mengapa engkau masukkan anak ini bersama kami, padahal kami juga memiliki anak-anak yang sebaya dengannya.” Lalu ‘Umar menjawab: “Semua tentu tahu tentang anak ini, dia ikut bersama kita dalam pembebasan kembali kota Makkah.”

Di hari yang lain, ‘Umar memasukkanku lagi bersama mereka. Ketika itu ‘Umar bertanya kepada mereka tentang firman Allah s.w.t.: (إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ.) “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” Mereka menjawab: Allah menyuruh Nabi s.a.w. untuk selalu beristigfar dan bertaubat setelah kota Makkah dibebaskan kembali oleh-Nya. Lalu ‘Umar berpaling dari mereka dan menghadap kepadaku, ia berkata: “Bagaimana menurutmu wahai Ibnu ‘Abbas?” Aku menjawab: “Tidak seperti itu, makna yang sebenarnya adalah Allah s.w.t. memberitahukan kepada Nabi s.a.w. akan datangnya ajal beliau. Karena kemenangan dan pembebasan kembali kota Makkah adalah tanda akhir dari ajal beliau.” Lalu ‘Umar berkata: “Apakah kalian masih menyalahkanku dengan mengumpulkan anak ini bersama kalian?”

Namun yang disebutkan dalam kitab shaḥīḥ-ul-Bukhārī adalah: lalu ‘Umar berkata: “Aku tidak tahu makna yang lain kecuali makna yang engkau sampaikan tadi.”

Riwayat yang sedikit berbeda disebutkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu ‘Abbas berkata: ‘Umar pernah menanyakan suatu hal kepadaku dan kepada para sahabat Nabi lainnya, lalu ‘Abd-ur-Rahman bin ‘Auf berkata: “Apakah engkau juga bertanya kepadanya? Padahal kami juga memiliki anak-anak yang sebaya dengannya.” Lalu ‘Umar menjawab: “Ia adalah seseorang yang sama-sama kita tahu (fadhilahnya, karena Ibnu ‘Abbas adalah pemuda yang diberi kelebihan dalam menafsirkan al-Qur’an).” Lalu ‘Umar bertanya kepadaku tentang makna sūrat-ul-Fatḥ, kemudian aku menjawabnya: “Sesungguhnya surah itu menandakan akan datangnya ajal Rasulullah.” Lalu aku membacakan surah itu hingga selesai, kemudian ‘Umar berkata: “Aku tidak tahu makna yang lainnya kecuali makna yang engkau katakan tadi.” (7783). Lalu at-Tirmidzi mengomentari: hadits ini termasuk hadits ḥasan shaḥīḥ.

Apabila ada yang mengatakan: apa yang harus diampuni dari diri Nabi s.a.w. hingga beliau diperintahkan untuk beristigfar? Maka jawabnya adalah: Yang selalu beliau ucapkan kala berdoa adalah:

اللهُمَّ اغْفِرْ لِيْ خَطِيْئَتِيْ، وَ جَهْلِيْ وَ إِسْرَافِيْ فِيْ أَمْرِيْ كُلِّهِ، وَ مَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ، اللهُمَّ اغْفِرْ لِيْ خَطَايَايَ وَ عَمْدِيْ وَ جَهْلِيْ وَ هَزْلِيْ وَ كُلُّ ذلِكَ عِنْدِيْ، اللهُمَّ اغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَ مَا أَخَّرْتُ وَ مَا أَسْرَرْتُ وَ مَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَ أَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَ أَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan kebodohanku, dan semua perbuatanku yang berlebihan-lebihan, dan semua dosa-dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripadaku. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, yang disengaja ataupun tidak disengaja, sikapku yang bodoh atau yang sering bercanda, dan semua sifat lemah yang ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, yang dahulu dan yang sekarang, yang terlihat ataupun yang tersembunyi, Engkau adalah Yang Awal dan Engkau adalah Yang Akhir, sesungguhnya Engkau mampu untuk melakukan segalanya.” (7794).

Beliau selalu merasa kurang dalam berbuat sesuatu, karena melihat betapa besarnya nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Dan beliau berpendapat bahwa kekurangannya itu adalah bagian dari dosa.

Atau mungkin juga bermakna: jadilah seorang hamba yang selalu memanjatkan doa, memohon kepada Allah mengenai apa saja, dan juga berserah diri dengan cara melihat adanya kekurangan dalam menjalankan kewajiban, agar waktu tidak hanya dihabiskan dengan memikirkan segala perbuatan yang sudah dikerjakan saja.

Ada juga yang berpendapat, bahwa beristigfar itu adalah salah satu cara beribadah yang harus dilakukan, bukan hanya sekedar untuk meminta ampunan, namun juga sebagai ibadah.

Lalu ada juga yang berpendapat, bahwa surah ini adalah sebagai peringatan bagi para umat Nabi s.a.w., agar mereka tidak hanya beriman saja namun tidak meminta ampunan kepada Allah.

Ada juga yang berpendapat bahwa makna perintah istigfar pada ayat ini adalah: mintalah ampunan untuk umatmu.

Firman Allah s.w.t.: (إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا) “Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” Yakni, Allah akan memberi ampunan, menerima taubat, dan menyayangi, siapa saja yang mau bertasbih dan meminta ampunan kepada-Nya.

Apabila Nabi s.a.w. yang ma‘shum (terpelihara dari perbuatan dosa) saja diperintahkan untuk memohon ampunan kepada Allah, lalu bagaimana dengan umatnya, yang tidak ma‘shum dan pasti berbuat dosa?

Imam Muslim meriwayatkan, dari ‘A’isyah, ia berkata: Yang sering diucapkan oleh Nabi s.a.w. adalah: “Subḥānallāhu wa biḥamdih, astaghfirullāha wa atūbu ilaih (Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya, aku memohon ampunan Allah dan bertaubat kepada-Nya).” Lalu aku bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau sering sekali mengucapkan: “Subḥānallāhu wa biḥamdih, astaghfirullāha wa atūbu ilaih.” Beliau menjawab: “Allah memberitahukan kepadaku bahwa aku akan diperlihatkan suatu pertanda pada umatku, lalu pada saat aku melihatnya maka aku akan mengucapkan: “Subḥānallāhu wa biḥamdih, astaghfirullāha wa atūbu ilaih.” Tanda yang aku lihat adalah firman Allah s.w.t.:

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ. وَ رَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَ اسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا.

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” Yaitu fatḥu makkah. (7805).

Ibnu ‘Umar meriwayatkan, surah (an-Nashr) ini diturunkan di Mina pada saat haji wada‘, kemudian setelah itu diturunkan juga firman Allah s.w.t.: (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَ رَضِيْتُ لَكُمُ الْإِسْلاَمَ دِيْنًا.) “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (7816). Ayat ini diturunkan sebelum delapan puluh hari wafatnya Nabi s.a.w. Kemudian diturunkan ayat kalālah (7827), yaitu sebelum lima puluh hari menjelang wafat beliau. Kemudian diturunkan setelah itu:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ.

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, ia amat berbelas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.” (7838).

Ayat ini diturunkan sebelum tiga puluh lima hari beliau wafat. Kemudian diturunkan setelah itu firman Allah s.w.t.: (وَ اتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ إِلَى اللهِ، ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَ هُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ.) “Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (7849) Ayat ini diturunkan sebelum dua puluh satu hari menjelang wafat beliau.

Muqatil berpendapat, bahwa ayat yang terakhir itu diturunkan sebelum tujuh hari wafat beliau. Lalu ada juga ulama lainnya yang menyebutkan riwayat yang berbeda, yang kesemuanya telah kami sebutkan pada surat-ul-Baqarah. Walḥamdulillāh.

Catatan:

  1. 776). Riwayat ini disampaikan oleh az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf (4/240), dan juga ath-Thabari dalam Jāmi‘-ul-Bayān.
  2. 777). Yang disebutkan oleh az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyāf (4/240) adalah dua tahun.
  3. 778). Lih. Sunan-ut-Tirmidzī (5/450), hadits nomor 3362).
  4. 779). H.R. al-Bukhari pada pembahasan tentang doa, bab: doa Nabi s.a.w.: “Allāhummagfir lī mā qaddamtu wa mā akhkhartu.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim pada pembahasan tentang dzikir, bab: Memohon Perlindungan Kepada Allah dari Perbuatan Buruk yang telah Dilakukan Ataupun yang belum Dilakukan. Lih. Al-Lu’lu’u wal-Marjān (2/373-374).
  5. 780). H.R. Muslim pada pembahasan tentang shalat, bab: Doa yang Diucapkan Ketika Bersujud dan Ruku‘ (1/351).
  6. 781). Al-Mā’idah [5]: 3.
  7. 782). Ayat kalālah adalah firman Allah s.w.t.: (يَسْتَفْتُوْنَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيْكُمْ فِي الْكَلَالَةِ.) “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentagn kalālah.” (an-Nisa’ [4]: 176).
  8. 783). At-Taubah [9]: 128.
  9. 784). Al-Baqarah [2]: 281.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *